Abdullah Sadik : Bebaskan Pemilu Dari Kekerasan Politik

Jakarta, Maluku Utara314 Dilihat

Medianasional.id

Kekerasan politik dalam pemilu masih saja menjadi salah satu isu sentral dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Pemilu dari masa ke masa selalu identik dengan kekerasan, sehingga dapat dibuktikan bahwa setiap menjelang dan selama pelaksanaan pemilu banyak pihak yang bersiap mengamankan jalannya pemilu. Sejarah pemilu di Indonesia selalu saja ada cerita tentang tradisi kekerasan politik. Kemunculan kekerasan politik pada setiap pemilu hampir tidak bisa dihindari, walaupun berbagai regulasi maupun norma telah dibuat, serta dilakukannya berbagai upaya peningkatan pendidikan politik.  Kekerasan politik dapat dikatakan sudah menjadi identitas dalam setiap penyelenggaraan pemilu, bukan pemilu kalau tanpa kekerasan politik, dan ini akan mengganggu  jalannya proses demokratisasi. Kita percaya bahwa salah satu kendala penting penghalang terwujudnya pemilu demokratis  adalah kemungkinan munculnya kekerasan politik. Kekerasan politik yang muncul perlu dicegah, karena hal itu akan merusak demokrasi dan menjadikan hasil pemilu tidak mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat.

Dalam tahun politik menjelang pesta demokrasi Pemilu Tahun 2024, dinamika kehidupan sosial ekonomi dan politik di negeri ini mengalami goncangan yang cukup keras, apalagi baru saja menghadapai pandemik Covid 19 yang menyebabkan belum pulihnya  berbagai krisis sosial ekonomi maupun politik. Ekonomi masyarakat terpuruk dihantam oleh kenaikan harga BBM dan bahan pokok, serta hampir di berbagai daerah terjadi kesenjangan sosial, meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran serta praktik korupsi yang merajalela, dan disertai dengan kekecewaan massa yang meluas akibat belum adanya perbaikan – perbaikan  dalam kebijakan publik, sehingga dapat menimbulkan kekecewaan politik yang bisa manifes menjadi kekerasan politik. Sebenarnya, sistem politik demokrasi bila dijalankan dengan  baik bisa mengatasi berbagai gejolak konflik kekerasan di masyarakat, namun di Indonesia  mekanisme demokrasi itu belum ter-lembaga dengan baik, sehingga ledakan partisipasi politik yang ada bisa manifes menjadi kekecewaan dan kekerasan politik massa. Demikian itu terjadi karena pemilu akan membuka struktur peluang politik (political opportunity structure) yang terbuka bagi partisipasi politik warga, yang dalam konteks Indonesia seringkali bukan partisipasi sesungguhnya tetapi lebih merupakan mobilisasi massa. Sehingga, pemilu bisa menjadi sarana untuk meluapkan kekecewaan politik yang bisa berubah menjadi partisipasi dalam bentuk kekerasan politik (Lambang Trijono, 2004).

Bila kita cermati saat jelang pemilu sampai dengan pelaksanaannya, sering diwarnai adanya kekerasan politik, mulai dari terjadinya benturan fisik antar massa pendukung ataupun protes peserta pemilu terhadap penyelenggara pemilu, namun pemicu kekerasan politik tidaklah tunggal tapi dari berbagai aspek yang mempengaruhinya, salah satu persoalan yang cukup menonjol dapat memicu kekerasan politik yakni terkait antara lain dengan perilaku para elit politik atau kelompok politik tertentu dalam melakukan aktifitasnya yang cenderung menggunakan simbol-simbol identitas yang bersifat ideologis sebagai salah satu instrumen untuk menyerang seseorang maupun kelompok politik yang berbeda identitas / ideologis. Perbedaan identitas / ideologis diperagakan secara ekstrim, dengan cara memagari atau meng-klaim diri dan kelompoknya dengan menggunakan narasi-narasi yang mengarah pada kekerasan politik, seperti mengganggap diri dan kelompoknya sangat “Pancasilais dan cinta  NKRI” dan menuduh orang / kelompok lain sebaliknya, begitu pula ada orang / kelompok yang menganggap identitas dirinya sebagai”orang Indonesia asli” dan menuduh warga negara Indonesia keturunan “bukan Indonesia asli”, bahkan saling melabeli kelompok lain dengan identitas tertentu sebagai kelompok “radikal dan intoleran”. Dengan perlakuan diskriminatif berlatar identitas / ideologis seperti ini, bukan hanya menghalangi kelancaran penyelenggaraan pemilu, tapi bisa menjadi ancaman bagi rasa persatuan dan kesatuan bangsa.    

Sementara secara bersamaan di arena kebijakan publik, masalah-masalah sosial – ekonomi  mendasar belum teratasi, dimana kebijakan politik dirasakan belum mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat serta artikulasi kepentingan masyarakat tidak terpecahkan, apalagi kepentingan  politik yang ter-manifes dalam politik identitas etnis, agama, dan kedaerahan. Begitu pula terkait dengan tuntutan perlakuan yang adil dalam menyikapi perbedaan sikap dan pilihan politik dalam masyarakat.  

