Kesenjangan Jangka Panjang Masyarakat dan Ekploitasi Pemerintah Tentang Restorasi Ekosistem Hutan

Logo Komunitas Pemuda Peduli Pendidikan Halmahera Selatan

Oleh : Muh. Kasim Faisal, S.Pd, M.Pd
Penanggungjawab Komunitas Pemuda Peduli Pendidikan Halmahera Selatan

Medianasional.id

Dalam keberlangsungan ekologi antara hewan, manusia dan tumbuhan serta ekosistem Hutan saat ini telah terdapat adanya keberlangsungan kehidupan mahluk yang dieksploitasi oleh pengambil kebijakan demi kehidupan sekelompok manusia hingga mengorbankan kehidupan atau habitat asli yang menghidupi hutan.

Selain korban dari hasil kebijakan yang dibuat, ada juga berbagai faktor lain tentang masyarakat yang tidak bertanggung jawab. Kurangnya salah satu keseimbangan ekosistem maka tidak stabil dalam lingkaran rangkai atau siklus makanan yang keberlangsungan hidup (Berkurangnya 1 ekor harimau makan melimpahkan kehidupan babi).

Dari ketidak seimbangan ekosistem (hewan), ada juga pengaruh pada investor tentang minyak yang berbahan baku sawit sebagai salah satu faktor yang menyerap air tanah dan merusak lahan atau tanah perkebunan lokal dan hutan yang rimbun.

Saat keberlangsungan warga lokal yang membangun hutan dengan cara membuat penghijauan. Dan dialokasikan oleh pemerintah dan di tender oleh perusahan, ribuan hektar hutan adat yang di atur dalam UU dan peraturan norma hutan adat diambil alih oleh pemerintah dibawa kementerian agraria. Olehnya itu, hutan adat dijadikan sebagai bahan ekploitasi pemerintah demi keuntungan investor dan kelompok tertentu.  Karena merasa terancam mengenai kehidupan dan ekosistem masyarakat maka adanya perlawanan dari masyarakat adat demi melindungi hutan ada yang dikapling oleh pemerintah berbau investor. Dengan demikian masyarakat adat merasakan telah dibunuh secara halus baik dari segi masyarakat sebagai konsumtif sebagai masyarakat adat. Olehnya itu, masyarakat adat yang menjaga kelestarian hutan adat dijadikan sebagai asas kehidupan hingga dijadikan sebagai tersangka atas dasar perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Namun dari pemahaman masyarakat, hutan adalah hak adat atas keberlangsungan hidup. Dimana hasil penggarapan hutan, Desa yang dihuni oleh masyarakat itu akhirnya dilanda banjir.

Sementara dampak dari ketidakseimbangan ekosistem yang biasanya dalam siklus makanan harimau sebagai pemangsa kini menjadi dimangsa oleh pemangsa. Ketika kebutuhan manusia tak bisa lagi diimbangi maka keberlangsungan manusia berpindah kepada cara lain, baik dari memelihara ayam ataupun lainya. Akan tetapi tanpa disadari pertukaran dari jenis konsumsi dari hewan liar ke hewan peliharaan sangat berdampak baik dari bakteri hingga virus yang tak dapat dijangkau baik secara konsumsi atau kontak secara tidak langsung dikarenakan efek dari investor. Maka dari itu sumber penyakit bersumber dari kontak yang tak terduga dikarenakan komunikasi manusia dengan hewan sangat tipis secara ekosistem.  Dampak dari perambahan hutan yang dilakukan mengakibatkan perubahan habitat secara terpaksa dikarenakan ekploitasi hutan. Maka dampak dari apa yang dilakukan kini telah diterima apa yang telah diperbuat. Selain itu, Krisis ekonomi, pangan dan sumber daya terancam secara global.

Olehnya itu,  dampak dari kebijakan pemerintah tentang Omnibus Law telah membuat Krisis ekonomi dan pangan serta dampak terhadap ekosistem sosial. Dikarenakan kebijakan tersebut sangat merugikan kaum buruh, adat, petani, nelayan dan masyarakat adat lain yang hidup dalam keseimbangan alam. Dilihat dari sisi deskripsi Omnibus Law hanya memperdaya investor untuk perijinan usaha secara besar-besaran. Dampak juga lebih besar terhadap lingkungan dan keberlanjutan ekosistemnya. Ada apa dengan hilangnya UU kawasan hutan 30% dari kawasan tertentu jika dilihat secara naskah komprehensif secara akademik sangat merugikan keberlangsungan habitat yang ketergantungan terhadap ekosistem. Dan hutan dijadikan lahan keterbatasan untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Maka emisi investor dilakukan secara kesengajaan baik dengan cara membakar hutan, penggusuran secara terus menerus. Omnibus Law diputuskan lebih banyak dari para pengusaha dan petinggi perusahaan. Suara rakyat dan nasib buru dijadikan bahan candaan dalam sidang parlemen. Dari keuntungan itu untuk kepentingan usaha-usaha para borjuis dan meminimalisir kepentingan masyarakat. Sehingga sistem ekonomi Indonesia menggunakan sistem ekonomi korporasi liberal seperti yang digunakan oleh kalangan “komunis”. Krisis pangan akan terjadi akibat dari ketidak stabilitas kebijakan ekonomi politik dalam dan luar negeri, dikarenakan kapabilitas kepentingan orang-orang dalam parlemen baik eksekutif dan legislatif ataupun yudikatif.

