Ketika Perempuan Bergerak, Mengubah Harapan Menjadi Realitas

Artikel96 Dilihat

Ketika Perempuan Bergerak, Mengubah Harapan Menjadi Realitas

Oleh : Fita Dwi Oktavia
Mahasiswi Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)
Universitas Peradaban Bumiayu

Membahas segala hal tentang perempuan memang tak akan ada habisnya, bila hal itu tidak dikerucutkan kembali. Untuk perempuan yang mengambil peran, yang berkarya dan bekerja di luar rumah dengan sepenuh hati. Kepada perempuan yang berkontribusi lewat berbagai bidang dan cara. Teruntuk para kaum hawa yang memperjuangkan cita-cita dan impiannya. Tak mudah memang untuk mengambil jalan itu. Sebagai perempuan sekadar membuat pilihan saja sudah dianggap menantang, kerap kali menerima hambatan dan celaan harian dari lingkungan sekitar. Bahkan tak jarang pula akibat celaan tersebut, kita perempuan kerap didera perasaan bersalah, walau memiliki tujuan mulia. Tidak jarang perempuan malah menganggap rendah dirinya sendiri. Hal tersebut bisa saja terjadi karena pandangan yang merasa bahwa perempuan lebih rendah dan dan tidak lebih mampu. Oleh karena itu, butuh sinergitas bersama untuk saling menguatkan.

Menjadi sukses dan disukai bukanlah hal biasa bagi perempuan, justru kerap bertolak belakang. Tidak heran, karena penelitian menunjukkan sukses berkorelasi positif untuk laki-laki, namun kerap membawa konsekuensi negatif terhadap perempuan. Ambisi perempuan kerap dianggap menentang tradisi. Pekerja perempuan yang mengupayakan posisi dianggap hanya memikirkan diri sendiri. Mereka yang berani unjuk diri, seringkali justru dihindari. Bahkan saat sudah berhasil pun, walau sukses membawa banyak manfaat bagi banyak orang, cibiran masih mungkin datang menghampiri.

Perubahan zaman sekarang yang serba cepat ini membuat berbagai gejolak yang muncul di penjuru dunia. Semua ingin berjuang demi keberlangsungan hidupnya. Demikian halnya dengan perempuan. Jika dulu perempuan hanya dianggap sebagai kanca wingking, sebutan untuk perempuan Jawa yang berarti teman di belakang. Sekarang perempuan menjadi garda terdepan dalam keberlangsungan hidup keluarga. Banyak sekarang dijumpai kaum perempuan turut andil dalam mencari nafkah untuk keluarganya. Hal ini tentu berkorelasi positif terhadap kedudukan perempuan dalam mencari pekerjaan, sehingga tidak membuat perempuan terkungkung dalam ranah domestik saja, seperti yang tadi disebutkan hanya sebagai kanca wingking bagi kaum Adam. Bukan hanya itu saja perempuan juga dikenal dengan sebutan 3 (tiga) M yaitu, masak, manak, lan macak (memasak, melahirkan, merias diri/berdandan). Namun, sekarang di era disrupsi ini, perubahan zaman yang makin cepat dan kian terasa dan semakin canggihnya teknologi membuat perempuan menginginkan kesetaraan hidup antara perempuan dan laki-laki. Mulai muncul gerakan-gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan, seperti gerakan emansipasi perempuan dan gerakan feminisme perempuan.

Menjadi berhasil bagi perempuan bisa saja memicu hal negatif dinilai dan ditakar macam-macam. Banyak yang harus diperbaiki dalam hal ini, mari mulai dari diri sendiri. Tidak ada yang lebih tahu dari perempuan selain dirinya sendiri. Harga diri tidak ditentukan oleh orang lain, melainkan berasal dari pengenalan atas diri sendiri, dengan mengetahui kekuatan dan kekurangan diri sendiri. Dan yang terpenting paham apa yang hendak dikejar dan direalisasikan. Perempuan harus percaya diri, percaya akan kemampuan diri untuk menggapai impian masing-masing. Mereka yang gagal menghargai diri sendiri tak punya kesempatan kedua untuk menilai orang lain apalagi menghakimi sesama perempuan.

Perempuan harusnya saling bergandengan tangan bukan malah saling menjatuhkan. Mungkin karena kita melihat hidup sebagai sebuah ajang kompetisi, semua diperlombakan. Jadi tanpa sering kita sadari kita kerap khawatir terhadap segalanya, gerak gerik teman sejawat bisa dicurigai sebagai tentangan. Ada fenomena yang tidak begitu familiar didengar, yaitu istilah Queen Bee Syndrome. Sindrom ratu lebah ini pertama kali didefinisikan oleh G.L Staines, T.E. Jayaratne, dan C. tavris pada tahun 1973, istilah ini menggambarkan seorang perempuan yang memandang atau memperlakukan bawahan atau teman perempuan mereka lebih kritis, bahkan tak jarang sering merasa cemburu, dan merasa tersaingi oleh sesama perempuan. Akibatnya kecemburuan itu menimbulkan suatu respon yang kurang mengenakkan, bahkan akan terkesan menjauh dan menghindari dari perempuan yang dianggap menyaingi dirinya. Hal ini sering terjadi dalam dunia kerja dimana hasil penelitian mengungkapkan bahwa sekitar 58% perundung di tempat kerja adalah perempuan dan hampir 90% dari mereka memilih perempuan lainnya sebagai korban. Bukan hanya di lingkungan kerja saja yang terasa, dalam lingkungan civitas akademika pun sering terjadi. Mereka yang kerap terlihat menonjol diantara siswi maupun mahasiswi justru sering mendapat perlakuan perundungan.

Menjadi positif bukan pertanda kita lemah, dan mendukung mereka yang berhasil bukan berarti kita mengakui kegagalan. Yakin bahwa kesuksesan tidak perlu diperebutkan dan kerjasama lebih bisa didahulukan akan membuat perempuan tidak pernah sendirian. Mari lebih menunjukkan empati dan kemurahan hati menjauhi kecemburuan menghindari runcingnya perasaan bersalah yang kerap mendera perempuan. Bukankah kita kaum hawa sudah terbiasa bekerja lebih keras dibanding para pria? Perempuan biasanya lebih rajin, lebih tekun, dan lebih konsisten dari laki-laki. Karena seringkali pintu-pintu yang terbuka mudah bagi laki-laki itu justru harus diketuk atau didobrak lebih keras oleh perempuan. Jadi, mari membangun lingkaran kekuatan yang positif antar perempuan untuk berbagi pikiran dan perasaan juga memupuk keberanian, percayalah kita akan bersama dan tak pernah sendirian jika mau membangun sebuah lingkaran.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.