Tiga Pilar Ekonomi Islam dalam Kesejahteraan umat

Oleh : Bayu D.Sumaila
Mahasiswa Magister Bisnis Syari’ah UIN Yogyakarta

Medianasional.id

Berbicara tentang kesejahteraan bukan lagi terfokus pada sebuah nama pada mata kuliah yang melahirkan kajian pada ruang-ruang formal saja, kesejahteraan sosial merupakan satu tindakan keharusan yang perlu di bahas secara mendalam dan dapat di buktikan serta lebih spesifik kesejahteraan ekonomi.  Adapun beberapa poin yang perlu di bahas, marilah kita simak berikut ini.

ADVERTISEMENT

Pertama, sampai saat ini bangsa Indonesia kendati sudah merdeka dan terbebas dari penjajahan kolonial, namun bicara soal kemiskinan dan kemeralatan masi tinggi dan bukan saja itu, kemiskinan merupakan wajah telanjang dan etalase atau wajah Indonesia dimata dunia.

Kedua, kesejahteraan bukan saja bicara siapa yang punya rasa Ibah dan baik untuk memberikan, atau lebih spesifik bukan sekedar bantuan pribadi dari pemerintah (Negara memberikan sumbangan kepada korban bencana sebesar ini itu), ini adalah hal keharusan bernegara dalam membasmi kemiskinan dan ketimpangan yang ada sehingga kata kesejahteraan yang ada dalam batang tubuh UUD pasal 33 pada perubahan ke 4 dan kesejahteraan sosial ekonomi yang di maksud dengan UU 13 tahun 2011 dan UU No 11 tahun 2009 bisa dirasakan oleh masyarakat.

Ketiga, Negara secara kultur meski berbeda agama suku dan budaya adalah satu keharusan dalam berbondong-bondong membuktikan agama yang terbaik, Islam secara umum adalah agama yang mayoritas di Indonesia sehingga setiap pertarungan politik Islam selalu dibawa dalam hal menentukan pemimpin, namun implementasi dari pada pemimpin yang dipilih adalah bukan dari pada sikap Islam sebenarnya sebab kemiskinan belum saja di atasi dan kemakmuran serta kemajuan negara masi saja di ukur pada aspek pembangunan Infrastruktur, sehingga praktek ekonomi selalu saja Masih menjadi problem.

Islam secara langsung mempertegas jihad untuk membasmi kemiskinan baik dari segi Nash (Al-Quran dan Hadist) maupun ketetapan Ijtihad yang dilakukan Ulama-ulama Syalaf. Karena Islam sebagai agama rahmat bagi alam semesta, seorang pemimpin yang secara kepercayaan adalah Islam harusnya mampu mem-praktikan kehidupan suri tauladan (Rasulullah SAW) dan kehidupan Khulafa Rasyidin (Abubakar, Umar Bin Khatab, Utsman Bin Afan, Ali Bin Abutahlib) bahkan Tabi’it-Tabi’in/Fuqaha yang kemudian menulis konsesus ajaran Mu’amalah pada subtansinya mengacu pada pemberdayaan umat baik umat Islam maupun non-Islam agar mendapatkan kebahagiaan hidup yang sejahtera.

Di dalam ilmu ekonomi, kata sejahtera dipahami sebagai salah satu kepuasaan (Utility) yang di rasakan seseorang dalam ber-konsumsi atau yang lain adalah mengalokasikan sumber daya secara efisien dan optimal yang cukup yang pada intinya studi ekonomi kesejahteraan memusatkan pada kemungkinan terbaik atas alokasi SDM. Gagasan Al-Quran tentang kesejahteraan harus dapat diterjemahkan dalam bentuk kajian yang sesuai tentang ekonomi yang lebih kongkrit, dan setidaknya ada tiga institut ekonomi Islam yang dilaksanakan dan dijalankan dengan serius akan mendapatkan dampak pada kelangsungan hidup umat,

Olehnya itu, dari ketiga pilar tersebut adalah Larangan Riba dan Melaksanakan Zakat

Riba secara definisi adalah tambahan atau didalam bahasa Inggris dikenal dengan Usury yang berarti mengambil tambahan dari harta pokok yang secara batil atau tidak wajar. Diskusi tentang riba merupakan satu hal yang tak lagi baru di kehidupan masyarakat saat ini, baik yang telah di diskusi di ruang formal dan non-formal maupun mahasiswa sampai pada pakar ilmu ekonomi bahkan turut terlibat dalam mendiskusikannya.

