Pengakuan Masyarakat Adat Dalam Refleksi HUT Ke-75 Kemerdekaan Indonesia

Artikel84 Dilihat
Muhammad Risman

Keberadaan masyarakat adat adalah fakta sosial sejak lama di Indonesia. Bahkan jauh sebelum bentuk Republik Indonesia diproklamasikan tahun 1945. Dalam masa pergolakan menuju kemerdekaan, kelompok-kelompok intelektual mengagregasi kepentingan-kepentingan masyarakat adat untuk menjadi salah satu argumentasi menuntut kemerdekaan, di samping hal-hal penting lainnya. Namun, dalam semangat nasionalitas yang tinggi, lokalitas adat tidak dimasukkan sebagai penyangga hukum (hak) dasar yang disusun oleh para Founding father atau pendiri bangsa.

Pembicaraan mengenai masyarakat adat dalam penyusunan UUD 1945 hanya dibicarakan oleh M. Yamin dan Soepomo. Para Tokoh lain yang berasal dari daerah tidak meresponsnya dengan serius. Konstruksi masyarakat adat yang diatur dalam UUD 1945 generasi pertama adalah pemerintahan masyarakat adat sebagai pemerintah “bawahan” yang istimewa untuk menopang Pemerintahan Republik di Jakarta.

Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945: “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemenschappen (daerah-daerah swapraja), seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”.

Ketika dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, bagian penjelasan UUD 1945 dihapus keberadaannya. Kemudian dasar hukum mengenai keberadaan masyarakat adat diletakkan pada Batang Tubuh UUD 1945. Setidaknya terdapat tiga ketentuan utama dalam UUD 1945 yang dapat menjadi dasar bagi keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Tiga ketentuan tersebut yaitu Pasal 18B ayat (2), Pasal 28i ayat (3) dan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai salah satu landasan konstitusional masyarakat adat menyatakan pengakuan secara deklaratif bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat. Namun pengakuan tersebut memberikan batasan-batasan atau persyaratan agar suatu komunitas dapat diakui keberadaan sebagai masyarakat hukum adat.

Ada empat persyaratan keberadaan masyarakat adat menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 antara lain: (a) Sepanjang masih hidup; (b) Sesuai dengan perkembangan masyarakat; (c) Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (d) Diatur dalam undang-undang. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 merupakan bentuk dari pengakuan bersyarat terhadap keberadaan masyarakat hukum adat.

Rikardo Simarmata, menyebutkan model pengakuan bersyarat itu merupakan model yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial (Simarmata, 2006). Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan dan hak-hak masyarakat adat diatur dalam undang-undang.

Dengan demikian, negara telah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat karena sebagai kekuatan pada perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Sebagaimana digambarkan bahwa masyarakat Adat adalah tatanan kehidupan dan memiliki batas-batas wilayah tertentu, yang diatur dalam sistem “sara” lembaga adat.

Kini, sudah 75 tahun Bung Karno dan Bung Hatta atas nama rakyat Indonesia menyampaikan Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun, pengakuan atas hukum adat belum sepenuhnya diakui oleh Negara. Salah satu alasan, pengakuan yang dianggap “stengah hati” dengan tidak jelasnya undang-undang tersendiri yang mengatur atas hak, wilayah adat di Nusantara.

Secara etimologi Hukum adat atau hukum kebiasaan adalah serangkaian aturan yang mengikat pada suatu masyarakat. Hukum adat bersumber dari kebiasaan yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang pada suatu masyarakat tertentu dan kemudian diterima menjadi hukum secara turun-temurun. Dengan pengertian ini, tentu pemerintah harus mengakui keberadaan hukum adat yang secara tidak tertulis. Namun, agak sulit diterima sebagai hukum positif bernegara.

Dapat dibuktikan dengan perjuangan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendorong agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dan pemerintah segera membahas draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat kembali bergulir. Meskipun konstitusi dan sejumlah UU telah menjamin hak masyarakat hukum adat, tapi sekali lagi praktiknya belum terpenuhi.

Seperti diketahui, status RUU Masyarakat Hukum Adat masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 nomor urut 32. Pada Prolegnas Prioritas 2019 lalu, RUU Masyarakat Hukum Adat sempat mulai dibahas di Badan Legislasi (Baleg). Namun, masih menyerap masukan dan aspirasi berbagai pemangku kepentingan.

