Revenge Porn : Apakah Penderitaan Korban Sudah Berakhir?

Artikel, Depok, Jakarta1842 Dilihat

Medianasional.id

Pada tahun 2020 lalu, Indonesia diguncang dengan beredarnya video public figure dengan identitas yang disamarkan, yaitu GA. Video tersebut memuat unsur-unsur pornografi yang sebenarnya merupakan konsumsi pribadi dari GA. Akan tetapi, video tersebut diedarkan secara luas melalui sosial media seperti twitter dan telegram yang membuat masyarakat yang sebenarnya tidak memiliki “hak” untuk melihat video tersebut justru bisa mengaksesnya dengan bebas.  Selain itu, banyak korban dari kekerasan seksual merasa tidak mampu lagi bertahan hidup di dunia yang keji ini. Bertubi-tubi ancaman dan cibiran diterima dari pasangan, mantan, hingga orang asing yang hendak melakukan kekerasan seksual melalui penyebaran konten pribadi milik korban ke media sosial.  Suatu ironi karena GA dan banyak perempuan di luar sana sama-sama menjadi korban dari revenge porn yang tidak mampu dilindungi oleh hukum Indonesia yang diskriminatif dan tidak berperspektif korban.

Dalam kurun waktu 12 tahun, telah terjadi peningkatan kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) sebesar 300%, dimana sebesar 33% dari kasus tersebut adalah kasus revenge pornRevenge porn adalah tindakan dimana seseorang mengancam untuk menyebarluaskan konten-konten pornografi yang sebenarnya merupakan dokumentasi pribadi dan untuk konsumsi pribadi tanpa consent dari pihak korban. Oleh karena itu, revenge porn merupakan bentuk dari pelanggaran atas Hak Asasi Manusia, yaitu hak privasi dan juga hak konsensual.

Menjadi korban dari revenge porn telah cukup memberikan dampak yang mampu merusak keadaan fisik maupun psikis seseorang. Akan tetapi, realitasnya korban akan mendapatkan berbagai tekanan yang lebih besar dari lingkungan luar yang cukup untuk menghancurkan korban. Fenomena victim blaming, aparat penegak hukum yang justru menganggap sepele kasus ini bahkan terkadang melakukan kekerasan seksual lebih lanjut secara verbal maupun fisik kepada korban, peraturan undang-undang yang dalam penerapannya ternyata tidak memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, perlindungan hukum yang justru sering kali melindungi pelaku dan mempersalahkan korban, serta berbagai gejolak lainnya yang memberikan tekanan lebih lagi bagi korban.  Selain itu, dampak negatif ini juga akan memengaruhi korban-korban kekerasan seksual di luar sana untuk lebih memilih memendam apa yang mereka alami karena tidak siap menerima tekanan-tekanan dari masyarakat. Pada saat korban kekerasan seksual memutuskan untuk menutup mulut mereka, predator seksual akan semakin merajalela dan merasa memegang kuasa karena tidak dikenakan sanksi sebagaimana seharusnya. 

Berbagai upaya telah dilakukan oleh banyak pihak untuk memperjuangkan keadilan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia, terkhusus korban revenge porn. Sebagai respons atas tuntutan masyarakat yang merasa bahwa keamanan mereka semakin terancam, akhirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 12 April 2022 dengan nama UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Hal ini menandakan bahwa pemerintah mulai menyadari pentingnya perlindungan hukum bagi wanita khususnya korban KBGO. Akan tetapi, kemudian timbul pertanyaan “Lantas, apakah UU TPKS dalam pengimplementasiannya benar mampu melindungi korban?”

Sebelum pengesahan RUU PKS, kasus revenge porn seringkali berakhir tidak terselesaikan atau bahkan menyebabkan korban dihukum  dengan pengenaan pasal 29 UU Pornografi yang menyatakan bahwa setiap orang memproduksi, memperbanyak, dan menyebarluaskan konten bermuatan seksual dapat dipidana paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan. Ironi, karena pasal ini digunakan untuk menjerat korban, namu anehnya tidak digunakan juga untuk menjerat pelaku yang menyebarkan konten tersebut. 

Keberadaan Pasal 14 Ayat 1 UU TPKS yang menyatakan bahwa setiap orang yang mengambil atau melakukan perekaman yang bermuatan konten seksual tanpa persetujuan orang yang menjadi objek serta mentransmisikan konten yang bermuatan seksual dapat dipidana maksimal 4 tahun penjara dan denda maksimal Rp200.000.000,00.  Lebih lanjut, jika tindakan yang dimaksud dalam pasal 1 UU tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melakukan ancaman, memperdaya, dan balas dendam (revenge porn), maka dapat dipidana paling lama 4 tahun penjara dan denda maksimal Rp300.000.000,00.  Sehingga, secara materiil telah ada payung hukum yang melindungi korban revenge porn dari pelaku kekerasan seksual.

UU TPKS memang telah memuat secara lebih rinci mengenai jenis-jenis dari kekerasan seksual, perlindungan serta hak-hak yang dimiliki korban, dan peraturan yang lebih detail serta komprehensif terkait KBGO. Oleh karena itu, keberadaan UU TPKS diharapkan mampu untuk mengakomodasi, mencegah, dan menangani kasus revenge porn serta proses pemulihan kondisi psikis maupun jasmani korban. 

Sangat disayangkan, pengimplementasian UU TPKS pun belum maksimal. Buktinya bisa dilihat dari penanganan oleh pihak kepolisian yang masih saja mengabaikan perspektif korban, rumitnya proses yang harus dilalui untuk mencapai keadilan, dan putusan-putusan hakim yang ternyata masih sering menyudutkan korban. Hal ini menunjukkan bahwa UU TPKS sebagai payung hukum ternyata belum efektif dalam memberikan perlindungan hukum bagi korban revenge porn secara komprehensif.

Oleh karena itu, tentu diperlukan evaluasi dan saran-saran terkait perlindungan lebih lanjut bagi korban yang dalam artikel ini terbagi menjadi tiga. Pertama, sudah seharusnya terdapat muatan khusus pada UU TPKS terkait “revenge porn” sebagai salah satu jenis kekerasan seksual dengan cara penanganan yang berperspektif korban meskipun dalam pengimplementasiannya masih membutuhkan upaya yang lebih maksimal. Kedua, sudah saatnya warga masyarakat dan aparat penegak hukum merubah pandangannya ketika melihat korban revenge porn agar tidak lagi menaruh stigma-stigma negatif kepada korban dengan cara penanaman pemahaman terkait kekerasan seksual sejak dini secara formal melalui sekolah-sekolah maupun non formal melalui orang tua, sosialisasi, dan kampanye anti kekerasan seksual. Terakhir, sudah saatnya Indonesia menjadi negara yang aman dari kasus kekerasan seksual dengan tidak memberikan ruang bagi pelaku kekerasan seksual untuk melakukan tindakannya, hal ini dapat diwujudnyatakan dengan cara memberikan efek jera secara sosial kepada pelaku kekerasan seksual termasuk revenge porn.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.