Sementara bahaya riba terhadap ekonomi adalah tidak dapat menumbuhkan pendapatan dalam usaha sektor rill, sebaliknya riba menimbulkan bubbly economy (Ekonomi gelembung). Al-quran menurut penulis adalah satu majalah kehidupan yang sempurna karena Al-Quran selain melarang riba Al-Qur’an suda mempunyai alternatif lain sebelum menyatakan sikap keterbukaan melarang riba. Dalam konteks Indonesia larangan terhadap praktek ribawi dapat di jawab dengan melaksanakan zakat dan pemberdayaan Zakat sebagai mana dalam ayat-ayat Al-Quran dijelaskan dan ditegaskan. Zakat secara definisi adalah tumbuh, berkembang, subur atau bertambah. Zakat juga merupakan Instrumen pensucian diri kepada tuhan atas apa yang kita peroleh. Zakat merupakan satu keharusan yang patuh dikeluarkan sebab didalam perolehan harta yang kita miliki terdapat sebagian milik orang lain untuk berhak menerimanya (Fakir Miskin dan sebagainya).

Dari penjelasan ini kita dapat mengetahui bahwa Zakat tidak seharusnya di pandang sebelah mata, menurut informasi yang bersumber dari BAZNAS menunjukan bahwa potensi Zakat untuk masyarakat Indonesia mencapai lebih dari 213.7T dari jumlah masyarakat Indonesia 250 Juta Jiwa, namun realisasinya hanya mencapai pada angka 2.2T pertahun. Masalahnya bukan pada banyak masyarakat tidak menunaikan Zakat atau kesalahan dari pengurus BAZNAS dalam mencatatnya namun karena Muzakkinya langsung memberikan pada mustahaq.

Pemberdayaan Lembaga Keuangan dan Non Keuangan.

Dari segi lembaga keuangan mungkin bisa terlihat pada saat ini maraknya perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah dan masih banyak lagi. Dalam contoh perbankan syariah sesungguhnya mempunyai memiliki kemampuan yang dahsyat dalam pengelolaan dan pemberdayaan ekonomi umat, Built ini yang ada didalam prinsip perbankan di dasari dengan Tauhid, khalifa, maslahah dan sebagainya. Didalam perbankan syariah hal-hal mediasi bukan saja retorika seperti pada bank umumnya perbankan syariah dengan melalui produk Mudharabah dan Musyarkah dapat memainkan perannya sebagai Sahib al-mal bagi orang-orang yang memiliki skil dan keterampilan Namun tidak di topang dengan modal yang cukup lewat produk Mudharabah, misalnya pada sektor rill. Dan andalan Institusi ekonomi Islam yang terkahir adalah Wakaf.

Pemberdayaan Wakaf

Sepuluh tahun belakang ini diskursus wakaf semakin berkembang sangat pesat dengan di tandai hadirnya UU No 41 tahun 2004 merupakan bukti yang nyata rumusan dari fiqih wakaf. Wakaf di samping memiliki nilai ibadah juga memiliki fungsi sosial, wakaf khususnya wakaf produktif dan wakaf uang apa bila benar-benar dilakukan dan dikelola dengan baik akan berdampak pada pemerataan kesejahteraan umat. Tidak saja pada bidang agama (membangun Masjid dan TPQ) tetapi juga dalam bidang pendidikan, sosial, politik dan bahkan ekonomi. Wakaf merupakan satu pilar ekonomi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Indonesia dapat mengambil contoh seperti negara-negara yang berpengalaman dalam pemberdayaan wakaf seperti Mesir dan Turki yang menjadikan wakaf memiliki peran signifikan dalam pembangunan umat.

Dalam membangun kesadaran akan pentingnya kesejahteraan mungkin ada yang berpendapat bahwa kesadaran dibangun atas pengaruh internal (Diri sendiri), namun kesadaran tidak didasari pada pendidikan serta sosialisasi akan berdampak pada berkepanjangan kemiskinan dan keterpurukan. Seseorang berhak untuk mendapatkan kemenangan dalam diri, apalagi mayoritas umat Islam seharusnya berbicara tentang kesejahteraan tidak lagi tergantung pada golongan tertentu. Di dalam agama Islam konsep Al-Falah (menuju kemenangan) seharusnya menjadi basis axiologis ekonomi Islam. Larangan riba, pemberdayaan zakat dan wakaf serta memaksimalkan lembaga Perbankan maupun non bank syariah sebagai instrumen yang diarahkan pada pemberdayaan umat secara lahir dan batin, bukan saja sebatas konsepsi yang berada di dalam kepala. Perbankan syariah juga harus memberi wajah pembeda dengan perbankan umumnya aspek spritual dan etika harus menjadi prioritas agar kesejahteraan yang dimaksud tidak sebatas mimpi-mimpi yang dirasakan oleh masyarakat, Wallahu a’alam bi al-shawab.

Ditulis Oleh : Bayu D.Sumaila

Mahasiswa Magister Bisnis Syari’ah UIN Yogyakarta

 

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.