Tahun ini, RUU Masyarakat Hukum Adat kembali masuk ke dalam Prolegnas Prioritas DPR-RI untuk yang kesekian kalinya. RUU yang mengatur pengakuan, pelindungan, dan hak masyarakat hukum adat ini sebelumnya telah diajukan sejak masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Setelah melewati dua periode DPR, pembahasan dan pengesahan RUU ini mangkrak dan tak kunjung selesai. Pada kepengurusan DPR RI 2019-2024 ini, RUU Masyarakat Hukum Adat kembali diusulkan oleh DPR dengan status carry over sehingga memberikan optimisme bahwa RUU ini dapat berhasil disahkan tanpa mengulang proses formulasi dari awal.
Pertanyaannya, apa yang dibahas dalam RUU ini? Lantas, mengapa RUU ini menjadi begitu penting untuk disahkan?

Secara etis, masyarakat hukum adat sudah sepatutnya dan seharusnya diperhatikan oleh negara sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asal-usulnya yang sudah ada bahkan sebelum republik ini berdiri. Keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sebenarnya telah dijamin dalam konstitusi, dengan syarat sepanjang masih hidup serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 18B ayat (2) dan juga Pasal 28i ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen kedua pada tahun 2000. Berdasarkan draf kajian hukum Badan Pembinaan Hukum nasional (BPHN) pula, masyarakat hukum adat memang telah mendapat perhatian tertentu dalam beberapa UU, seperti UUPA Tahun 1960, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU No. 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dan sejumlah UU lainnya.

Namun, realita berkata lain. Berdasarkan catatan Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HUMA) Indonesia, terdapat total 326 konflik sumber daya alam dan agraria yang memakan 176.637 korban masyarakat adat sepanjang tahun 2018 silam. Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) dalam inkuiri nasionalnya juga menyebutkan masih terdapat konflik lain yang menyangkut masyarakat hukum adat, seperti kriminalisasi, kekerasan, penyingkiran, dan sebagainya.

Data AMAN, sampai saat ini menunjukkan bahwa terdapat 125 masyarakat adat pada 10 wilayah yang menjadi korban kriminalisasi di kawasan hutan dengan tuduhan-tuduhan semacam memasuki tanah perusahaan tanpa izin, pengrusakan, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin, dan lain-lain.

Sejumlah perangkat hukum yang ada nyatanya belum memiliki kekuatan politik yang cukup untuk menyelesaikan konflik dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat yang semakin termarjinalkan dari proses pembangunan.

Bahkan, fakta bahwa masyarakat hukum adat hanya diatur dalam UU Sektoral tanpa memiliki UU khusus sendiri menunjukkan bahwa pemerintah belum memiliki keseriusan dalam mengakui keberadaannya. Pasal-pasal tertentu yang mengaturnya pun dapat dikatakan hanya sebagai “pemanis” dari tujuan utama masing-masing UU Sektoral tersebut.

Klaim tradisional masyarakat hukum adat terhadap lahan, hutan, maupun sumber daya alam lainnya juga masih belum mendapat perhatian serius dari pemerintah, yang dapat terlihat pula dari lambatnya proses penetapan hutan adat serta pendefinisian hak ulayat yang berbeda-beda antar-regulasi. Hal ini tentu dapat membuat masyarakat hukum adat menjadi kelompok yang rentan dikriminalisasi dengan tuduhan semacam penggunaan lahan tanpa izin, dan sebagainya.

Lebih lanjut, agenda developmentalis serta kebijakan ramah investasi yang terus dikebut pemerintah belakangan ini, seperti RUU Cipta Kerja (omnibus law) juga semakin memberikan ancaman nyata dan meningkatkan potensi konflik bagi masyarakat hukum adat yang terus menjadi korban dari aktivitas kapitalis.

Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa pengakuan legal dan penjaminan hak ulayat yang tercantum dalam regulasi-regulasi yang ada belum sepenuhnya teraplikasikan secara nyata. Untuk itu, urgensi pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat semakin mendesak supaya dapat menjamin kepastian hukum, pengakuan, dan pelindungan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sesuai mandat yang diberikan oleh konstitusi.

Oleh karena itu, harapan pada bangsa-negara Republik Indonesia di usia 75 tahun kemerdekaan Indonesia dapat mempercepat pengesahan RUU menjadi UU Masyarakat Hukum Adat, agar dapat menjadi sandaran atau landasan hukum kepada Pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) untuk pengakuan masyarakat hukum adat dalam wilayahnya.

Pasarwajo (Buton), 10 Agustus 2020. Penulis, Ketua Forum Komunikasi Pemuda (FKP) Buton, Muhammad Risman.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.