Opini : Idiologi Rasa Meracuni Mahasiswa

Artikel97 Dilihat

Oleh : Siska Purnama Sari

(Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Peradaban)

Mahasiswa merupakan seorang yang tengah menempuh pendidikan pada tataran tertinggi pengertian umum dari mahasiswa tersebut. Dinamika kampus bukan hanya menyoal kepada keaktifan mahasiswa, keterlambatan dan presensi saja, namun seorang mahasiswa tentu memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari sekedar itu saja. Mahasiswa dengan dikaruniai jabatan tertinggi tentu memiliki suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh kalangan biasa, mahasiswa saat ini justru berbalik dari zaman dahulu.

Zaman orde baru mahasiswa menjadi buronan oleh pemerintah, mampu menentang birokrasi yang tidak selaras, bersikap penyelamat dan memberikan kontribusi kepada masyarakat. Hal demikian jarang dijumpai pada saat ini, potret mahasiswa di era sekarang yaitu tentang sebuah gengsi dimana setiap mahasiswa berlomba-lomba memamerkan hal-hal yang bersifat fisik. Pengetahuan mahasiswa sangat didominasi dengan fashion dan lainnya. Pasalnya mahasiswa menjadi seperti orang yang tidak disebut mahasiswa. Padahal aristoteles menyebutnya bahwa mahasiswa ialah kaum cendekia yang artinya memiliki tingkat kecerdasan yang lebih.

Kampus hanya sebuah gedung menjulang tinggi dengan estetika warna dalam luarannya, mungkin itu menjadi gambaran kampus pada umumnya. Kampus seharusnya menjadi sebuah wadah penggemblengan untuk mahasiswa agar ketika mahasiswa sudah berbaur dengan masyarakat biasa tidak ada rasa kaku lagi, seharusnya kampus mempunyai sebuah tujuan yang pasti untuk mahasiswa tersebut, arahannya jelas dan mudah diterima oleh kalangan mahasiswa.

Berbicara tentang idiologi tentu sangat menarik bagi kalangan kaum intelektual, karena setiap individu memiliki idiologi masing-masing. Idiologi ini layaknya sebuah kerangka dalam tubuh manusia, jika saja manusia itu tidak berkerangka tentu tidak akan membentuk sebuah tangan, kaki, tubuh dan lain sebagainya. Kerangka ini seharusnya setiap kalangan sudah mampu membenahi mana yang cocok untuk aku jadikan sebagai kerangka dalam hal apapun. Idiologi rasa atau biasa kita menyebutnya dengan kata baperan sebuah hal yang menarik negatif dalam kalangan intelektual. Rasa memiliki sistem kerja yang berbeda dengan akal pikiran, rasa lebih mendominasi dengan hal-hal yang bersifat kasih sayang, cinta dan lentur.

Seorang mahasiwa sudah seyogyanya bersifat bijaksana dan tidak baperan terhadap hal apapun. Masalah jangan seringkali dikaitkan dengan kehidupan perasaan, karena dalam kehidupan perasaan semua timbul dengan banyak rasa, ada cinta dan benci. Fatalnya jika idiologi rasa diterapkan pada kalangan mahasiswa mereka akan mudah merasakan hal-hal yang bersifat keluhan, sedikit-sedikit mengeluh tentang hal yang memang menjadi sebuah keharusan mahasiswa yaitu mengerjakan tugas, lantas bagaimana tentang kehidupan rakyat dan tentang keadaan dunia jika mahasiswa seringkali menyoalkan kepada kelelahan?

Sebenarnya banyak yang menjadi pertanyaan ataupun menjadi kebingungan bagi kaum mahasiswa yang tersadarkan akan hal seperti itu, memang karena mahasiswa hidup pada zaman ini era saat ini atau kah karena memang mahasiswa mulai sombong dengan jabatannya sendiri.

Idiologi perasaan itu tentu memiliki kadar racun yang luar biasa jika diterapkan dalam roda organisasi ataupun dinamika kemahasiswaan. Idiologi tersebut bukan terletak pada pemikiran yang rasional dan objektif namun, terletak hanya pada sifat yang sering kali dilandasi dengan suka dan tidak suka, oleh sebab itu perlahan mulai gugur jiwa nasionalisme pada seorang mahasiswa. Seharusnya seorang mahasiswa memiliki ideologi yang berpacu kepada jiwa pahlawan karena seorang pahlawan memiliki semangat juang yang tinggi tanda di embel-embeli rasa lelah ataupun yang lainnya.

Mahasiswa tentu memiliki tanggungjawab sosial bukan hanya kepada masyarakat kampus saja, namun kepada masyarakat sekitar juga. Makna mahasiswa dengan Tri Darma Perguruan Tinggi memiliki ikatan yang kuat, karena disebut mahasiswa ketika mampu melaksanakan Tri Darma Perguruan tinggi. Jika saja mahasiswa hanya berkutik pada IPK dan tugas saja, lantas bagaimana keadaan negara yang membutuhkan generasi baru untuk memperbaikinya. Mengedepankan rasa dalam hal apapun memnag tidak ada sebuah larangan, namun jika saja pola berpikir mahasiswa memperioritaskan kepada rasa, itu yang harus dibenahi dalam diri mahasiswa tersebut. Jangan sampai selama menjadi mahasiswa hanya mempersembahkan sebuah IPK bukan sebuah karya nyata.
Hidup Mahasiswa!!

Editor : Abu Bakar Sidik

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.