Tegaknya Patung Semar Tak Mencerminkan “Di Mana Bumi Dipijak, Di Situ Langit Dijunjung”

Lampung600 Dilihat

 

ADVERTISEMENT

Lampung, medianasional.idTabik pehaguk Pekhwatin minak muakhi kunyin ni sekindua nuppang nyemuka puun.

Otonomi daerah diberlakukan di Indonesia melalui Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan lalu dimulai secara efektif per 1 Januari 2001. Kemudian untuk menyesuaikan Pemerintahan Daerah terkait dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga akhirnya digantikan dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan terakhir kali dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Otonomi Daerah diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber sumber potensi yang ada di daerah masing masing. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh Pemerintah Daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing masing.

Peradaban dan Kebudayaan Lampung dengan segala sendi sendinya tentu memiliki khasanah dan kekayaannya sendiri yang kesemuanya memiliki Filosofi dan Idealisme dari para Puyang Jelma Lampung sehingga akhirnya menjadi ciri, identitas dan kebanggaan entitas Jelma Lampung. Inisiasi dan Pembangunan Kebudayaan di Provinsi Lampung tentu mengalami pasang surut, dimulainya era Reformasi dan berjalannya Otonomi Daerah akhirnya memberikan kesempatan bagi Lampung untuk dapat terus mengangkat, menggali dan melestarikan Identitas Budayanya.

Alhamdulillah sejak bergulirnya Otonomi Daerah, Lampung telah mulai menjadi tuan rumah dikampung sendiri, hal ini juga didukung dengan adanya Kepala Daerah yang berbudaya Lampung dari Birokrasi hingga Pranata Sosial lainnya. Penggalian, pelestarian dan pengembangan Adat Budaya dan idiom idiom keLampungan akhirnya mulai terlihat dan berjalan secara signifikan. Arsitektur khas Lampung mulai menjadi bagian dari lansekap dan tata kota, beragam terminologi Lampung mulai digunakan dan diejawantahkan dalam beragam medium. Identitas Kebudayaan Lampung dengan beragam jenis Kesenian juga mulai terus dikembangkan, Bahasa Lampung selain masuk kedalam Kurikulum Pendidikan, juga telah menjadi bagian dari Jurnalistik mulai dari Media Cetak, Radio hingga Televisi, dan bahkan juga digunakan dalam lingkungan Pemerintahan.

Namun jika kita kilas balik pada era sebelumnya sejak masa Orde Baru, ungkapan Jawanisasi sepertinya menjadi diksi yang tepat bagi penggambaran kondisi Identitas Kebudayaan di Provinsi Lampung yang dalam satire pernah disebut sebagai “Jawa Utara”.

Ada seribu satu kondisi yang mendukung fakta ini, pertama kolonisani warga yang dikirim dari Pulau Jawa sejak era Kolonial yang terkonsentrasi di Metro dan Bagelen daerah Pesawaran saat ini dan kemudian terus berlangsung dengan adanya program Transmigrasi di era Orde Baru. Kedua, Kepala Daerah di Provinsi Lampung sejak awal pendiriannya selalu dijabat oleh etnis Jawa, hanya Zainal Abidin Pagar Alam satu satunya Kepala Daerah yang berbudaya Lampung, baru sejak era Otonomi keadaan hegemoni mulai berubah dan Lampung mulai dipimpin oleh Kepala Daerah yang berbudaya Lampung. Kondisi dan situasi sejak Orde Baru ini sebenarnya tidak menjadi masalah jika saja didukung dengan Kebijakan Kebudayaan Lampung yang relevan.

Hanya saja kondisi ini menjadi kontraproduktif dengan adanya fakta dan situasi yang bukan saja pengabaian namun bahkan kemunduran dari Pembangunan Kebudayaan Lampung dengan banyaknya penghilangan dan penghancuran idiom idiom keLampungan. Contoh yang paling signifikan terkait hilangnya idiom idiom keLampungan adalah dengan bergantinya nama nama daerah Pekon Tuha yang sangat mengabaikan sisi kesejarahan dan identitas daerah. Seperti berubahnya Way Handak menjadi Kalianda, Semaka menjadi Wonosobo, Bandar Dalom menjadi Sidomulyo, kemudian bermunculannya daerah daerah seperti Purbolinggo, Pekalongan, Pendowo Asri dan lain lain yang otomatis menghapus identitas asli dari Pekon, Tiyuh, Aneq dan Umbul di Lampung. Satu diantara yang paling signifikan adalah pemberian nama Pendopo Gubernuran bagi Pusiban Agung yang merupakan Rumah Dinas Gubernur sebagai satu identitas utama bagi Provinsi Lampung, ini juga pernah terjadi sebelum akhirnya diganti menjadi Mahan Agung.

Menjadi menyedihkan di era Otonomi saat ini pola pola serupa kembali terjadi, adalah Tiyuh Toto Mulyo dikecamatan Gunung Terang Tulang Bawang Barat yang menjadikan tokoh wayang Semar sebagai ikon dari daerah setempat. Hal ini tentunya mengabaikan perasaan Masyarakat Adat Mego Pak sebagai pemilik wilayah Adat, ini sama sekali bukan karena sentimen terhadap sosok Semar namun tentang berdirinya ikon yang sama sekali tidak mencerminkan kearifan lokal setempat. Padahal ada banyak idiom idiom keLampungan yang bisa digali sebagai ikon daerah ketimbang mengimpor tokoh dari pulau seberang. Lampung punya banyak tokoh mulai dari tokoh mitologi, legenda hingga tokoh pahlawan seperti Puyang Serunting Sakti atau Sipahit Lidah, Radin Jambat, Raja Ali, kemudian tokoh tokoh Pahlawan seperti Radin Intan, Pengiran Si Agul Agul dan Batin Mangunang.

Sudah seharusnya pembangunan sebuah monumen atau ikon sebuah daerah merupakan kearifan lokal dan identitas dari daerah setempat, yang berasal dari idiom idiom yang berkembang didaerah tersebut. Ada banyak ragam bentuk yang bisa ditampilkan seperti beragam jenis motif Tapis dan Wastra Tradisional Lampung atau beragam motif dan bentuk arsitektur khas Lampung. Kaitannya dengan Tulang Bawang Barat, tokoh yang jauh lebih ideal dijadikan sebagai ikon adalah seperti Minak Pati Pejurit, beliau adalah seorang Ulama dan tokoh adat dari Mego Pak Tulang Bawang khususnya bagi Marga Tegamoan. Penonjolan dari identitas identitas lokal ini yang sudah seharusnya terus digali, dilestarikan dan dikembangkan ketimbang harus impor dari daerah lain.

Dengan adanya Otonomi ini masih bisakah kita menyatakan Aceh untuk Aceh, Bali untuk Bali dan Lampung untuk Lampung?
Tabik..

 

Penulis : Diandra Natakembahang (Penggiat Bahasa & Budaya Lampung Gamolan Institute Lampung)

Editor : Dian

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.