Riwayat Prajurit Sawang Ranau

Artikel786 Dilihat

 

Foto : Sultan Kepaksian Nyerupa Sekala Brak dan Keturunan Prajurit Sawang.

Prajurit sawang adalah salah satu punggawa dari Sai Batin Kepaksian Nyerupa, Ia yang ditugaskan untuk menjaga wilayah perbatasan Kepaksian di sebelah tenggara Danau Ranau, Ia dititahkan untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat yang berada didalam wilayah Kepaksian Nyerupa. Dari puncak sebuah bukit yang disebut “Pucuk” ia mengawasi dan berjaga, tempat itulah yang kemudian menjadi keramat atau makam dari Prajurit Sawang dan menjadi pengingat keberanian dan kesiapsiagaannya menjalankan amanah Sai Batin.

Sesuai dengan yang tertulis di dalam Tambo Kepaksian Nyerupa, bahwa wilayah kekuasaan Ratu Nyerupa yang harus dijaga oleh Prajurit Sawang adalah wilayah Gunung Seminung hingga ke puncak, Kiwis, Kawor Nebak, Pilla, Way Panas. Pada wilayah yang dijaga Prajurit Sawang itu mengalir sebuah sungai yang bermuara ke Danau Ranau yaitu Way Warkuk, sungai tersebut mengalir dari arah “unggak” atau hulu yaitu sekitar Gunung Pesagi turun ke wilayah sukau kemudian bermuara di Danau Ranau. Batas wilayah Kepaksian Nyerupa Sekala Brak yang tertulis didalam Tambo Kulit Kayu ini diakui kebenarannya oleh Tuan Residen Bengkulu dengan besluit tanggal 21 April 1909 No. 185.

Sebelum Prajurit Sawang datang, wilayah Danau Ranau telah didiami masyarakat yang dipimpin oleh beberapa Bangsawan Paksi Pak Sekala Brak, diantaranya pada abad 15 Masehi, adalah Pangeran Singajuru yang merupakan anak dari Raja Junjungan Sai Batin Kepaksian Jalan Diway Jurai ke 8, ia bersama pengikutnya menuju lembah disekitar Danau Ranau, dan kemudian keturunannya berkedudukan di Jepara sebelah Timur Danau Ranau hingga saat ini. Selanjutnya datang Bangsawan yang merupakan keturunan dari Umpu Djadi Kepaksian Pernong Sekala Brak yang berkedudukan di Hanibung, ia bersama pengikutnya dari wilayah Pesagi turun ke Danau Ranau tepatnya di sebelah utara yang dikenal dengan daerah Banding Agung dan berkedudukan disana hingga saat ini.

 

Sedangkan wilayah selatan Danau Ranau berdasarkan Tambo Kepaksian Nyerupa sebagian besar masih termasuk Wilayah Kepaksian Nyerupa.

 

Pada kisaran peralihan abad 16 – 17 M dipinggiran Danau Ranau masih banyak terdapat orang yang belum mengenal Agama Islam dengan baik, banyak yang masih melakukan ritus-ritus kepercayaan kepada roh-roh leluhur yang bersemayam di Puncak Gunung Seminung dan Di Danau Ranau, banyak juga yang masih melakukan praktek ritual “ikhau” yakni penyembelihan hewan yang dipersembahkan kepada dewa-dewa, sehinga tidak heran jika orang-orang zaman itu terkenal sakti dan memiliki kekuatan supranatural dengan kepercayaan bahwa kesaktian itu atas anugerah dewa dan bantuan roh-roh nenek moyang, akan tetapi keadaan itu justru diperburuk dengan adanya orang-orang yang salah dalam mempergunakan kekuatannya, mereka menjadi penyamun yang membuat resah masyarakat ditepi danau ranau. Dalam kondisi dan keadaan tersebut maka Prajurit Sawang diutus selaku Hulubalang Paksi dan ditempatkan dibagian perbatasan kekuasaan Sai Batin Kepaksian Nyerupa, yaitu sebelah tenggara Danau Ranau.

 

Saat zaman kolonial para bangsawan Sekala Brak yang telah berabad – abad lamanya mendiami dan memimpin di sekitar Danau Ranau tetap diberikan hak nya untuk memimpin wilayah dan masyarakatnya, hanya saja mulai berlaku pemerintahan Marga di wilayah Ranau yaitu Marga Batang Ribu, Marga Banding Agung dan Marga Warkuk. Tiap Marga dipimpin seorang pesirah yang bergelar Depati, kedudukan seorang depati bisa berganti sesuai pilihan masyarakat, walaupun demikian masyarakat tetap memberikan penghormatan kepada para keturunan puyang-puyang yang merupakan bangsawan dari sekala brak dan memang sejak lama memimpin mereka turun temurun.

Di Marga Warkuk sendiri ada tiga dusun yaitu Tanjung Jati, Pagar Dewa dan Kuta Batu, kepemimpinan marga atau pesirahnya sempat berganti ganti, diantaranya adalah Keturunan Depati Oenang di dusun Tanjung Jati kemudian berganti Keturunan dari Prajurit Sawang di dusun Pagar Dewa, selanjutnya berganti Keturunan Liang Ratu di dusun Kota Batu dan terakhir sebagai pesirah Marga Warkuk yaitu Depati Jakidin dan pada masa ini Marga Warkuk dihapuskan tahun 1908.

Keturunan Prajurit sawang telah berjalan dari generasi ke generasi menurut garis laki-laki tertua, berturut – turut yaitu Prajurit Sawang, Selimpok Batu (keturunannya tinggal di Sukaraja Krui), Selimpok Heni, Mangku Manton, Santeri Batin, Akil, Marhasan adok Batin Jaksa (memiliki saudara angkat yaitu Jaga Maghrib dan Sulaeman), Tjik Ali adok Batin Jaya dan Agus Cik Ali adok Raja Sakti Pikulun.
Bagi keluarga besarnya sosok Prajurit Sawang meninggalan pesan berharga yaitu kesetiaan kepada Sai Batin Paksi dan keberanian dalam berjuang menjalankan amanah Sai batin hingga titik darah penghabisan, sebab demikianlah karakter masyarakat adat Saibatin sesungguhnya, seperti didalam semboyan “Ghiyah Ghiyah Kik Dawah, Kekunang Kak Debingi, Kik Saibatin Betitah, Tisansat Kipak Mati”.

 

Selain itu Prajurit Sawang juga dikenal sakti, ia memiliki “Tetuha” atau peliharaan gaib yang setia berupa tiga ekor Harimau, dan juga peninggalannya berupa Pusaka Pedang ( Sigayung Angin ) yang hampir habis mata tajamnya disebabkan menumpas para penyamun, ada pula Pusaka Siwor dan Tombak.

Demikian sekelumit Riwayat dari Prajurit Sawang, Punggawa Paksi yang gagah berani, menjaga tapal batas Paksi. Ditulis sebenar-benarnya dari apa yang disampaikan langsung oleh Sultan Kepaksian Nyerupa Puniakan Dalom Salman Parsi adok Sultan Piekulun Jayadiningrat. (Novan Saliwa)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.