Kiprah Perempuan dalam Ranah KPU

Artikel83 Dilihat

 

ADVERTISEMENT

Oleh:
Siti Zulaeka
(Mahasiswa Universitas Peradaban)

 

Politik sangat sentimen di telinga masyarakat awam. Politik seperti monster yang akan membunuh manusia dengan perlahan, itu yang dirasa oleh rakyat kecil. Politik yang sebenarnya ialah sebuah cara untuk menyelesaikan sebuah masalah yang berkaitan dengan ketatanegaraan. Semua orang sebenarnya sudah melakukan proses politik tanpa diketahui oleh dirinya. Proses politik ini sebagai alat untuk memuaskan diri dengan kepentingan bersama. Pendidikan politik memang begitu vital, bahkan aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berpolitik.

Penanaman sebuah idiologi terkait politik harus sudah tertanama sudah sejak kecil atau pendidikan dalam keluarga. Dengan hal tersebut tentu semakin manusia tumbuh besar tentu akan tambah subur pendidikan politik tersebut. Terkait politik tersebut semua orang mengatakan bahwa politik itu hal yang jahat, hal yang semena-mena dilakukan manusia untuk menghancurkan sesamanya. Setiap manusia tentu memiliki hal yang berbeda dalam menjalani rodad kehidupan dalam sebuah organisasi apaun, tentu ini yang menajdi sebuah pandangan sebalah mata terkait hal politik.

Menjelang tahun politik seperti lebaran dibulan yang bukan seharusnya. Semua harga sembako bahkan pakaian pada naik drastis, begitulah sebuah isu terkait penyambutan tahun politik. Menjelang tahun politk apapun yang didengar serasa mebawa aroma dari politik tersebut. Politik disini tentu memiliki nilai spesifik yaitu partai politik. Di tahun ini kandidat dalam sebuah pencalonan politik terutama di presiden dan wakil presiden tidak jauh berbeda dengan lima tahun yang lalu. Belum ada hal yang lebih baru untuk memajukan Indonesia.

Perempuan dan laki-laki hanya berbeda gendernya saja, potensi dan segala bentuk kecerdasan tidak ada yang membedakannya. Bahkan dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa perempuan dan laki-laki dimata Allah ialah sama, hanya Taqwa yang menjadi pembedanya. Perempuan, sebagaimana dalam masyarakat yang patriarkis, keikutsertaan perempuan dalam kegiatan ‘panas’ seperti ini masih dipandang sebelah mata. Jangankan itu, ikut serta dalam penyelenggaraan pemilu pun seolah dianggap belum layak. Padahal, kaum pria yang terjun ke arena yang sama belum tentu lebih baik kualitasnya.

KPU (sebagaimana diamanatkan Undang-Undang), selalu saja didominasi kaum pria. Hampir tidak terdengar kaum perempuan menjadi komisioner KPU di kabupaten/kota. Apakah menjadi komisioner KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota itu semata-mata hak perempuan.

Ketika seorang perempuan ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan pemilu, maka ia akan lebih paham bagaimana mendorong kaumnya agar bisa mengambil peran secara maksimal dalam pemilu. Ia akan menjadi tempat bertanya bagi kaumnya mengenai hak-hak kaumnya dalam sebuah hajatan politik yang namanya pemilu ini, baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih. Dengan menjadi komisioner KPU, ia akan lebih leluasa memberikan edukasi politik kepada kaumnya karena ia lebih bisa diterima.

Melihat beberapa keunggulan perempuan sebagaimana disebutkan di atas, semestinya sudah tidak ada alasan lagi mengamini begitu saja betapa minimnya peran anak cucu Hawa ini dalam penyelenggaraan pemilu, khususnya sebagai komisioner KPU. Akan tetapi, mengapa minimnya peran serta kaum perempuan dalam penyelenggaraan pemilu ini dianggap sebagai sebuah hal yang lumrah adanya sehingga seolah-olah tidak ada hal yang serius yang harus disikapi terkait pembangunan sumber daya manusia perempuan di bidang politik?

Keterlibatan seorang perempuan dalam hal ini seolah hanya menjadi sebuah ganjel atau sebuah pandangan mata agar tidak bosan. Perempuan dalam bidang apapun sering kali ditempatkan pada bidang yang terkadang mereka memiliki potensi lebih, misal saja pada bagian konsumsi ataupun hal yang lelakipun bisa melakukannya.

Pemerintah dan DPR sebagai pembuat Undang-Undang hanya sepakat mengenai 30% keterwakilan perempuan sebagai calon legislatif dalam pemilu sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 245 dan Pasal 246 Ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sementara, KPU sebagai penyelenggara pemilu tidak ada ketentuan demikian. Artinya, ketentuan 30% kuota perempuan hanya berlaku untuk parpol peserta pemilu dan tidak berlaku untuk penyelenggara pemilu seperti KPU.

Ke depannya perlu dipikirkan bagaimana agar keterlibatan kaum perempuan tidak hanya dalam urusan sebagai calon legislatif tetapi juga sebagai penyelenggara pemilu, dalam hal ini sebagai komisioner KPU teristimewa di kabupaten/kota. Karena dalam hajatan politik kita tidak hanya berpikir bagaimana peran perempuan di hilir saja, akan tetapi semestinya juga di hulunya.

Editor : Abu Bakar Sidik

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.