Urgensi Kehidupan Kampus Menangkal Penyebaran Paham Radikalisme

Artikel311 Dilihat


Oleh : Wahyu Syaefulloh
(Mahasiswa Universitas Peradaban Kabid.PTKP HMI cab. Tegal)

Peguruan tinggi menjadi benteng negara dalam menghidupkan intelektualitas di kalangan masyarakat, dalam perjalanan bangsa perguruan tinggi banyak menciptakan negarawan-negarawan yang berkiprah dikalangan nasional. Sejarah mencatat peristiwa-peristiwa penting muncul dari gagasan-gagasan intelektual muda pada tahun 1908 melahirkan Boedi Utomo yang dimotori oleh pemuda pelajar dan mahasiswa dari lembaga pendididkan STOVIA, pada tahun 1928 tepatnya tanggal 28 oktober lahirlah sumpah pemuda yang dipelopori cendekia-cendekia yang bergabung dalam PPPI (Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia), pada tahun 1945 Proklamasi kemerdekaan , pada tahun 1966 (tritura) yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), 1974 yang lebih terkenal dengan Malari (Peristiwa Lima belas Januari), dan selanjutnya tahun 1998 yang lebih terkenal dengan perlawanan terhadap KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) dan sering disebut dengan Reformasi, gerakan masiv ini berhasil menurunkan pemerintahan soeharto setelah memimpin lebih dari 30 tahun.

ADVERTISEMENT

Sejarah di atas bukanlah sebuah kebetulan namun ada sebuah proses dari kebiasaan untuk membentuk karakter pemuda dalam menjalani dunia pendidikan. Seperti yang dikatakan filsuf skotlandia David Hume karakter adalah hasil dari sebuah prinsip yang dibiasakan. Kebiasaan-kebiasaan ini bisa kita dapatkan didalam kelas maupun diluar kelas seperti organisasi, komunitas ataupun lembaga-lembaga sosial lainya. Sehingga membentuk karakter-karakter yang sadar tentang rasa kebersamaan, rasa nasionalisme (konsensus) untuk melawan ketidakadilan (melawan kejahatan-kejahatan terhadap manusia). Yang menjadi pandangan kita semua saat ini tantangan yang cukup fenomenal paham radikalisme yang setiap saat bisa mengancam generasi muda.

Pendidikan mempunyai akar yang pahit, tapi buahnya manis (Aristoteles) Kehidupan dikampus yang cukup plural, dan terkenal dengan kegiatan akademis, tidak luput dari ancaman paham radikal. Radikal berasal dari kata radic yang berarti akar dan menurut KBBI radikal adalah secara mendasar, atau bisa juga diartikan sesuatu prinsip yang mengakar. Seiring dengan perkembanganya radikal sebagai paham yang pada level pemikiran atau paham yang bersifat memaksa dan cenderung dengan keras (ekslusivisme). Paham radikal juga sering dimaknai sebagai gerbang awal terorisme. BIN mencatat sekitar 39% Mahasiswa di Indonesia terjangkit paham radikal, dan dinilai subur tumbuh. Ini perlu adanya pandangan khusus dan adanya antisipasi dunia pendidikan dalam menangkal paham radikalisme.

Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dasar dan tujuan pendidikan, jelas tertera bahwa pendidikan berdasarkan Pancasila dan UUD’45 dan pendidikan memiliki fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter bangsa, yang bertujuan mengembangkan potensi peserta didik yang memiliki nilai sosial, religius, dan demokratis. Ancaman paham radikal bisa mengacaukan apa yang menjadi amanat konstitusi, Satuan pendidikan sebagai penyedia sarana dan prasarana baik pengembangan secara fisik intelektual,sosial, emosional dan psikis peserta didik harus tanggap terhadap ancaman tersebut.

Bahkan isu ini sempat menjadi perhatian ketua DPR Bambang Soesatyo, cendikiawan muslim salah satu mantan rektor UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta Azyumardi Azra dan sekretaris komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam. gejala paham radikalisme terindikasi dari organisasi yang berafiliasi dengan organisasi yang lahir dari luar Indonesia.

Ketiga tokoh tersebut menyepakati untuk mengembalikan organisasi ekstra kampus seperti HMI, PMII, GMNI, KAMMI dan IMM kembali didalam kampus, Sebagai alternatif menjaga komitmen terhadap nilai kultural dan keindonesiaan, dengan pelatihan kepemimpinan yang membentuk karakter mahasiswa menjadi insan religius dan nasionalis bisa menjadi benteng paham radikal.

