Rekonsiliasi Demokrasi Beradab

Maluku Utara1137 Dilihat
Tanwin Fataha, Kabid Humas KAMMI Daerah Ternate periode 2020-2022

“Demokrasi itu ibarat buah yang bagus untuk pencernaan, tapi hanya lambung yang sehat yang mampu mencernanya”
(Jean Jacques Rousseau)

Kanal diskusi dunia maya, termasuk di meja-meja kedai kopi telah ramai oleh isu Pilkada. Bagaimana tidak, media sosial bahkan sudah hingar-bingar oleh beberapa nama yang digadang menjadi kontestan diajang pencarian pemimpin daerah itu. Framing tentang sosok-sosok tertentu kini digerilyakan pula dengan massif.

Pemantiknya, UU Pemilihan-UU nomor 7 tahun 2017 dan UU nomor 10 tahun 2016 sedang dalam proses revisi di DPR RI untuk dikodifikasi dalam satu norma. Dalam draft yang terakses publik, salah satu klausul menarik adalah daerah yang pernah Pilkada tahun 2017, bakal menggelar hajatan serupa di tahun 2022 lagi. Kendati ini masih konsep, sudah barang tentu memicu gairah Pilkada di Malut, yang kepala daerah dan wakil kepala daerahnya memang akan memungkasi tugas di Agustus pada tahun 2022 nanti.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang hanya sebagai pelaksana Undang-Undang tentu saja tak berani menggemburkan diskursus soal 2022 itu sebelum ada regulasi yang menaunginya. Hingga saat ini, KPU tetap merujuk pada UU yang berlaku, yakni UU nomor 10 tahun 2016, perubahan kedua atas UU nomor 1 tahun 2015 yang menyebutkan bahwa daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir 2020, maka akan diikutkan pada pemilihan serentak kepala daerah pada November tahun 2024 nanti.

Bila kemudian publik sudah bingar soal 2022, itu adalah bagian dari hak demokrasi dan konstitusi setiap anak bangsa. Tapi sebelum masa itu tiba, entah 2024 atau lebih cepat lagi, mungkin elok bila sejenak kita merefleksi kembali apa sejatinya esensi dari sebuah pemilihan. Apakah ia memang momentum bagi rakyat untuk mencari pemimpinnya yang baik, plus segala persyaratan ideal seorang leader atau ia hanya sekedar hura-hura demokrasi belaka.

KPU sejatinya tidak hanya dibentuk sekadar sebagai “Panitia” pemilihan, tapi juga punya tanggungjawab lain yakni merekonsiliasi demokrasi bermartabat dan beradab. Ia wajib mengedukasi, menyebarkan gairah literasi politik kepada rakyat bagaimana sebuah proses demokratisasi dijalankan demi melahirkan pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang amanah, bukan sekadar merebut panggung kekuasaan profan.

Kelahiran demokrasi beradab dan bermartabat tentu saja menjadi asas kolektif masyarakat di negeri ini. Ia diikhtiarkan memunculkan pemimpin yang meletakan kekuasaan pada konteks melayani. Tantangan utama membangun demokrasi beradab, bila sudah masuk wilayah pertarungan politik praktis adalah pragmatisme dan oportunisme para pihak yang terlibat di dalamnya.

Siapa saja yang bertanggungjawab menyulam demokrasi beradab itu? Dalam politik elektoral, ada tiga elemen dasarnya. Pertama, pemilih. Kedua, yang dipilih atau peserta pemilihan dan yang terakhir penyelenggara pemilihan. Tiga komponen utama inilah yang niscaya memerankan posisinya dengan baik, bersinergi demi terkonsiliasinya demokrasi bermartabat dan beradab.

Pemilih misalnya, bila menginginkan lahirnya pemimpin yang baik, bersikaplah sebagai pemegang kedaulatan yang cerdas. Menjadi sangat sulit bila sejak kontestasi ditabuh, pemilih sudah membangun sikap apatisme, mental oportunis dan berpikir pragmatis. Setiap yang berstatus kandidat hanya dianggap calon donator. Yang penting ada uang. Ini praktik politik bablas.

Sebagai seorang pemilih, anda merdeka memilih dan memilah siapa yang terbaik diantara para kandidat. Siapa yang punya visi, misi dan konsepsi tentang kemajuan yang lebih baik, lebih masuk akal. Parameternya harus tentang kemampuan mereka membawa kemajuan daerah. Kecenderungan politik primordial mungkin sulit dinihilkan, tapi memberi prioritas pada kandidat dengan rekam jejak yang baik, jauh lebih utama.

Setali tiga uang dengan kandidat atau yang bakal dipilih? Idealnya, ia harus mengawali niatnya dengan baik lalu datang menawarkan konsep dan program keren ke pemilih. Demokrasi yang kita bangun bersama ini bakal amburadul bila kandidat bangun persepsi hanya yang banyak duit yang bisa menang.

Akibatnya, orang-orang berkualitas memilih tidak melibatkan diri karena relasinya dengan pemilih hanya dilambari pragmatisme. Harus ada uang. Politik sebagai sarana mencapai kekuasaan dan kepercayaan rakyat menjadi tidak beradab karena relasi dan persepsi antara yang memilih dan dipilih dikonstruksi oleh “duit”.

Mereka yang berniat maju di Pilkada Malut, kapanpun bakal dilaksanakan-masih punya waktu untuk menggodok ide, merumus konsep, menyusun gagasan serta menyulap program baik untuk daerah. Tawarkan itu ke rakyat secara massif. Sebagai pemilih, bila ada orang yang anda inginkan maju dan yakin ia berkualitas, dorong untuk berkompetisi.

Bagi KPU dan jajarannya yang jadi penyelenggara pemilihan, lakukan tugas dengan baik. Jaga netralitas, pegang baik-baik integritas, komitmen pada independensi dan rawat imparsialitas. Bekerjalah secara profesional, layani pemilih dan peserta pemilihan secara adil dan setara.

Pemimpin Tibet. Dalai lama membeberkan pemaknaannya mengenai politik dengan bahasa moralnya yang tegas :
“Dalam dunia politik, jika anda memiliki itikad baik dan mendambakan masyarakat yang lebih baik, maka anda adalah politisi yang baik dan jujur. Politik itu sendiri tidak buruk bahkan diperlukan untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam masyarakat manusia. Tetapi jika politk dijalankan oleh orang-orang berhati busuk, maka dengan sendirinya ia menjadi kotor”. (Belaskasih Universal, Cetakan Kedua Juni 1995:7)

Adanya kesadaran untuk berpartisipasi dalam demokrasi yang beradab memungkinkan setiap warga negara menggunakan hak politiknya dan preferensi (pilihan) politik yang didasarkan pada indikator-indikator rasional sebagaimana yang sudah jelas track recordnya dengan menyelami visi-misi serta kiprahnya selama ini. Bukan dikonstruksikan oleh relasi politk uang (money politik).

Bilamana semua elemen yang terlibat dalam politik elektoral itu memainkan perannya dengan baik, niscaya mimpi tentang demokrasi yang beradab dan bermartabat bisa kita rekonsiliasi, bukan sekadar hanya dirisik. Di Maluku Utara sudah terjadi beberapa kali suksesi, dan kita pasti telah memiliki rasa dan nilai terhadap pemimpin yang terpilih itu.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.