Catatan Kritis UU ITE

Artikel, Jakarta690 Dilihat
ERWIN MOESLIMIN SINGAJURU, Mantan Anggota DPR RI

 

Jakarta, medianasional.id – Presiden Joko Widodo menyatakan, revisi UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dilakukan pemerintah jika pedoman implementasi terhadap UU ITE dipandang tidak memberikan keadilan.

Menkopolhukam Mahfud MD meminta tak alergi pada perubahan jika itu merupakan tuntutan Karena hukum selalu berubah, tak ada yang abadi (Kompas, 27 Februari 2021). Tulisan ini berupaya memberi pertimbangan, UU ITE penting direvisi beberapa pasalnya.

Dalam hukum internasional sering dirujuk teori perimbangan kekuatan (TPK). Bandul disebelah kanan menggambarkan UU “murni” menjadi alat pemerintah, berada di tengah jika hukum bersifat netral sesuai fungsinya, dan berada di sebelah kiri justru jika oleh oposisi dijadikan alat “mengkritisi/ menghabisi” pemerintah.

Dalam konteks UU ITE, terkesan UU ini telah berada di sebelah kanan atau menjadi alat pemerintah membelenggu rakyatnya sendiri. Ketika UU terlalu kuat apalagi didukung aparat negara, bisa menjadi ancaman dan rakyat meresponsnya sebagai perimbangan.

Bukan perkara mudah mendapatkan perimbangan. Rakyat akan berusaha mencari dukungm pihak lain, untuk meningkatkan kekuatan. Jika berhasil, bisa saja terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran seperti yang terjadi pada gerakan reformasi tahun 1998.

Tentu akan sangat berbahaya bagi pemerintah jika tidak cukup kuat mengadang kekuatan rakyat itu. Secara teoretis, ada dua Opsi yang ditawarkan TPK, yaitu balancing dan bandwagoning.

Balancing merupakan upaya mengimbangi kekuatan (negara atau aliansi) pesaing dengan membangun kekuatan internal atau aliansi (sebaga kekuatan eksternal). Bandwagoning, yaitu upaya kompromi dengan kekuatan pesaing untuk menghindari konflik.

Kedua opsi itu tidak cocok untuk posisi (subjek/objek) rakyat yang lemah karena jelas, yang hegemonik adalah pemerintah dan pasti menang. Karena itu, harus ada opsi ketiga yang diyakini menjadi solusi dan diasumsikan jauh lebih adil. Opsi itu adalah bargaining.

Revisi UU ITE

Tuntutan revisi atas UU ITE karena pasal tertentu dipandang menjadi alat kekuasaan, untuk melemahkan siapa pun yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Posisi ini kian tak terbendung karena didukung aparat kepolisian yang terlampau mudah menangkap.

Dalam konteks balancing theory, UU ITE dikonstruksikan sebagai alat kekuasaan, yang acap tidak adil, diskriminatif, dan tebang pilih (Azyumardi Azra, Kompas 22/1/2021, Jimly Ashiddiqie, Republika 1/1/2021).

Opsi bargaining seharusnya dilakukan DPR. Sayangnya, revisi UU ITE tidak masuk Prolegnas (Kompas, 12/3/2021). Mungkin saya karena sudah masuk UU KUH Pidana, yang di antara pasal-pasalnya telah mengakomodasi pasal-pasal dalam UU ITE itu.

Problem saat ini, bagaimana agar DPR berinisiatif merevisi UU tersebut atau mendesak pemerintah mencabutnya melalui perppu.

Tuntutan revisi atas UU ITE karena dipandang menjadi alat melemahkan siapapun yang berbeda pendapat dengan Pemerintah.

Cermin masyarakat

UU semestinya mencerminkan kebutuhan dan kemanfaatan bagi masyarakat (Jeremy Bentham, 2011). Lebih dari itu, bagi Satjipto Rahardjo, hukum itu tertanam ke dalam dan berakar dalam masyarakat.

