Dahlan Iskan dan Gereja

Artikel, Jakarta1139 Dilihat

Jakarta, medianasional.id– Tulisan Dahlan Iskan yang viral, yang berjudul “Alex Susul Leonard” mendapat respons dari Setio Boedi, seorang pegiat media sosial dari Semarang.

Berikut tulisan selengkapnya.

Pagi tadi, karibku Pdt. Daniel K Listijabudi(Doktor Teologi lulusan Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda) membagi tulisan Dahlan Iskan yang berjudul “Alex Susul Leonard” di sebuah WA Group yang kami ikuti.

Dahlan Iskan (selanjutnya kutulis DI) sendiri adalah seorang kampiun jurnalistik. Meski dia, sempat menjadi Dirut PLN (2009) juga anggota kabinet (Menteri BUMN, 2011 di era presiden SBY), tapi seorang DI, darahnya adalah darah jurnalis.
Darah wartawan.

Aku mulai menggemari tulisannya, sekitar tahun 1985-an.
Awal-awal masuk SMA di Blora. Sebuah kota di Jateng, tetapi dekat dengan wilayah Jawa Timur yang juga menjadi market besar bagi koran Jawa Pos yang dipimpin DI.

Tulisan DI khas wartawan, bahkan Tempo banget (dia pernah menjadi wartawan di sana).
Artinya, tulisannya tak hanya imajinatif tetapi berdata.
Dan itu disampaikan dengan nuansa bertutur yang dramatis.
Itu menariknya.

DI bisa menyampaikan kisah yang sangat rumit, menjadi tulisan krispi yang bisa dinikmati dan dipahami setiap lapisan masyarakat.

Dan hari ini, tulisan DI di atas menjadi viral.

Menuju ke segala penjuru, menyebar ke semua arah mata angin. Termasuk dan tentu di kalangan gereja.

Di saat jogging pagi tadi, di daerah BSB (Bukit Semarang Baru) itulah kuterima dan baca tulisan DI. Linknya ini: https://www.disway.id/r/1029/alex-susul-leonard.

Gereja harus bersyukur dan berterima kasih kepada DI, seorang muslim yang memaparkan kisah ini apa adanya. Kurasakan benar di tulisan tersebut, tak ada tendensi apapun dari penulisnya, misalnya menyudutkan kekristenan.
Tidak ada.

DI memaparkan data, fakta yang telah terjadi ditambah dengan pengalaman pribadi yang langsung dialami saat melayat.
Itu saja. Dari jauh, aku mengenal pribadi DI yang sangat pluralistik. Dia dekat dengan orang-orang berbagai latar belakang. Baik yang berbeda agama maupun ras. Bahkan kulihat dia adalah salah satu tokoh yang dekat dengan orang-orang Tionghoa. Pun dia dulu pernah berobat (cukup lama) di negeri Tiongkok.

Jadi siapapun, ketika membaca tulisan DI yang lagi viral ini, harus dengan hati jernih dan teduh. Ada banyak mutiara berharga yang bisa diperoleh oleh gereja (orang-orang Kristen) dari tulisan tersebut.

Apa yang kudapatkan dari tulisan DI yang tersebar pagi tadi tersebut?

1. Gereja perlu introspeksi dan menerima kenyataan bahwa kejadian yang ditulis DI benar-benar terjadi.
Riil.
Nyata.
Bukan maya.
Bahwa yang namanya pecah kongsi bukan hanya terjadi pada orang-orang non Kristen dalam bisnis cari duit.

2. Sebagai bagian dari gereja yang universal, aku pun (mohon maaf, tiada niat menghakimi) merasa malu. Filosofi Jawa mengajarkan “Tega larane nanging ora tega patine” (Tega sakitnya tapi tak tega kematiannya) ternyata lebih mulia dibandingkan dengan peristiwa yang dipaparkan oleh DI.

Hukum kasih yang dikumandangkan di gedung-gedung gereja kemana itu semua?
Pengajaran mengampuni yang tanpa henti kini lari kemana? Di mana itu yang disebut jiwa rela berkurban? Duh, susah ngomongnya.

3. Dari tulisan DI, gereja (kita yang mengaku Kristen, entah klerus ataupun awam) ditampar bahwa relasi buruk ayah – anak bukan hanya terjadi pada Daud –Absalom (2 Sam. 15), tetapi juga Almarhum dengan salah satu anaknya. Konflik itu begitu sengit, bak kisah silat yang penuh dengan dendam kesumat, yang tak berhenti sesaat.

