Rangkap Jabatan Wakil Menteri di Indonesia : Membuka Peluang Tindak Pidana Korupsi?

Artikel, Depok, Hukum, Jakarta372 Dilihat

Penulis : Angela Rahely Salokang, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Medianasional.id

Gouverner c’est prévoir – menyelenggarakan pemerintahan harus berorientasi ke depan dengan melaksanakan apa yang seharusnya. Satu hal yang perlu dijadikan perhatian rakyat dalam melihat praktik ketatanegaraan pemerintahan di Indonesia.

Menteri dan Wakil Menteri merupakan satu bentuk unsur pimpinan Kementerian. Presiden dapat mengangkat Wakil Menteri apabila terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, diatur dalam UU No. 39 Tahun 2008. Tidak hanya itu, Menteri juga dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara, komisaris, direksi, atau pimpinan organisasi yang dibiayai oleh anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau biasa disebut uang rakyat. Mengingat pelaksanaan program kerja kementerian perlu menjadi fokus utama pemerintah.

Namun, pada praktiknya, beberapa wakil menteri melakukan rangkap jabatan karena tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas melarang wakil menteri untuk merangkap jabatan. Celah ini memicu kekosongan hukum dalam mengatur kewenangan wakil menteri sehingga berpotensi untuk menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi.

Di dalam kabinet Indonesia Maju, tercatat ada dua wakil menteri yang diketahui tengah merangkap jabatan, yaitu: (1) Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, merangkap sebagai Wakil Komisaris PT PLN; (2) Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo, merangkap sebagai Komisaris Utama PT BRI.

Padahal, wakil menteri memiliki posisi, peran, dan kekuasaan yang besar dalam menyelenggarakan program Kementerian. Selain itu, wakil menteri juga dibiayai negara menggunakan uang rakyat. Dinyatakan bahwa seorang wakil menteri berhak mendapatkan uang penghargaan sebesar Rp580.454.000 (lima ratus delapan puluh juta empat ratus lima puluh empat ribu rupiah) dalam satu periode. 

Oleh karena itu, seharusnya wakil menteri memenuhi asas-asas pelayanan publik, terutama asas profesionalisme dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Dibuktikan dengan tidak merangkap jabatan karena berpotensi untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) dan  membuka peluang tindak pidana korupsi. Wakil menteri yang merangkap jabatan bisa menggunakan kekayaan, kekuasaan, dan kewenangannya untuk melancarkan kepentingannya sendiri.

Bagaimana negara memberikan jaminan hukum kepada rakyat bahwa tidak ada peluang wakil menteri yang merangkap jabatan untuk melakukan tindak pidana korupsi?

Pertama, praktik rangkap jabatan Wakil Menteri di Indonesia dianggap tidak bertentangan secara konstitusional atas dasar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 80/PUU-XVII/2019 karena tidak ada pembuktian kerugian. Jadi, eksistensi wakil menteri yang merangkap jabatan masih bisa diterima, dianggap profesional dan sah menurut hukum, serta kekuasaannya mengikat di dalam pemerintahan.

Kedua, dalam Pasal 17 Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-11/MBU/07/2021, Wakil Menteri BUMN yang merangkap jabatan tetap dianggap sah apabila penetapannya disetujui oleh Menteri. Jabatan tersebut harus dipertahankan karena dapat membantu keselarasan performa kementerian untuk memajukan proses pembangunan negara. Mengingat wakil menteri berasal dari pejabat karir yang telah memenuhi kompetensi profesionalitas selama jejak karirnya.

Facta Sunt Potentiora Verbis – Fakta lebih kuat dari perkataan.

Faktanya, larangan rangkap jabatan Menteri saja masih diremehkan, dibuktikan dengan menteri-menteri kabinet Indonesia Maju yang merangkap jabatan, seperti: (1)  Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan merangkap sebagai Ketua Umum PAN; (2) Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto merangkap sebagai Ketua Umum Gerindra; (3) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto merangkap sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar. Seluruh partai tersebut memenuhi 5 kursi pemilu sehingga berhak mendapatkan dana dari pemerintah. 

Praktik rangkap jabatan membuka peluang yang sangat besar kepada pejabat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Dengan kekuasaan yang tidak dibatasi secara tegas oleh negara, pejabat akan mudah masuk ke dalam celah-celah korupsi. Menggunakan kewenangannya demi kepentingan pribadi, golongan, dan partai politiknya. Contoh, apabila wakil menteri diketahui merangkap jabatan sebagai wakil komisaris BUMN, ia berhak mendapatkan gaji dengan total Rp930,6 miliar dalam satu periode. 

Dana tersebut selayaknya selaras dengan kinerja profesional pejabat dalam memenuhi dua fokus tanggung jawab sebagai wakil menteri sekaligus wakil komisaris BUMN. Apabila tidak terpenuhi, negara akan mengalami kemunduran pembangunan dan kerugian secara materi karena wakil menteri tidak bisa melaksanakan program kementerian secara progresif.

Formula pembagian uang penghargaan, tata cara pembayaran, dan pendanaan wakil menteri diatur dalam Perpres No.77 Tahun 2021. Namun, kontras sekali, tidak ada peraturan yang menyatakan dengan tegas mengenai persyaratan wakil menteri untuk tidak melakukan rangkap jabatan, spesifikasi beban khusus, dan prosedur pengangkatan oleh Presiden. Hal ini ditujukkan untuk mengingat hak prerogatif Presiden agar tetap pada batas kewenangan etika birokrasi pemerintahan.

Perihal di atas menghasilkan dua pandangan yang berbeda mengenai praktik rangkap jabatan wakil menteri di Indonesia. Pertama, jabatan Wakil Menteri sebagai pejabat karir harus tetap dipertahankan karena dapat membantu memajukan proses pembangunan negara melalui kementerian yang bersangkutan secara lebih profesional karena pengalaman karirnya selama bertahun-tahun. Kedua, adanya ketidakselarasan peraturan perundang-undangan mengenai larangan rangkap jabatan wakil menteri yang memicu kekosongan hukum. 

Atas dua pandangan tersebut, seharusnya negara dapat mencantumkan larangan praktik rangkap jabatan Wakil Menteri dengan lebih jelas, terperinci, dan tegas di dalam peraturan perundang-undangan supaya publik mendapat kepastian hukum akan hal ini. Dengan begitu, negara memberikan jaminan bahwa tidak ada ruang wakil menteri untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) yang dapat membuka celah tindak pidana korupsi. Eksistensi wakil menteri dapat dipertahankan atas dasar penanganan khusus kementerian sebagaimana mestinya yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. 

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.