Cukai Sebagai Pigouvian Tax Atas Ekternalitas Negatif Sampah Kantong Plastik

Artikel504 Dilihat

Tangerang, medianasional.id – Cukai merupakan pungutan negara wajib yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang. Adapun barang-barang tertentu tersebut adalah barang yang memiliki sifat atau karakteristik berupa konsumsinya yang perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, dan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Hingga saat ini, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tengah melakukan pembahasan bersama Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan penerapan cukai terhadap produk plastik dan kantong plastik.

Beberapa Pemerintah Daerah di Indonesia telah menerapkan pungutan terhadap penggunaan kantong plastik. Penggguna kantong plastik harus membayar seharga Rp 200 per kantong plastik. Langkah ini telah diterapkan bertujuan untuk mengurangi sampah, khususnya sampah dari kantong plastik.

Laporan dari United Nations Environment Programme (UNEP) tentang plastik sekali pakai menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 400 juta ton plastik yang diproduksi di seluruh dunia pada 2015. Dari jumlah tersebut sebanyak 36 persen diproduksi untuk kantong kemasan sekali pakai yang kemudian menjadi sampah plastik.

Berdasarkan data Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (INAPLAS), pada tahun 2016 konsumsi plastik di Indonesia mencapai 4,83 juta ton, dengan total produksi dalam negeri sebesar 2,31 juta ton, impor sebesar 1,67 juta ton, dan daur ulang plastik sebesar 850 ribu ton.
Penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2016 menunjukkan bahwa konsumsi plastik perkapita Indonesia mencapai 17 kilogram per tahunnya dan tingkat pertumbuhan konsumsi plastik yang mencapai 6 hingga 7 persen per tahun.

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2016 menyatakan bahwa konsumsi kantong plastik di Indonesia mencapai 107.065.217 kilogram per tahunnya. KLHK juga menyatakan bahwa sebanyak 80% sampah yang dibuang ke laut adalah sampah yang berasal dari daratan, yang mana 90% dari sampah tersebut merupakan sampah plastik.

Jika dilihat dari data-data tersebut, penggunaan kantong plastik ini dapat menimbulkan dampak buruk di masyarakat luas jika tidak digunakan secara bertanggung jawab. Hal ini dalam istilah ekonomi disebut sebagai eksternalitas negatif. Eksternalitas negatif ini perlu ditekan atau dikurangi sehingga kerugian yang diderita oleh masyarakat dapat dikurangi atau diminimalkan. Kerugian tersebut dapat berupa pencemaran lingkungan dan rusaknya ekosistem oleh sampah kantong plastik. Untuk itu pemerintah perlu mengambil tindakan untuk mengurangi jumlah sampah plastik dan sampah kantong plastik tersebut.

Saat eksternalitas negatif terjadi, harga barang yang ditetapkan oleh perusahaan tidak menunjukkan titik keseimbangan (ekuilibrium) yang sebenarnya karena pembentukan harga didasarkan pada Marginal Private Cost sehingga harga barang akan dirasa lebih murah dan akan memicu tingkat produksi yang lebih besar.

Hal tersebut terjadi karena dalam proses produksi tidak memperhitungkan besarnya residual hasil kegiatan produksi yang dilepaskan ke alam yang berpotensi menimbulkan eksternalitas negatif bagi lingkungan (social cost). pembentukan harga di pasar harus berpatokan pada konsep Marginal Social Cost, yakni Marginal Private Cost ditambahkan biaya eksternalitas (Marginal Externality Cost).

Dengan demikian, mekanisme pasar dapat terjadi dengan menetapkan harga barang yang sama dengan besarnya Marginal Social Cost nya.

Dalam ilmu keuangan publik, langkah yang dapat diambil pemerintah dalam tindakan mengontrol polusi atau ekternalitas negatif adalah menggunakan pendekatan pajak dengan regulasi harga atau menggunakan pendekatan kuantitas dengan regulasi terkait jumlah yang boleh diproduksi.