Dengan modus pengadaan alat untuk pertanian tapi bukan masyarakat sebagai pengelola melainkan orang-orang tertentu yang ditugaskan secara vertikal. Olehnya itu, bagaimana dengan nasib masyarakat yang kebiasaannya dengan tradisi lokal dalam bertani. “Ada apa dengan kebijakan tersebut”. Inilah kebijakan non desentralisasi, dimana Eksploitasi tersebut akan mengakibatkan kerusakan pangan dan penyebaran masyarakat yang tidak merata.

“Bagaimana dengan konsep kearifan lokal oleh masyarakat migrasi, Dan ada apa dengan produk atau mesin yang di jadikan alat pertanian, Untuk siapa dan demi siapa, Jawabnya hanya mengacu pada kebijakan pemerintah yang non desentralisasi tanpa melihat deskripsi masyarakat dan akibatnya kesenjangan pangan diberbagai wilayah. Biasanya hasil tani yang minim dimakan hama dan dibasmi secara tradisional kini berbagai jenis hama yang menyebabkan (kerugian) secara langsung dari hama yang kebal dari apa yang terjadi. Bagaimana dengan ekonomi kreatif masyarakat,”

Dari hasil inilah dampak dari hutan dan masyarakat adalah kebakaran secara besaran dikarenakan apa yang dibuat oleh pemerintah yang gagal. Dan dialihkan di tempat lain dan gagal dan proyek selalu dibuat sesuai sasaran yang ditargetkan oleh pemerintah. Dimana pembuatan kanal merupakan bentuk awal dari proyek limbun pangan dan pembukaan hutan secara besar-besaran. Sehingga dari hadirnya kanal, telah mengakibatkan ekosistem air sungai terkontaminasi, maka habitat ikan kini mulai menipis dan berkurang secara spesis.

“Apa yang dimaksud dengan restorasi pangan, Kepentingan masyarakat atau kalangan borjuis. Kiranya, jawaban kita akan tahu sendiri dengan cara pandang masing-masing,”

Dari kebijakan tersebut maka masyarakat melindungi kehidupan adat memilih bertahan hidup dengan cara sendiri demi mempertahankan hutan. Ada apa dengan perusahaan yang “berkedok” oleh pemerintah dengan mengatasnamakan restorasi hutan atau memulihkan ekosistem hutan, dan sistem bertolak belakang dengan ekosistem masyarakat, Apakah sama tujuan dari restorasi hutan perusahan dan masyarakat. “Kita pikirkan sendiri sajalah”.

Dampak kesenjangan inilah, masyarakat sebagai korban dalam suatu sistem kebijakan pemerintah. Kebakaran terjadi jika ada kemarau kepanjangan, maka akan saling tudingan antar masyarakat dan pihak perusahaan yang mengatasnamakan restorasi ekosistem. Apalagi efek yang ditemukan ada oknum yang memperalat agama sebagai bahan konflik secara horizontal. Kenapa harus seperti itu..? Biar kita menganalisis dan cara berpikir yang beda. Bagaimana dengan proyek restorasi yang dilakukan oleh investor yang lain..? Jika kita lihat dari beberapa restorasi ekosistem hutan pemerintah lainnya sebagai sampel..? Faktor tertentu akan menjadi hambatan tersendiri buat masyarakat anak dalam yang menjadikan hutan sebagai lahan hidup. Hutan tradisional memiliki fungsi patogen untuk melindungi habitat yang terkandung ekosistem didalamnya.

Dampak Omnibus Law memiliki pengaruh terhadap keberlangsungan masyarakat baik di kota maupun di desa sesuai dengan kepentingan pemerintah dan investor. Nasib kaum buruh, masyarakat desa, adat dan ekosistem akibat eksploitasi yang berkedok restorasi ekosistem hutan.

Selamat datang di era peradaban manusia yang menjadi alih fungsi nilai ke-tuhanan dalam kerakusan secara berskala. Maka dapat dikatakan secara hipotesis dapat dikatakan restorasi ekosistem hutan hanyalah kedok pemerintah untuk memasukkan investasi dari investor secara besar-besaran dan didalamnya ada KPH, Pemda, oknum-oknum tertentu yang memiliki kewenangan dan melegakan perijinan tanpa memahami kondisi masyarakat lokal “adat”.

“Apa langkah selanjutnya untuk membangun peradaban manusia dibeberapa tahun kemudian..? Hamparan ilalang yang hidup di hutan yang tandus dan hamparan batu karang beku di hamparan laut yang dalam serta air yang tak bisa dikonsumsi oleh mahluk bahkan malaikat sekalipun,”.

Selamat datang di Bonus demografi global.

Jadikan masyarakat konsumtif untuk menjadikan masyarakat produktif sebagai aset keberlangsungan hidup baik secara sistem pemerintahan yang berbasis ekonomi kreatif dan ekonomi humanis.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.