Cinta Islam Kafah: Agama dan Negara Tak Boleh Dipisah

Jakarta118 Dilihat

Oleh: Retno Purwaningtias, S.IP (Aktivis Muslimah)

“Ketika segala urusan suatu negara tidak lagi melibatkan agama dan diatur sepenuhnya oleh pemikiran-pemikiran manusia, rakyatnya pun dipersilakan untuk mengurus agamanya masing-masing tanpa harus melibatkan instansi atau lembaga negara, agama hanyalah identitas perorangan saja.”

Inilah yang dimaksudkan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang ingin menjadikan agama sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Agama menjadi urusan privasi pemeluknya dan harus dipisahkan dari negara.

Dilansir dari viva.co.id (24/12/2020), Menurut Menteri Agama, menggunakan alasan agama untuk melakukan kritik terhadap pemerintah akan mengganggu stabilitas negara. Hal ini ia sampaikan karena agama merupakan ranah privasi yang wajib dikembalikan pada nurani masing-masing pemeluknya. Dengan demikian, terbentuklah sebuah bangunan masyarakat yang peduli pada sesama dan saling mengasihi atau istilah populernya saat ini “toleransi”.

Tak hanya itu, ia juga menginginkan Kementerian Agama menjadi wadah bersama seluruh umat sehingga terwujudlah manajemen pemerintahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.

Islam tak hanya akidah ruhiyah, melainkan juga akidah siyasiyah yang memiliki sistem pengaturan dalam aspek-aspek kehidupan, seperti sosial, pendidikan, ekonomi dan pemerintahan. Tidak seperti agama lainnya.

Melarang agama (Islam) disatukan dalam kehidupan bernegara sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Akidah Islam memerintahkan penerapan syariat secara menyeluruh, termasuk dalam mengatur politik dan menyelenggarakan pemerintahan. Adanya seruan untuk memisahkan Islam dari kehidupan politik dan bernegara, sama artinya dengan memberangus eksistensi Islam itu sendiri.

Selanjutnya, anggapan bahwa agama hanya dijadikan inspirasi, bukan aspirasi, sejatinya adalah seruan yang ditujukan kepada umat Muslim agar menjauhi aktivitas politik dan kekuasaan. Ini adalah seruan politis dan bertentangan dengan realita sebab faktanya, orang-orang yang menyerukan agar agama (Islam) dijauhkan dari aktivitas politik dan kekuasaan, atau pihak-pihak yang mengatakan bahwa agama tidak boleh digunakan sebagai alat politik, justru mereka adalah orang-orang yang sangat dekat dengan politik dan kekuasaan itu sendiri.

Di samping itu, akan berbahaya bila memisahkan agama dalam menyelenggarakan negara. Menjauhkan negara dari agama akan melahirkan para penguasa yang korup, zalim, fasik dan semena-mena dalam menggunakan kekuasaannya untuk menindas kepentingan rakyat, karena para penyelenggara negara adalah manusia, yang fitrahnya tidak akan pernah luput dari kesalahan dan penyimpangan. Maka dari itu, perlu adanya koreksi atau kritik kepada penguasa untuk tujuan perbaikan.

Rasulullah Saw menyatakan keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Dalam riwayatnya Al-Thariq menuturkan:
“Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw, seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama.” Rasulullah saw menjawab, “Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang lalim.“ (HR. Imam Ahmad).

Di masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin dari Abu Bakar hingga Ali bin Abi Thalib, banyak keutamaan yang bisa kita petik dari jejak kepemimpinan mereka. Di antara banyaknya keutamaan mereka dalam memimpin adalah karena mereka sangat suka dikritik. Mereka adalah manusia-manusia istimewa yang dijamin masuk surga. Sahabat-sahabat rasul yang utama, pemimpin-pemimpin yang paling layak diteladani.

Lalu, siapakah kita yang hari ini tak sudi dikritik? Malah seringkali membungkam lawan politik dengan ancaman penjara dan delik UU ITE.

Pernyataan lain yang disampaikan oleh Menteri Agama yang menyatakan agama adalah sumber konflik dan melakukan kritik terhadap penguasa akan menggangu stabilitas negara adalah pernyataan sepihak. Munculnya konflik, mengganggu kebhinekaan, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, dan sikap saling menjatuhkan dalam masyarakat adalah karena kesalahan sistem yang saat ini diterapkan. Sistem buatan produk akal manusia yang tidak mampu mengakomodir dengan tepat keberagaman yang ada, yaitu demokrasi yang lahir dari akidah sekularisme.