Pemberlakuan UU Nomor 11 Tahum 2008 tentang ITE, terutama Pasal 27-29 yang dikenal sebagai pasal karet harus dihapus. Pasal-pasal ini dipandang meng-kloning Pasal 310-311 KUHP yang multitafsir. Terutama pada tiga pasal, yaitu Pasal 27, 28, dan 29.

Norma pasal ini dinilai para ahli sangat umum dan tak ada penjelasan perinci. Sebagai contoh, penjelasan Pasal 27 UU ITE hanya menyebutkan pencemaran nama baik. Padahal, pada Pasal 310 hingga 311 KUHP terdapat enam jenis penghinaan atau penistaan.

Karena itu, saat judicial review di MK beberapa waktu lalu, putusan MK menyatakan, pada prinsipnya Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus ditafsirkan inheren dan korelatif dengan Pasal 310 dan 311 KUHP itu.

Menarik dikaji, khususnya Pasal 27 UU ITE ini, terkait pencemaran nama baik. Prinsipnya, pasal itu akan berlaku jika motif pencemaran itu dimaksudkan menyerang kehormatan dan untuk diketahui umum.

Namun, tidak dianggap pencemaran nama baik jika demi ketertiban umum atau untuk membela diri. Pasal ini tetap memberlakukan hukum pidana (kurungan) bagi yang bersalah.

Namun, terlepas dari inti pencemaran sendiri penulis menilai terkait hukuman, perlu kiranya digagas bentuk hukuman baru, tak harus pidana (kurungan). Bisa saya dikompensasikan ke arah keperdataan, seperti hukuman denda atau ganti kerugian

Jika ini diakomodasi, akan menarik untuk dua hal. Pertama, pengguna media sosial agar berhati-hati. Kedua, kompensasi perdata membuat pelaku jera, mengingat nominal ganti kerugian (perdata) harus dibayar.

Masalah lain yang harus dikritisi, Pasal 28 UU ITE. Pasal ini merupakan Pasal 154 hingga Pasal 157 KUHP, yang mengatur keajahatan terhadap ketertiban umum. Padahal, sebagian dan pasal itu telah dicabut atau diubah melalui putusan MK.

Lainnya, Pasal 40 ayat 2b: memberikan kewenangan kepada pemerintah menilais sepihak, apakah suatu informasi atau dokumen elektronik memiliki muatan melanggar hukum atau tidak, dan memutusnya tanpa proses peradilan.

Jika pasal-pasal multitafsir ini dibiarkan, akan berpotensi memicu konflik horizontal. Di masyarakat, akan terjadi permusuhan terutama terhadap pemerintah (kepolisian). Tentu ini akan sangat tidak baik.

Kendati UU ITE menjadi pekerjaan rumah Presiden dan DPR utuk direvisi, penulis menilai, kita berada pada era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0, yatu transformasi digital telah memasuki semua lini kehidupan.

Ada risiko besar juga jika semua informasi dan proses yang mengitarinya tidak diatur hukum. Misalnya, akhir-akhir ini beredar video jaksa tertangkap tangan menerima sogokan Rp 1,5 milhar.

Video itu dirili untuk mengesankan seolah terkait kasus HRS, padahal sudah lama terjadi dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kasus HRS. Video ini hoaks, Jika oknum pengedar video tak diproses hukum, pemerintah dan lembaga hukum jadi korban.

Dari perspektif ini, keberadaan UU ITE diperlukan. Dengan kata lain, pasal-pasal yang sifatnya mengantisipasi keadaan agar hoaks tidak terjadi sangat mendesak diakomodasi Substansinya, UU ITE mengisi ruang kosong dunia digital yang belum diatur.

Kalau merujuk teori keseimbangan, pemerintah mengedepankan asas ultimum remedium sehingga tak membuat masyarakat takut menyuarakan aspirasinya. Masyarakat pun mesti menjaga perilaku bermedia sosial agar tak melanggar hukum dan etika.»

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.