Negara Sengaja Membunuh Warganya?

Dicke Muhdi Gailea, Direktur Pendidikan & Pelatihan Bakornas LKBHMI PB HMI 2018-2020

Pemerintah dengan resmi mengeluarkan 3 produk hukum sekaligus yakni; Keppres Nomor 11 Tahun 2020, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020, dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 untuk menangani pandemik Corona Virus Disease (Covid-19).

Peraturan tersebut intinya adalah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan tetap mempertimbangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, tapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai amanat undang-undang.

ADVERTISEMENT

Amanat undang-undang sebagaimana dalam Pasal 55 tidak dijalankan, masyarakat disuruh mencari makan sendiri dan dengan ketentuan Work From Home demi mencegah penyebaran Covid-19. Otaknya dimana!

Dalam pembukaan UUD 45 yang intinya negara bertanggung jawab atas perdamaian, kemanusiaan, pendidikan, dan kesehatan. Ternyata masuknya akademisi di wilayah pemerintahan tidak menjamin kewarasan tercipta. Bagaimana dengan pekerja Gojek serta Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menyambung hidupnya dari usaha sehari-hari?

Perihal kemanusiaan dikesampingkan, tujuan negara tidak di indahkan, konstitusi dilangkahi, masyarakat menjadi korban oligarki, pemerintah sibuk mengurus jalannya investasi.

Ekonomi bisa di pacu kembali, sementara nyawa manusia khususnya warga negara tidak bisa di hidupkan lagi, lalu apa pentingnya punya negara, Apa fungsinya tangan jika dikotori dengan tinta setiap lima tahunnya.

Gangguan jiwa yang dialami pemerintah sudah tidak bisa di bendung lagi, nalar kritis melindungi manusia sehingga tinggal dongeng setiap harinya. Dimana Hak Warga Negara dikesampingkan, ekonomi dan investasi mendapat karpet merah.

Melalui pandemi Corona ini kita diperlihatkan bahwa betapa tidak bergunanya mereka yang menyandang gelar akademisi juncto politisi, nalarnya pincang.

Terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sebetulnya tidak ada yang baru alias sudah berjalan. Sebab jika dibaca dan runutkan substansinya dari awal persis sama dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Analisis saya mengatakan bahwa sebenarnya dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tersebut Pemerintah bisa membuat banyak hal, hanya saja yang perlu dipikirkan adalah pengambilan diskresi pada saat menjalankan protap secara teknis.

Pasal 27 ayat (3) pada Perppu ini juga bertabrakan dengan ketentuan Pasal 49 huruf (b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Tatausaha Negara. Ketentuan UU Tun menyaratkan bahwa Pemerintah tidak berhak dituntut ke PTUN atas dasar Kejadian luar biasa, Darurat Bencana dsb.

Kini urgensi yang diambil pemerintah dalam mengeluarkan 3 produk hukum tersebut tidak mengacu pada UU Kebencanaan tapi malah menerapkan status Darurat Sipil, substansi dan kegentingan memaksa.

Selebihnya saudara/saudari bisa menelaah sendiri betapa bobroknya produk hukum yang dirancang pemerintah demi menghadapi wabah ini, bukan mengatur hal yang lebih besar malah merumitkan persoalan kecil.

Corruptissima re publica plurimae leges (semakin korup sebuah republik, semakin banyak pula undang-undang yang di produksi). De minimis non curat lex (hukum tak mengurusi hal-hal yang sepele).

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.