Inilah sistem yang bersumber dari produk akal manusia yang lemah. Berdalih toleransi, demokrasi dijadikan sebuah sistem terbaik untuk negeri ini. Padahal, ide demokrasi lahir dari akidah sekularisme yang mengalami kegagalan sistemik. Dengan narasi toleransi, berimplikasi luas terhadap akidah umat Muslim yang tidak lagi mampu membedakan mana persoalan yang tidak bisa ditoleransi karena menyangkut akidah, dan mana persoalan yang bisa diserasikan dalam bermasyarakat.

Dalam demokrasi, suara terbanyak adalah standar kebenaran, bukan alquran dan hadist. Oleh sebab itu, seruan sekularisasi adalah sesuatu yang sangat berbahaya karena akan mengancurkan eksistensi Islam dan umat Muslim. Umat Muslim harus menolak sekularisasi yang bersembunyi di balik isu toleransi, serta melawan segala bentuk propagandanya yang ingin menempatkan Islam hanya pada ranah privat belaka.

Sebuah negara akan menjadi negara maju tergantung dari sistem yang diterapkan dalam mengurusi rakyatnya. Justru dengan menerapkan syariat Islam dalam bernegara akan menciptakan sebuah birokrasi yang mampu melayani umat, karena para pejabat yang bertugas menjalankan kewajibannya didasarkan pada ketakwaan kepada Allah SWT, bukan karena hawa nafsu dan haus kekuasaan. Sehingga, prinsip-prinsip good governace (transparan, akuntabel dan cepat merespons masyarakat)–seperti yang disampaikan oleh Menteri Agama–hanya akan terwujud ketika Islam diterapkan dalam bernegara dan mengatur pemerintahan, bukannya dengan memisahkan agama dari politik dan pemerintahan.

Bukannya perbaikan, menjauhakan agama dari negara justru akan membuat rakyat semakin terjerat dengan tipu muslihat para pejabat. Membuat kebijakan yang sama sekali tidak merepresentasikan kepentingan rakyat, melainkan kepentingan oligarki kapital untuk melindungi bisnisnya masing-masing. Akibatnya, sejumlah produk kebijakan publik seringkali diikuti dengan berbagai kontroversi. Hal itu terlihat jelas dari reaksi masyarakat terhadap sikap pemerintah terkait kebijakan perubahan UU KPK, perumusan UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), ketidakpuasaan rakyat terkait langkah-langkah pemerintah dalam menangani pandemi, penolakan terhadap UU Cipta Kerja, serta kebijakan vaksinasi belakangan ini yang juga ditolak sebagian besar masyarakat, serta masih banyak kebijakan lainnya.

Pemisahan antara agama (Islam) dalam bernegara hanya akan memunculkan hukum-hukum kufur yang menggantikan syariat untuk mengatur urusan rakyat. Ibnu Taymiyyah mengatakan bahwa apabila sebuah negara dipisahkan dari agama ataupun sebaliknya, maka masyarakatnya diambang kehancuran. Hal ini juga senada dengan firman Allah:
“… dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah: 49).

Sekularisasi yang bersembunyi di balik jubah toleransi merupakan bentuk perang pemikiran dan budaya yang digelar musuh-musuh Islam untuk memberangus eksistensi Islam dan umat Muslim. Umat Islam harus bangkit untuk memerangi gagasan-gagasan menyesatkan yang ingin menghancurkan Islam.

Ide memisahkan agama dari kehidupan masyarakat merupakan salah satu agenda Barat yang tidak mengingingkan kebangkitan Islam kafah, sebagai ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam menyelenggarakan negara.

“Islam menolak secara total penerapan apapun dari konsep-konsep sekular, sekularisasi atau sekularisme atas dirinya, kerana semuanya itu bukanlah milik Islam dan asing baginya dalam segala segi. Konsep-konsep tersebut merupakan milik dan hanya wajar dalam konteks sejarah intelektual Kristen-Barat, baik pengalaman maupun kesadaran keagamaannya.” (Syed Muhammad Naquib al-Attas)

Wallahu’alam Bisshowwab

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.