Refleksi Hari Lahir GARDA Merah Putih “Kader Garda dan tantangan Milenial”

Uncategorized273 Dilihat
Musadat Ishak

“ Jangan kita memberikan kepada waktu yang bergelinding menentukan hitam atau putih, maka kita akan patah seperti patahnya lambung kapal titanic disamudrah pasifik “

Sepenggal kalimat yang dikutip dari spirit perjuanggan GARDA Merap Putih halmahera timur (Haltim) untuk mengawali tulisan ini sebagai sintesa dari variabel kepemudaan dan masyarakat halmahera timur dan maluku utara pada umumnya.

Mencermati dan mengamati sebuah gerakan pemuda berarti mengadakan sebuah diskusi panjang yang didalamnya terdapat sekian kelonggaran ruang untuk secara serius mendialektikan tema-tema pembicaraan itu kedalam agenda yang lebih spesifik dan runtut. Hal ini diperlukan karena kita seringkali membuang habis energi tanpa adanya perumusan yang dapat didiskusikan secara terus menerus dan mendasar, maka dalam kondisi kultur seperti ini diperlukan perubahan, sehingga budaya dialog masih menjadi media yang penting bagi tumbuh dan berkembangnya organisasi.

Gerakan Pemuda Merah Putih (GARDA MP) Haltim Malut adalah sebuah organisasi kepemudaan yang lahir pada tanggal 7 Desember 2010 di kabupaten halmahera timur sebagai manifestasi dari semangat pemuda yang terbit dari kehendak realitas dan sekaligus kehadirannya untuk (membuat) sejarah ditengah kehidupan langgam bangsa yang sedang berlangsung. Artinya bahwa GARDA akan senantiasa terus bergeliat bersama dinamika bangsa yang terus bergulir dari satu jaman kejaman berikutnya.

GARDA sebagai simbol golongan insan cerdik cendekia menjadi komponen penting dalam struktur sosial di masyarakat. Keberadaannya menjadi gerbong pendobrak menuju kesejahteraan masyarakat dan tetap menjadi Garda terdepan bagi penegakan kebenaran, keadilan dan kejujuran, perawatan moralitas bangsa, penguatan demokrasi, HAM dan lain sebagainya. Sehingga wujud konkrit dari strategi politik GARDA adalah upaya merebut wilayah-wilayah garapan yang secara riil bersinggungan secara langsung dengan persoalan masyarakat, karena disinilah kemudian GARDA sekaligus dapat dapat melakukan pendidikan politik yang efektif bagi rakyat. Yaitu model gerakan yang melibatkan seluruh kekuatan infrastruktur bersama rakyat melakukan proses pemberdayaan dan penyadaran terhadap posisi sebagai warga Negara dari sebuah komunitas bangsa.

Hal yang paling mendasar dalam setiap jiwa kader GARDA adalah pembekalan dirinya dalam kapasitas intelektual yang memadai. Sebab, tanpa dasar konsepsional yang jelas, gerakan organisasi juga tidak akan menemukan kejelasan pada wilayah strategi dan taktik gerakan. Apalagi, asumsi gerakan adalah berawal dari konteks yang bernama pendidikan. Muh. Hanif dan Zaini Rahman (2000) mengutip Ben Agger (1992), mengatakan bahwa titik berangkat yang paling strategis bagi organisasi adalah mentransformasikan pendidikan kehidupan intelektual sebagai investasi sosial, politik, dan kebudayaan. Dalam hal ini adanya semacam sumbangsih terhadap realita dari intektualitas organisasi.

Dalam konteks inilah, semangat liberasi (pembebasan) yang pernah lahir dalam sejarah pemikiran bangsa ini menjadi sebuah rujukan yang signifikan. Wilayah pembebasan dari konteks penindasan, baik dari represifitas otoritas politik (Negara-Media-Partai), maupun otoritas sosial (agama/pendidikan) dan ekonomi (pasar). Dengan filosofi liberasi akan terjadi proses perjuangan melampaui segala beban berat kehidupan demi melanjutkan amanat kemanusiaan sesuai dengan mandat yang diperoleh dari spirit perjuangan GARDA Merah Putih.

Sejalan dengan semangat liberasi dan Indenpendensi di atas itulah, maka GARDA juga akan terus berperan menciptakan ruang bagi publik (public sphere) yang kondusif untuk mengembangkan kehidupan. Di titik inilah, Free Market of Ideas (FMI) menjadi signifikan untuk diciptakan pada ruang-ruang kemasyarakatan, kenegaraan dan keilmuan. Karena perlawanan terhadap hegemoni Negara, ideologi dan pasar harus dihadapi dengan membuka sekian pintu ekspresi yang sengaja dikunci ditengah kedangkalan mental dan pikir yang ternyata kita juga harus menyadari secara teologis ada kesadaran yang kita abaikan bahwa Tuhan yang maha kuasa adalah sumber kehidupan sehingga moral dan etika menjadi domain penting dalam menjalani hidup ditengah pergulatan zaman saat ini.

Apalagi di era saat ini tantangan bagi GARDA tidaklah muda, justru GARDA akan dihadapkan pada situasional apakah GARDA mampu mempertahankan eksistensinya ditengah zaman digitalisasi saat ini, ataukah tetap memilih senyap pada lorong – lorong kebisuan, jawabanya menjadi renungan bagi kita kader GARDA sendiri yang sudah harus bangkit di tengah problematika politik, sosial dan kebudayaan di daerah saat ini, atau yang menjadi persoalan yang serius adalah kita yang tidak mau mengambil bagian dari peran dalam drama yang sedang berlangsung saat ini. Padahal saat ini kita sudah harus berbenah, berinovasi dan berkreasi mempersenjatai diri agar bisa survive meneguhkan langkah menghadapi tuntutan ummat dan bangsa.

Di usia yang ke-8 tahun ini GARDA harus tetap memperhatikan serta bergerilya pada tiga perang yang ditulis oleh Antonio Gramsci yakni, war of posision (perang posisi), war of opinion (perang opini) dan war of movement (perang gerakan). Sehingga tetap istiqomah dengan tuntutan untuk terus menjadi Problem Solver ditengah persoalan saat ini.

Salam Merah Putih
Terdepan untuk Perubahan

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.