Tahafut Al-Fikr : Mengenal Islam Membaca Terorisme

Artikel233 Dilihat

Tahafut Al-Fikr : Mengenal Islam Membaca Terorisme

Oleh: Siti Zulaeka ( Mahasiswi Universitas Peradaban dan Anggota HMI Cabang Tegal )

Terorisme belakangan ini menjadi suatu fenomena modern dan telah menjadi fokus perhatian berbagai organisasi internasioanl, berbagai kalangan dan negara. Ketika kekuatan imperealisme, rasisme, dan zionisme mulai memprogandakan terminologi terorisme ke dalam perbincangan politik serta berbagai bidang lainnya, maka kaum tersebut telah mencampuradukkan dengan sengaja dan fenomena yang berbeda secara substansial, yaitu sudut pandang tentang pola berpikir terorisme yang membuat tingkat kriminalitas terhadap terorisme itu menjadi bias di negara Indonesia bahkan jarang sekali orang tahu tentang makna dari terorisme.

Istilah teroris “ terroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin “ terre” yang memiliki arti membuat gemetar atau menggetarkan, kata teror juga bisa menimbulkan kengerian. Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention On The Suppresion Of Terrism (ESCT) di Eropa tahun 1997 terjadi perluasan paradigma arti dari kejahatan terhadap negara menjadi kejahatan terhadap manusia. Tindak pidana yang melibatkan kejahatan terhadap manusia ialah pidana yang dilakukan untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam suasana yang mencekam. Terorisme dikategorikan sebagai suatu bagian serangan yang meluas atau sistematik, serangan itu ditujukkan secara langsung terhadap penduduk sipil. Lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa yang tidak bersalah.

Pemahaman tentang definisi terorisme adalah hal mendasar dan sangat penting yang perlu dikuasai terlebih dahulu sebelum melakukan berbagai tindakan penanggulangan terorisme. Bahkan aparat penegak hukum di Indonesia ternyata masih perlu memahami perbedaan pengertian antara teroris, fundamentalis dan radikalis. Seseorang teroris, bisa jadi seorang fundamentalis dan radikalis, sementara seorang fundamentalis dan radikalis belum tentu seorang teroris. Ketidak pahaman akan pengertian bisa menjadi sebab dilakukannya labeling oleh pemerintah terhadap orang atau kelompok tertentu.

Sampai saat ini tidak ada definisi universal tentang terorisme. Kecenderungan yang terjadi ialah apa yang disebut dengan one dimensional conception on terorism. Meskipun belum ada kesepakatan dikalangan pakar, namun setipa orang mempunyai karakteristik pemikirannya terhadap seorang terorisme. Seorang hanya bisa melihat dengan jelas apa yang telah terjadi lantas ia memberikan sebuah definisi apa yang dilihat untuk diyakini dirinya sendiri. Mayoritas meyakini terorisme ialah seorang yang beragama islam namun memiliki paham yang berbeda. Serangan bom bunuh diri yang dilakukan di makasar pada awal april merupakan fenomena yang membuat asumsi publik bahwa teroris ialah orang yang beragama islam, karena syahwatnya melenyapkan umat yang berlainan agama.

Hal tersebut sangat berkontroversi dengan surat al-anfal (8):61 yang artinya,

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang maha mendengar lagi maha mengetahui“

Jika ditafsiri makna dari surat al-anfal diatas bahwa islam mencintai perdamaian, gotong royong, toleransi dan sikap kemanusiaan. Islam bukanlah agama paksaan, jika kita menengok sejarah baginda nabi kita ketika bersyiar tentang agama islam, beliau tidak pernah memaksakan apalagi dengan kekerasan untuk seseorang beragama islam. Baginda Nabi memberikan pengetahuan tentang islam secara tauladan kepada umat lainnya dan juga dengan metode dakwah. Islam sangat inklusif melihat sisi pandang orang yang berlain agama tidak sebagai musuh, tapi sebagai kawan untuk saling berbagi pengetahuan, jika dicerna dalam akal pikir sehat bahwa agama lain pun menyembah kembali kepada Tuhan.

Dari sudut pandang Islam Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta mengatakan bahwa terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan Islam. Islam mengajarkan etos kemanusiaan yang sangat menekankan pada kemanusiaan. Universal islam mengajarkan untuk berjuang mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kehormatan. Akan tetapi, perjuangan itu haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan terorisme. Setiap perjuangan untuk keadilan harus dimulai dengan premis bahwa keadilan adalah konsep universal yang harus diperjuangkan dan dibela setiap manusia.

Azymuradi menambahkan bahwa islam memang menganjurkan dan memberi justifikasi kepada muslim untuk berjuang, berperang, dan menggunakan kekerasan terhadap penindas, musuh-musuh islam, dan pihak luar yang menunjukkan sikap bermusuhan atau tidak mau hidup berdampingan secara damai dengan islam dan kaum muslimin. Akan tetapi, islam tidak membenarkan menjadikan orang yang tidak berdosa sebagai korban atau ongkos perjuangan. Hak hidup manusia harus ditempatkan pada posisi tertinggi sebagai hak yang wajib dihormati dan dijaga dari berbagai bentuk ancaman tindakan yang akan mengakibatkan hilangnya hak hidup mereka. Pembenaran terhadap hak-hak hidup mereka yang melayang tanpa sebab, itu adalah sebagian dari Hak Asasi Manusia bukan hak ataupun kewajiban umat Islam.

Kalau Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa hal ini adalah kerancuan dalam berpikir. Teroris yang dianggap orang Islam ia salah mengartikan Islam dan kurang benar dalam mengambil cara untuk memerangi orang-orang yang lain agama. Selagi orang yang bukan Islam tidak mengusik Islam tidaklah dihadirkan suatu peperangan, sebab dari hal itu berarti masih tumbuh namanya perdamaian. Mereka para teroris salah mengartikan antara Cinta yang haqiqi dan obsesi yang terlalu tinggi, sehingga kurang bisa menata pola pikir dan pola nafsu lahirlah cara yang demikian dengan melayangkan nyawa yang tidak bersalah.

 

Editor : Abu Bakar Sidik

 

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.