ASN yang Ditentarakan!

Aceh, Artikel333 Dilihat

Aceh, medianasional.id – Dalam makan malam santai bersama dengan Kesbangpol Provinsi Aceh, Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) Aceh, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Balai Syura dan AMAN Indonesia, di Kyriad Muraya Hotel, Jumat (21/1/2022) kami berbincang seputar situasi Aceh, saat masa konflik, tsunami hingga update terkini.

Tujuan kami ke Aceh saat ini dalam rangka mensosialisasikan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) yang disahkan presiden pada 7 Januari 2021 sebagai roadmap program yang dilakukan oleh kementerian lembaga dalam Penanggulangan Terorisme.

Pilihannya dengan menggunakan hard and soft approaches, meskipun yang kedua lebih menjadi prioritas, karena memang penanganan lebih banyak dilakukan oleh Densus 88. Keterlibatan masyarakat sipil juga digarisbawahi dalam rencana aksi mengingat perannya yang cukup signifikan, terutama dalam hal pemberdayaan masyarakat.

Salah seorang pejabat bercerita, backgroundnya dari Kementerian Luar Negeri, suatu saat di awal tahun 2000 an, dia ditugaskan bersama pasukan Garuda dibawah pimpinan AHY untuk suatu misi di Lebanon. Ia ASN, namun keahliannya di bidang hubungan international dibutuhkan untuk menghadapi pasukan Hezbullah.

Bersama dengan 2 orang temannya, 2 minggu sebelum berangkat, berlatih menembak di Cilodong. Mereka diberi pangkat kapten sebagai penanda bahwa mereka akan bertempur di garda terdepan bersama pasukan TNI lainnya. Menarik dari percakapan ini saya melihat “kelebihan” sipil yang tak memiliki rasa takut saat berada dalam lingkaran musuh. Mereka membangun komunikasi dengan Pasukan Hezbullah di warung-warung kopi untuk menemukan jalan keluar dari perang yang tak berkesudahan.

Strategi warung kopi ini yang menurut beliau, tak akan ditempuh oleh TNI karena menganggap itu adalah cara konyol menghadapi musuh. Paradigma sipil vs terlihat jelas berbeda dalam cerita ini, ini saya tekankan pada cerita ini saja karena saya tak mau menggeneralisir, tapi mencoba memahami dari satu konteks cerita bapak ini. TNI seakan fokus pada bagaimana mengalahkan dan menaklukkan musuh di depan mata dengan pendekatan satu pintu, komando pimpinan!.

Berbeda dengan pendekatan sipil yang lebih mengedepankan mengambil hati sebagai strategi, dan itu banyak dicairkan dalam obrolan santai di warung kopi, karena kopi bahasa hati, dimana kepahitan dan manis ditentukan oleh masing-masing. Bagi yang tidak suka kopi, setidaknya nongkrong diwarung kopi menjadi ruang pertukaran ide dan gagasan dan membuka ruang keakraban dan kebersamaan.

Perpaduan pendekatan sipil dan tentara menarik dan sangat bisa saling melengkapi. Perang bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan pendekatan tunggal, namun butuh berbagai strategi untuk menuntaskan segala hal diberbagai lini. Kompleksitas situasi perang, memerlukan konsen tidak hanya bagaimana menaklukkan musuh, namun juga bagaimana menyelamatkan masyarakat sipil terutama kelompok rentan agar mereka tidak menderita dampak dari perang, atau setidaknya meminimalisir resiko.

Karena perdamaian yang sesungguhnya bukan hanya pada titik ketiadaan perang, namun bagaimana masyarakat terdampak perang mendapatkan keadilan dan tercipta suasana yang aman, serta terpenuhi kebutuhan dasarnya. Bahkan, definisi damai positif dimana masyarakat memiliki kebebasan menentukan hidupnya sendiri, tanpa rasa takut dan terlindungi hak-haknya sebagai warga negara.

Kedua elemen penting negara ini: sipil dan militer akan saling melengkapi jika jembatan komunikasi dan pembagian perannya jelas untuk menciptakan perdamaian abadi.

Cerita lainnya konteks Aceh dalam situasi paska perang ditambah bencana tsunami yang meluluhlantakkan bumi Serambi Mekkah. Seorang bapak yang saat itu menjabat sebagai camat harus mengambil peran penuh saat wilayahnya terisolasi dari wilayah sekitarnya akibat terjangan air laut dan pergeseran lempeng bumi.

Saat kejadian, ia segera menyelamatkan diri dan keluarganya. Namun ia melihat warganya yang telah bergelimpangan tak bernyawa. Komunikasi putus saat itu, hingga ia beranggapan bahwa bencana ini hanya terjadi di wilayahnya. Ia berefleksi apa dosa yang ia buat sehingga warganya mengalami azab ini. Beberapa hari kemudian dia tahu bahwa tsunami terjadi di banyak tempat di Aceh.

Langkah penyelamatan pertama yang dilakukan adalah mengatur pasar agar tidak terjadi buying panic, dimana orang yang punya duit memborong semua kebutuhan pokok. Ia memerintahkan toko sembako dan gudang beras dibuka jika diinstruksikan oleh dia.

Dalam situasi emergensi, masyarakat akan mudah terprovokasi karena perebutan bantuan. Bapak ini menolak bantuan yang diberikan melalui helikopter karena mereka tidak mau tunduk dengan mekanisme yang dibangunnya bahwa bantuan harus melalui satu pintu. Belum lagi dia harus meredam kelompok GAM agar tidak menyerang warga dalam situasi prihatin ini.

Dia dihormati oleh komandan GAM, dan juga oleh polisi dan TNI. Selama bertugas saat menghadapi situasi genting konflik, ia menggunakan pakaian “dinas” lengkap yang menegaskan bahwa apa yang dilakukan untuk memperjuangkan NKRI. Semua mengenalnya bapak Merah Putih. Beliau dihormati oleh pasukan pengamanan, juga oleh kelompok GAM.

Beliau melampaui segala ketakutannnya dalam situasi terdesak ini. Ia takut laut, namun dia harus mengarungi laut dalam 3 jam dengan perahu demi memperjuangkan nasib warganya. Ia bawa serta istrinya, padahal ia tahu istrinya tak bisa berenang. Saat di tengah laut boatnya mati mesin padahal posisi berada di tempat dimana karang dan debur ombak bertabrakan, ia mengandalkan Tuhan untuk menyelamatkannya atau pilihannya mati bersama dengan pasangannya.

Keberanian itu, bukan hanya dimiliki oleh pasukan pengamanan. Namun setiap manusia dibekali rasa ini, dan akan mencuat jika dalam situasi terjepit dan tak ada pilihan.

Kedua figur dalam cerita ini adalah Aparatur Sipil Negara (ASN), punya cerita panjang dalam membuktikan kecintaannya pada bangsa ini. Kalau kamu, apa yang akan kamu lakukan untuk membuktikan cinta bhaktimu pada negeri elok permai ini?

Oh ya, review sedikit rumah makan ini, sup ikannya lezat tiada tara, juga udang saos telor asinnya membuat saya lupa sama nasi. (NR)

Penulis:
Hanifah Haris – Program Manager The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, traveller

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.