Kontroversi mendengarkan Musik dalam Kacamata Islam

Artikel152 Dilihat
Oleh:
Siti Zulaeka
Mahasiswi Universitas Peradaban dan Santri Pondok Pesantren Al-Fatah

Membaca histori islam berkembang sangatlah mengandung makna toleransi dengan dinamika yang sangat damai. Islam berkembang di tanah jawa dengan jembatan para walisongo juga memberikan kesan akulturasi yang sangat serasi. Para wali ini menggabungkan dengan agama, budaya lokal, dan juga mengikuti biologis masyarakat pada zama tersebut. Namun sangat disayangkan dengan perkembangan zaman dan tuntutan stratifikasi sosial di tengah masyarakat Indonesia yang begitu luas, maka bermunculanlah sekte-sekte, aliran-aliran, dan mazhab-mazhab baru yang mengatasnamakan Islam berkembang pesat sesuai dengan latar belakang kebudayaan dan kondisi alam yang eksis di daerah penganutnya.

Seperti yang kita ingat bahwa bermunculan aliran-aliran yang sangat ingin menguasai dunia menjadi negara islam. Sehingga terjadi pengeboman seperti di Bali, gereja-gereja, dan tempat ibadah umat lainnya. Hal tersebut menjadikan perdamaian dalam islam semakin kacau, islam yang dinibatkan sebagai agama rahmatalill ‘alamin menjadi agama yang sangat kurang memberikan ruang untuk agama-agama yang lain. padahal jika kita menilik kembali sejarang rasulullah yang merupakan tokoh tauladan bagi umat islam telah memerangi kaum yahudi, nasrani dan kaum kafir dengan tidak mengawalinya sebagai bentuk kejahatan. Pandangan masyarakat umum bahwa segala sesuatu yang keluar dari jalur normal kebiasaan dalam segi ibadah, tindakan dan lainnya mereka menamakannya dengan radikalisme.

Dalam konstelasi politik Indonesia, masalah radikalisme Islam makin besar karena pendukungnya juga makin meningkat. Akan tetapi gerakan-gerakan ini lambat laun berbeda tujuan, serta tidak mempunyai pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syari’at Islam tanpa keharusan mendirikan “negara Islam”, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia, di samping yang memperjuangkan berdirinya “kekhalifahan Islam’, pola organisasinya pun beragam, mulai dari gerakan moral ideologi seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sampai kepada gaya militer seperti Laskar Jihad, dan FPI.

Di sisi lain, radikalisme adalah suatu paham yang dibuatbuat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham / aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham/aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.

Penejelasan radikalisme menyibak pada kasus vidio yang sedang hangat dikalangan tokoh agama yakni vidio sejumlah santri putra yang sedang vaksin dan menutup telinga saat dibunyikannya musik barat. vidio tersebut mendapat banyak partisipan dalam berargumentasi dari kalangan siapapun dari mulai beberapa artis, selebriti, dan juga tokoh agama. Beberapa menyebutkan bahwa hal demikian menyebutnya sebagai bentuk tindakan radikalisme karena dengan keras menolak suatu kebudayaan negara lain atau budaya lokal lain. sebagian memberikan argumen terkait dengan penolakan bahwa hal demikian merupakan bukan tindakan radikalisme karena, radikalime merupakan suatu bentuk tindakan kekerasan dalam membela dan memajukan apa yang menjadi visi kelompok tertentu. 

Menambahkan dari pendapat filsuf Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa jika mendengarkan musik serta nyanyian tidaklah berbeda dengan mendengarkan berbagai bunyi dari makhluk hidup ataupun benda mati dan juga mendengar perkataan seseorang. Apabila pesan yang disampaikan dalam musik adalah baik dan memiliki nilai keagamaan, mak ini tidak jauh berbeda dengan nasihat serta ceramah keagamaan.  Musik juga bisa menjadi makhruh dan bahkan diharamkan saat membuat seseorang yang memainkan ataupun mendengarkan musik tersebut menjadi lupa akan kewajibannya pada Allah SWT. Akan tetapi di sisi yang berbeda, kita tidak bisa menghentikan arus globalisasi dan musik memang sudah diperdengarkan di sekeliling kita.

Pendapat lain kita ambil dari Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa apabila seorang hamba sudah menyibukkan dengan amalan yang tak syari’at, maka tentunya ia akan kekurangan semangat untuk berbuat hal yang syari’at dan juga memiliki banyak manfaat. Sehingga kita sering melihat jika orang yang tidak bisa lepas dari nyanyian maka tidak akan merindukan lantunan dari Al Qur’an dan tidak bersemangat mendengarnya.

Hemat penulis dari kedua filsuf yang penulis paparkan dapat kita telaah bahwa hukum yang menyatakan musik adalah haram belum shahih artinya masih do’if dalam tingkatan hadist dan pernyataan bahwa seseorang yang tidak ingin mendengarkan musik bukan berarti mereka adalah kaum radikalisme pula. segala situasi harus ditelaah terlebih dahulu. Para santri yang telah menutup telinga ketika mendengarkan musik, karena mereka memiliki hafalan hadist, Al-Qur’an dan juga kitab-kitab yang lain karena memang lumrahnya kehidupan santri memang sedemikian rupa. Bentuk dalam menjaga hafalan memang tidak ada tata aturan, dan menjauh dari musik-musik itu adalah salah satu bentuk dari menjaga hafalan para santri tersebut.

Jika kita mempertanyakan musik haram atau bukan, itu adalah bergantung pada kebermanfaatan musik pada diri kita dan hal yang paling esensi dari musik adalah liriknya. Jika liriknya mengandung kata-kata kotor dan cenderung untuk melakukan maksiat maka dalam Al-Qur’an menjelaskan alangkah lebih baik untuk dihindari, jika hanya sebatas hiburan atau bahkan mengandung dakwah dan ketenangan untuk hati kita mengapa tidak diterapkan tanpa harus memperdebatkan dan saling menjerumuskan aliran-aliran lain, karena Islam adalah perdamaian dan toleran.

 

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.