Mankiw menyebutkan dalam bukunya bahwa salah satu langkah yang dapat yang dapat diambil oleh pemerintah dalam menekan ekternalitas negatif adalah dengan cara “memberikan insentif kepada para pihak yang menimbulkan efek negatif dari tindakannya”. Insentif yang dimaksud oleh Mankiw adalah “sesuatu yang dapat mendorong seseorang untuk bertindak”. Hal ini sejalan dengan prinsip ekonomi yang menyebutkan bahwa “orang memberikan reaksi terhadap insentif”.

Gruber dalam bukunya menyebutkan bahwa regulasi menggunakan harga (regulasi melalu pajak) lebih disukai daripada regulasi kuantitas karena hal ini memberikan fleksibilitas yang lebih baik bagi perusahaan dalam memilih jumlah pengurangan polusi yang optimal serta memungkinkan untuk memilih tingkat yang paling efisien.

Dalam membatasi dan mengurangi efek penggunaan kantong plastik sekali pakai ini, Pemerintah dapat memberikan insentif berupa penerapan regulasi harga berupa pajak korektif yakni pajak Pigovian (Pigouvian tax). Pajak Pigovian merupakan pajak yang khusus diterapkan untuk mengatasi masalah eksternalitas. Para ekonom berkeyakinan bahwa penerapan pajak Pigovian merupakan cara terbaik untuk menurunkan tingkat polusi.

Pengenaan pajak pada umumnya akan memunculkan deadweight loss (DWL) berupa penurunan kesejahteraan ekonomis (turunnya surplus produsen dan surplus konsumen), yang nilainya lebih besar dari pada pendapatan riil yang seharusnya diperoleh pemerintah dari pajak tersebut. Namun, pajak Pigouvian tidak sama dengan pajak pada umumnya, Pajak Pigovian diterapkan untuk memperbaiki insentif karena adanya eksternalitas, sehingga mendorong alokasi sumber daya lebih dekat ke titik optimal sosial.

Salah satu jenis pajak Pigouvian adalah pengenaan cukai. Pengenaan cukai ini ditujukan membatasi dan mengurangi ekternalitas negatif yang dalam hal ini untuk membatasi dan mengurangi sampah plastik di Indonesia.

Jadi, selain berfungsi sebagai instrument penerimaan negara yang memberikan tambahan pendapat bagi pemerintah, pajak Pigovian dalam hal ini cukai juga dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi serta secara langsung menetapkan harga atas hak berpolusi (sampah plastik) di masyarakat.

Pada masa Pandemi Covid-19 saat ini, langkah pemerintah dalam pengenaan cukai terhadap kantong plastik perlu dikaji lebih lanjut dan harus mempertimbangkan banyak hal. Terlebih lagi kondisi ekonomi Indonesia di masa pandemi ini belum sepenuhnya pulih. Jika penerapan pengenaan cukai terhadap plastik ini di lakukan di masa pandemi dimana kondisi ekonomi belum stabil maka dikhawatirkan hal tersebut akan memberikan guncangan terhadap masyarakat dan juga pelaku usaha yang membutuhkan penggunaan kantong plastik dalam kehidupan sehari-hari.

Referensi:

Republik Indonesia. 2007. Undang-undang Nomor  39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Gruber, Jonathan. (2004). Public finance and public policy. New York, NY: Worth Publishers,
Mankiw, N. Gregory. (2014). Principles of microeconomics (Ed.11). United States of America: GEX Publishing Services.
Asyari, Yusuf. (20 Feberuari 2020). Data KLH, Konsumsi Kantong Plastik di Indonesia Capai 107 Juta Kilogram per Tahun. https://www.wartatani.co/3418/lingkungan/data-klh-konsumsi-kantong-plastik-di-indonesia-capai-107-juta-kilogram-per-tahun/. Diakses 24 Januari 2021.
United Nations Environment Programme (UNEP). 2014. Valuing Plastics: The Business Case for Measuring, Managing and Disclosing Plastic Use in the Consumer Goods Industry. United Nations Environment Programme.
Cahyadi, Indra. 2020. Ekstensifikasi Penerimaan Negara Atas Barang Kena Cukai Berupa Kemasan Plastik di Indonesia.

Penulis : Wirananda Hadi Kusuma

(Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.