Gereja jangan alergi kalau diungkapkan kebobrokannya. Mohon maaf, kita harus realistis. Adakah konflik antara orangtua-anak yang mendatangkan berkat Allah?
Celakanya lagi, para pihak yang bertarung merasa, mengaku dan memproklamirkan sebagai orang-orang yang relasinya sangat dekat dengan Allah. Bagaimana mungkin satu mata air bisa mengalirkan air yang segar dan air yang pahit?

Gereja harus berterima kasih kepada DI, karena dengan tulisannya, gereja didesak untuk introspeksi relasi kekeluargaan di kalangan para pemimpin gerejanya.

Hanya tinggal tunggu waktu, ledakan besar akan terjadi atas gereja-gereja yang relasi orangtua – anak sangat buruk. Seperti Daud-Absalom, pun seperti kedua tokoh uraian DI yang viral ini.

Bila ada pembaca tulisan ini, yang merasa di gerejanya ada yang perlu dibenahi relasi kekeluargaan di antara pemimpinnya.
Segera bertobat.
Bila kalian umat, lakukan teguran kepada pemimpinmu.
Haruskah menanti tulisan DI atas gereja kalian?

4. Dalam tulisannya DI seakan menggelar pesan mulia, bahwa yang namanya hedonisme bak rahim yang mengandung materialisme, kekuasaan, popularitas dan semua kenikmatan duniawi yang bila terikat, nantinya akan berbuahkan pribadi egois dan buas yang mampu menelan segala.

Tulisan DI hendaknya mengingatkan gereja, bahwa kehidupan gereja bagai domba di tengah serigala. Serigala yang penuh tipu muslihat. Siapapun yang lengah akan diterkam.

Tulisan DI pun membongkar memori gereja bahwa akar dari segala kejahatan adalah cinta akan uang.

Bahkan tulisan DI pun seakan menunjuk kepada catatan Yohanes, “Ingatlah bahwa dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya yang diinginkan oleh manusia sedang menuju kepada kebinasaan.”

5. Dan gereja pun ditunjukkan oleh DI melalui tulisannya, bahwa kita di dunia ini tak akan hidup selamanya. Akan ada waktunya mati.

Yang kita perebutkan,
bahkan termasuk bila sampai kepada pengadilan (gereja kok sampai berkonflik di pengadilan), akan kita tinggalkan.
Kita semua, termasuk Anda dan saya, akan mati. Yang untuk membuka mata, menarik napas saja tak mampu.

6. “Bertobatlah gereja!”
Itu yang kutangkap dari tulisan DI tadi pagi.
“Kembalilah ke tujuan mula-mula awal gereja dibentuk!”

Tahun 1991-an. Jadi sekitar 30 tahun lalu, aku (saat itu paling muda, masih kuliah di FH Undip di semester awal) ikut rapat Redaksi majalah berita GKMI (majalah sinode Gereja Kristen Muria Indonesia) bersama dengan beberapa orang tokoh GKMI tingkat sinodal. Pun salah satu anggota dewan redaksi tersebut adalah mantan Presiden Mennonite World Conference(MWC), Rev. Charles Christano.

Rapat itu diadakan setiap bulan.
Aku yang dari ndeso, culun…. Banyak menyerap percakapan para Beliau.

Dan aku ingat betul saat itu, ketika muncul trend mega church. Dengan cermat, jernih dan keras, Rev Charles menyatakan ketidak setujuannya atas fenomena tersebut. Tambahnya, “Saya lebih suka dengan gereja kecil. Sekitar 200 atau 300-an jemaat, di sana persekutuan sebuah gereja benar-benar dirasakan!”

Pagi tadi, aku merenungkan. “Mengapa Yesus saat di dunia tidak membangun gedung bait Allah atau gereja yang sangat besar dan megah? Yang bisa menampung sebanyak-banyaknya orang?”

Kok malah merekrut 12 murid! Orang-orang sederhana. Para nelayan, bahkan juga pemungut cukai! Mereka diajak untuk bekerja keras melayani orang-orang yang terpinggirkan dan dianggap pendosa oleh dunia.

Apakah Yesus tak mampu bila membangun gedung bait Allah/gereja sebesar itu?”

Sore ini aku mendapat jawabnya. Tuhan tidak membangun semua itu, karena Dia tahu bahwa gedung gereja besar, yang berlimpah aset, menjadi pencobaan maha dahsyat bagi orang-orang di sana.

Sudah berapa banyak gereja yang jatuh dalam hal ini? Dan ngerinya ini terus terjadi. Nyesek aku menuliskan hal ini.

Reporter : (Nimbrod Rungga & Red)
(Sumber laman Facebook *Setio Boedi*. Dimuat seizin penulisnya)
Editor : Aulia Trisia

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.