Saat ini kita melihat bahwa perbedaan sikap dan pilihan politik belum sepenuhnya dinggap sesuatu yang wajar dalam alam demokrasi, malah perbedaan tersebut dipertajam dan digiring menjadi alat provokasi, sehingga menimbulkan ketegangan sosial yang cukup mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Apalagi di era digital saat ini, pemanfaatan media sosial tidak lagi menjadi sarana untuk pendidikan politik yang santun dan demokratis, akan tetapi telah dimanfaatkan untuk dijadikan arena untuk saling menghujat, menjatuhkan, memfitnah bahkan secara sistemik di jadikan sebagai alat propaganda pembusukan politik bagi seseorang ataupun kelompok politik tertentu. Kekerasan politik melalui media sosial seperti ini, dinilai oleh sebagian kalangan sudah jauh dari etika dan moralitas, dan diperburuk lagi dengan kurangnya mendapat kontrol yang baik dan tegas dari pemangku kepentingan penyelenggaraan pemilu, justeru terkesan ada pembiaran dan sedikit memihak terutama pada kelompok yang dianggap sejalan sikap politiknya dengan penguasa, sementara kelompok yang berseberangan dengan penguasa akan mendapatkan tekanan bahkan dikenakan sanksi hukum. Ini yang dikatakan politisasi media massa sebagai alat propaganda kampanye hitam / hoaks, nampaknya sudah menjadi hal yang wajar serta membudaya dikalangan masyarakat. 

Sementara di arena sosial politik, nampak  jelas adanya konflik  / perpecahan elit politik yang dulunya pada pemilu 2019 berkoalisi membentuk dan mendukung pemerintahan saat ini, namun kemudian para elit politik tersebut justeru pada jelang menghadapi pemilu 2024 akan datang, telah terpecah dengan membentuk koalisi baru. Konflik perpecahan antar elit politik yang pernah ber-koalisi tersebut, tentunya akan memberi dampak pada harmonisasi hubungan antar massa pendukungnya, sehingga diperkirakan polarisasi sosial akan semakin menguat apalagi dipengaruhi pula dengan adanya  polarisasi berlatar SARA dalam masyarakat, dan ini yang telah mempengaruhi stabilitas politik maupun hubungan sosial masyarakat. Persoalan-persoalan tersebut akan menjadi potensi terjadinya kekerasan politik massa.     

 Potensi munculnya kekerasan politik pada pemilu juga dapat bersumber dari adanya keraguan pemilih dan peserta pemilu terhadap independensi penyelenggara pemilu serta adanya tudingan bahwa penegakan hukum pemilu yang belum memenuhi rasa keadilan. Disini penyelenggara pemilu termasuk penegak hukum pemilu menjadi sasaran ketidakpuasan, dimana fakta sering muncul yakni adanya protes dalam bentuk aksi unjuk rasa anarkis dan tidak percaya proses peradilan pemilu. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara pemilu dan penegak hukum pemilu untuk lebih meningkatkan integritasnya. Penyelenggara pemilu dan penegak hukum pemilu harus mampu menunjukkan bahwa posisinya tidak memihak dan tidak bisa dipengaruhi oleh siapapun baik para elit politik, kelompok kepentingan maupun oleh penguasa. 

Kekerasan politik maupun konflik dalam pemilu dapat pula dipicu oleh hal –hal yang terkait dengan kerja teknis pemilu, seperti aturan dan atau interpretasi atas aturan pemilu yang tidak jelas, penegakan atas pelanggaran aturan pemilu yang tidak konsisten, lemahnya infrastruktur dan kapasitas organisasi penyelenggara pemilu (khususnya PPK, PPS dan KPPS), penetapan daerah pemilihan yang tidak adil, pengaturan jadwal kampanye yang dianggap tidak adil, dan proses penghitungan suara yang tidak transparan / tidak akurat. Selain itu benturan fisik antar massa partai dan perusakan atribut partai / APK, juga merupakan potensi konflik yang juga harus dicermati (Daniel Sparringa, 2004).    

 Dari beberapa gambaran singkat yang terkait dengan masalah pemicu dan atau penyebab timbulkan kekerasan politik dalam pemilu yang diuraikan tersebut, maka saat ini perlu menjadi pemikiran kita bersama untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan sehat tanpa kekerasan yakni jauh dari saling menyandera, saling mengintip kesalahan, hanya mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok dan golongan dengan atas nama demokrasi. Kita harus bertekad bersama untuk bebaskan pemilu dari kekerasan politik, karena pemilu di Indonesia adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara LUBER, jujur dan adil dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945. Kita juga sepakat bahwa pemilu merupakan salah satu pilar demokrasi yang masih dianggap sebagai salah satu metode terbaik dalam pergantian elit politik serta menjamin hak-hak politik masyarakat.

Dengan demikian harapan kita semuanya sebagai bangsa yang menghormati proses demokrasi, harus dapat memastikan bahwa penyelengaraan pesta demokrasi Pemilu 2024 yang akan datang harus terlaksana secara bermartabat, tidak ada rasa tertekan, dan tanpa ada kekerasan politik..

ADVERTISEMENT

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.