Opini : Urgensi Pancasila di Era Milenial

Artikel223 Dilihat

Oleh : Nur Apriliya Rochimah (Dosen IAIN Salatiga)

Usia Pancasila sudah semakin tua, bahkan ibarat manusia ia lebih mudah diserang penyakit seiring dengan dinamika kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini bukan berarti memberikan pandangan yang pesimistis kepada kita, akan tetapi dibutuhkan sebuah tafsir baru yang lebih kontekstual di era milenial ini. Sudah menjadi persoalan klasik tentang munculnya ide bahwa muncul ormas Islam radikal yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Sempat ramai diberitakan di media, kelompok Islam radikal ini menghendaki lahirnya negara khilafah. Jika memang benar adanya maka ide tersebut pastinya akan sulit diwujudkan. Dikarenakan mayoritas masyarakat Indonesia terdiri dari kaum nasionalisme dan Islam moderat yang masih setia dengan empat pilar kenegaraan, yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI.

Dewasa ini, perubahan sosial terlihat menghadirkan problematika baru bagi umat dan bangsa. Pertama, adalah tantangan Pancasila di ranah politik yang sering kali mengancam keutuhan bangsa. Tahun politik yang berujung di tahun 2019, sudah nampak sekali persaingan-persaingan yang kurang sehat. Media cetak maupun online yang hadir di tengah-tengah kita menjadi alat untuk menyerang lawan, bahkan sebuah narasi kebencian diciptakan untuk membangun persepsi publik. Politik suku, ras dan agama menjadi bagian dari proses politik ini. Gerakan-gerakan baru bermunculan yang sesungguhnya tidak dapat dipisahkan pada persoalan politik. Sesungguhnya hal ini adalah fenomena yang tidak bisa terlepas dari Urgensi Pancasila. Artinya, Pancasila di era milenial menjadi penting dengan wacana tafsir yang lebih kontekstual. Pancasila diharapkan mampu mengatasi problematika bangsa yang hadir di era baru ini, khususnya di ruang politik praktis.

Kedua, Pancasila juga mendapat tantangan di ruang sosial-keagamaan, dikarenakan gerakan-gerakan baru yang muncul itu berasal dari kalangan umat Islam, dimana mereka (umat Islam) menempatkan Islam untuk berpolitik. Di sisi yang lain, kalangan intelektual dan para ilmuan membagi kelompok Islam menjadi beberapa bagian. Ada empat kelompok bagian yang bisa disebutkan antara lain adalah kalangan Islam moderat, liberal, fundamentalis, dan radikal. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran kaum Islam yang dipersepsikan sebagai fundamentalis dan radikal memunculkan wacana baru dan menghiasi dalam proses kehidupan sosial-keagamaan masyarakat di Indonesia. Beberapa pandangan muncul bahwa gerakan-gerakan sosial-keagamaan baru yang hadir di ruang politik dilakukan oleh kalangan fundamentalis dan radikal. Hal ini memunculkan pertentangan, terutama oleh kalangan Islam moderat dan radikal.

Ketiga, Pancasila memiliki peran di dalam ruang ekonomi yang sesuai dengan sila ke-lima. Konsep keadilan sosial adalah wacana klasik yang masih sangat kontekstual jika dihadirkan di era milenial. Dengan dikhususkan pada wilayah ekonomi yang dewasa ini masih mengalami ketimpangan nyata. Model ekonomi kapitalis masih mendominasi sehingga masyarakat kalangan bawah sulit memperoleh solusi atas kesulitan ekonomi yang dialaminya. Misalnya seperti, persoalan semakin melemahnya rupiah merupakan isu penting yang perlu dikritisi. Menguatnya hutang luar negeri saya rasa menjadi persoalan serius khususnya berkaitan dengan masalah ketimpangan ekonomi di Indonesia. Adapun tentang konsep keadilan sosial di dalam Pancasila sudah barang tentu memerlukan perhatian khusus. Tafsir baru dalam urusan ekonomi adalah bahwa Pancasila diharapkan hadir sebagai solusi umat dan bangsa.

Urgensi Pancasila di era milenial, ibarat kitab suci maka harus bisa memberikan tafsiran yang kontekstual dalam urusan sosial, politik, keagamaan, ekonomi, dan kebudayaan. Fenomena Orde Lama berbeda dengan era Orde Baru, begitu juga dengan orde reformasi ini. Tantangan-tantangan yang hadir di tengah-tengah masyarakat sudah sangat berbeda. Peranan Pancasila sangat dibutuhkan, khususnya sebagai dasar ideologi untuk menjaga keutuhan umat dan bangsa. Tafsir kontekstual ini dibangun oleh tiga kerangka dasar, seperti yang dilakukan oleh Hasan Hanafi, yakni terdiri dari tahap dialektika, fenomenologi, dan hermeneutika. Bangunan filosofis diharapkan melahirkan solusi-solusi yang merekatkan persatuan dari adanya problematika di ruang sosial keagamaan, politik, ekonomi dan kebudayaan. Pancasila harus menjadi pedoman untuk kehidupan berbangsa dan bernegara agar tercapai masyarakat yang adil dan makmur yang di ridhoi Allah.

Editor : Abu Bakar Sidik

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.