Secara historis munculnya pemisahan organisasi ekstra kampus dan intra kampus sebagai kekuatan pemerintahan kala itu, karena dianggap politik mahasiswa sebagai ancaman bagi para penguasa, mahasiswa sebagai bagian integral didalam kehidupan kampus yang memiliki peran penting dalam menjalankan tugas-tugas perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (Tri Dharma Perguruan Tinggi). Pemerintah memberikan stereotip terhadap mahasiswa jika mahasiswa terjebak dalam politik praktis, padahal secara keorganisasian organisasi kampus tidak memiliki ajaran-ajaran atau berafiliasi dengan partai politik. Pada masa orde baru muncul perlawanan mahasiswa tahun 1974 yang mengakibatkan DEMA (Dewan Mahasiswa) dibekukan, pada tahun 1977 puncak gerakan kala itu menuntut sasaranya adalah Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatanya dan tidak mencalonkan diri. Sebab, apa yang mereka tuntut tidak lagi hanya soal strategi pembangunan, atau pelaksanaan demokrasi dalam bidang politik dan keadilan sosial ekonomi, melainkan menuntut pengunduran diri Presiden Soeharto dari jabatanya dan tidak lagi mencalonkan diri untuk pemilihan presiden periode selanjutanya ( Fahry Ali, 1985: 27). Untuk mananggapi hal ini pemerintah melakukan tindakan terhadap mahasiswa. Melalui kemendikbud Daoed Joesoef mengeluarkan kebijakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dengan surat keputusan 0156/U/1978, yang mengakibatkan pembubaran Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa. Disusul Surat keputusan Nomor 037/U/1979 tentang BKK (Badan Kordinasi Kemahasiswaan) yang berhasil membekukan kegiatan organisasi mahasiswa di dalam kampus.

Dalam kinerjanya pemerintah berhasil membungkam mahasiswa, di nilai Eksistensi pergerakan mahasiswa era NKK di hegemoni oleh pemerintah. Disamping gaungnya memang tidak sekuat gerakan mahasiswa masa-masa sebelumnya tampak kurang terarah. Apakah ini hasil NKK? Matinya DEMA mengakibatkan mahasiswa menemui kesulitan untuk mengadakan kordinasi secara nasional? Atau kesibukan mahasiswa ke dalam sibuk oleh KRS dan SKS? Tak taulah. Rasa-rasanya, Era NKK memang bukan masa berkiprahnya gerakan mahasiswa. Ada yang disebut sebagai “mplempem” (Prisma, Juni 1987:6). Semoga ini menjadi kontemplasi kita semua, jangan sampai budaya yang sudah dikubur pada era orde baru dibangkitkan kembali. Mahasiswa tidak lagi dijadikan bagian penting dalam proses perjalanan bangsa, mahasiswa-mahasiswa dibatasi dalam ruang geraknya, mahasiswa dipecah-pecah, dikotak-kotakan agar mudah digembosi dalam ruang geraknya.

M.Hatta (1966) memiliki gagasan bahwa hanya pemuda yang sanggup mengubah tatanan sosial yang membungkus ketidakadilan, karena pemuda masih murni jiwanya dan ingin melihat pelaksanaan kebijakan pemerintah secara jujur seperti yang telah dijanjikan pada rakyat; yang dipahami adalah pemuda memiliki jiwa yang murni, karena pemuda belum memiliki rutinitas dan pemikiran seperti orang tua, yang sudah dibenturkan dengan kompleksitas kehidupan. Mahasiswa yang dikenal sebagai kalangan akademis yang berfikir ilmiah, bertindak sistematis, memiliki analisis dengan keobyektivitasanya bisa saja dibentuk oleh lingkungan dan kebiasaanya. Seperti diatas yang dikatakan David Hume kebiasaan bisa membentuk karakter, pendidikan atau ruang kampus haruslah representatif dengan kegiatan ilmiah, diskusi keilmuan, sehingga membentuk karakter mahasiswa yang sesuai menjadi amanat konstitusi. Sesuai UU No 20 Tahun 2003 pendidikan dijalankan secara demokratis semsetinya tidak ada pemisahan antara mahasiswa antara label eksternal maupun internal, ini peran politik yang tidak menginginkan mahasiswa terintegrasi, karena mahasiswa sebagai oposisi dari pemerintahan yang berangkat dari kemurnian jiwa, melihat jujur realitas kebijakan pemerintah. Ada sesuatu yang kadang kita lupakan mahasiswa memiliki cakrawala berfikir ini yang menjaga eksistensi mahasiswa dan sulit untuk dipecah terbukti sampai detik ini sumpah mahasiswa terus berkumandang “Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah, Bertanah Air satu, tanah Air tanpa Penindasan, Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah Berbangsa Satu Bangsa Yang Gandrung Akan Keadilan, Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah Berbahasa Satu Bahasa Tanpa Kebohongan,” kata kita menegaskan pada lahir dari tanah yang sama, lahir dari bahasa yang sama, dan lahir dari bangsa yang sama.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.