OPINI : Bicara Soal Polemik Politisasi Masjid

Artikel76 Dilihat

Bicara Soal Polemik Politisasi Masjid

medianasional.id – Aksi walk out atau meninggalkan masjid ketika isi khotbah mengandung unsur politis sempat booming pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Pada saat itu, masyarakat begitu murka ketika khottib yang seharusnya menyampaikan ajaran-ajaran keagamaan dinodai oleh persoalan politik. Relawan Jokowi terhimpun dalam Gerakan Nasional Jutaan Relawan Dukung Jokowi mendelarasikan program anti-politisasi masjid. Aksi tersebut bertujuan agar mengembalikan fungsi masjid sebagaimana mestinya.

Bicara mengenai politisasi masjid memang sudah dari dulu diterapkan oleh para politikus menjelang pesta demokrasi di Indonesia. Masyarakat seringkali mengeluhkan tentang black campaign yang berembel-embel dakwah menegakkan syariat islam. Kebanyakan masyarakat umum menolak apabila masjid disalahgunakan untuk kepentingan politik.

Pilgub DKI Jakarta tahun lalu adalah salahsatu contoh tentang permasalahan politisasi masjid di Indonesia. Pada saat itu, beberapa masjid di jakarta seakan-akan memberi peluang kepada cagub dan cawagub tertentu yang sedang berkompetisi. Masjid dan penceramahnya seringkali mempersoalkan isu-isu tertentu yang dapat menjatuhkan calon lain.

Mimbar tempat berkhotbah seringkali diselingi dengan ceramah perihal pentingnya memilih pemimpin yang seiman. Selain itu, pernah juga viral tentang spanduk yang berisi penolakan pengurus masjid untuk mengurus pemakaman pemilih cagub tertentu. Masyarakat menilai negatif terhadap sikap beberapa masjid dan penceramahnya pada saat ceramah tersebut. Masjid tempat umat muslim melaksanakan ibadah dan melaksanakan kegiatan keagamaan kini kian memanas oleh api-api politik yang membakar nilai-nilai spiritual keagamaan, karena penceramahnya tidak menengahkan dan lebih condong memihak kandidat tertentu. Pengungkapan rasa kecewa para jamaah dituangkan dengan aksi walk out (meninggalkan) ketika ceramah mulai menjurus ke isu politik.

Walaupun dianggap negatif, beberapa orang berpendapat bahwa Pilgub DKI Jakarta 2017 sebagai penanda dimulainya aksi kongkalikong dibalik mimbar masjid. Kekalahan kandidat lawan melalui isu yang di share dari mimbar masjid menjadi bukti kongkret dari kuatnya tupoksi suatu lembaga. Oleh sebab itu, ditengarai praktek semacam ini akan terus berkelajutan pada pesta demokrasi lainnya. Apabila dilihat dari powernya, sangat logis jika kebanyakan calon akan mempolitisasi masjid untuk merauk suara. Masyarakat masih berpendapat bahwa masjid adalah tempat untuk beribadah saja.

Selain contoh diatas, yang terbaru terkait dengan polemik politisasi masjid juga dilakukan oleh Amien Rais pada saat memberikan tausiahnya disebuah pengajian ba’da sholat subuh di masjid Baiturrahim Jakarta Selatan. Pernyataan senior PAN yang mendiskriminasikan beberapa partai lawannya sebagai partai setan (partai yang jahat) sedangkan partai Allah adalah beberapa koalisi partai yang sesuai dengan ketentuan syariat islam (partai yang baik). Polemikpun muncul kembali antara yang pro dan yang kontra. Mahfud MD pun angkat bicara menanggapi isu tersebut. Mahfud MD mengatakan bahwa setiap partai politik pasti mempunyai kader yang korupsi, korupsi juga salah satu unsur setan juga.

Tetapi, jika dilihat secara historis dan fungsi masjid, sebenarnya aktifitas yang dikerjakan di masjid tidak terbatas hanya untuk tempat beribadah saja. Pada zaman Rosulullah SAW sampai sekarang, masjid masih memegang problema keumatan dari berbagai dimensi. Apabila diselidiki, peradaban umat muslim masih ketergantungan pada tempat peribadatan tersebut. Dilihat secara historis tempat peribadatan tersebut selama berabad-abad sebagai sentral diskusi, pemerintahan, strategi perang, musyawarah dan juga pendidikan.

Rosulullah SAW menjadikan masjid sebagai central control pada masa kekholifahannya. Berbagai musyawarah mufakat perihal keumatan dan kebangsaan dihasilkan dari masjid. Karena begitu terbukanya, sampai-sampai masyarakat mempunyai peran dalam mengambil keputusan pemerintah. Fungsi masjid sebagai sentral pemerintahan juga masih berkelanjutan setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan digantikan oleh para sahabat. Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad masjid juga sebagai wadah untuk mengorganisir yang sangat efisien. Pidato-pidatonya di masjid sangat mempengaruhi umatnya dalam mengorganisir umat muslim untuk berjihad dalam berbagai peperangan menegakan syariat islam. Berbagai permasalahanpun kerapkali diselesaikan dari forum-forum musyawarah mufakat di masjid. Penyelesaian masalah resolusi konflik, hukum dan sanksi hukuman kebanyakan lahir dari perundingan di dalam masjid.

Salah satu contoh di indonesia juga mempunyai pengalaman yang sama yaitu pada Peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa masjid mempunyai power aksi massa yang sangat mujarab. Pengalaman tersebut mengajarkan kita bahwa sesuatu yang berbau politik dapat berangkat dari bangunan suci tersebut. Dapat disimpulkan dari berbagai uraian tersebut bahwa sifat alamiah masjid sebenarnya saling keterikatan dengan politik. Politisasi masjid bukan sesuatu yang tabu. Sejarah membuktikan bahwa sesuatu yang mengandung politik berangkat dari bangunan suci tersebut. Namun, politik simpatisan keluar dari nilai-nilai politik terdahulu. Pada era Nabi kepentingan masyarakat luas lebih diutaman dari pada kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Itulah yang membedakan politisasi masjid zaman sekarang dengan zaman dahulu. Di musim pilkada dan pilpres seperti sekarang ini kita harus cerdas untuk dapat membedakan mana yang termasuk dalam politik partisan mana yang bukan.

Oleh: Ahmad Hasyim Fauzan

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.