Sri Haridewa Raja di Sekala Brak Tahun 997 Masehi

Artikel, Lampung335 Dilihat

Oleh : Novan Saliwa

(Pemandu Seni Budaya Anjungan Lampung – TMII Jakarta)

Sebagaimana tertulis dalam Prasasti Hujung Langit (Hara Kuning) bertarikh 9 Margasira 919 Caka yang ditemukan di Bunuk Tenuar Liwa terpahat nama raja di daerah Lampung. Prasasti ini terkait dengan Kerajaan Sekala Brak kuno yang masih dikuasai oleh Buay Tumi, Prof. Dr. Louis-Charles Damais dalam buku epigrafi dan Sejarah Nusantara yang diterbitkan oleh pusat Penelitian Arkeolog Nasional, Jakarta, 1995, halaman 26 – 45, diketahui bahwa nama Raja yang tercantum pada Prasasti Hujung langit adalah Baginda Sri Haridewa.

 

Dari penelitian Binsar D.L. Tobing : 2004, dijelaskan bahwa  prasasti Prasasti Hujuŋ Laǹit diantaranya menyebutkan satu daerah bernama Hujuŋ Laǹit yang seluruh hutan dan seluruh tanahnya diperuntukkan bagi bangunan suci yang dalam hal ini adalah wihara. Nama Hujuŋ Laǹit itu sendiri tidak tercantum dalam peta maupun sumber-sumber lait, namun sekitar 13 km (jika ditarik garis lurus dari prasasti Hujun Laǹit) disebelah Timur Laut ada nama tempat yang bernama Ujung (Damais, 1995:28). Jadi kemungkinan yang dimaksud sebagai Hujuŋ Laǹit adalah daerah yang bernama Ujung (pekon Hujung kecamatan Belalau, Lampung Barat).

 

Puŋku Haji Yuwa Rajya Śrī Haridewa  merupakan salah satu tokoh yang disebutkan dalam Prasasti Hujuŋ Laǹit. Jika dilihat dari gelar yang melekat pada namanya, tersebutlah Puŋku, mempunyai arti tuanku, dimungkinkan sebagai gelar yang menganggap bahwa Śrī Haridewa merupakan orang yang turut melindungi serta memilihara bangunan suci.  Pun atau Pu adalah merupakan gelar kehormatan bagi kebangsawanan seseorang sebagaimana banyak keluarga di kerajaan San-fo-ts’i yang bergelar pu. Begitu juga gelar Pu yang bersanding dalam kata DAPUNTA maka gelar dapunta harus diperuntukkan bagi orang yang amat tinggi kedudukannya. Kehormatan yang amat tinggi itu ditunjukkan dengan bubuhan data, dan sebutan hyang. Demikian keterangan makna gelar Pu dalam buku Sriwijaya yang ditulis oleh Prof. Dr. Slamet Muljana .

 

Selanjutnya gelar Haji (Aji) adalah arti yang umum untuk “raja”, dipakai untuk menyebut seseorang dalam hubungannya dengan wilayah kekuasaannya ( Ayatrohaedi, 1979: 79). Arti kata yang sama juga diberikan oleh Zoetmulder (1995:327) yang menyebutkan bahwa Haji dapat diartikan sebagai raja, keluarga raja, pangeran, Seri Baginda, Yang Mulia.

 

Dan terdapat juga sebutan Yuwa Rajya (Yuwa Raja) untuk baginda Sri Haridew, sebutan itu pernah tercantum dalam prasasti yang berasal dari Sumatra, yaitu prasasti Telaga Batu yang diperkirakan berasal dari tahun 686 Masehi. Dalam prasasti ini disebutkan tiga kategori pangeran, yaitu :yuwaraja (putera mahkota), pratiyuwaraja (putera mahkota ke dua), dan rajakumara (putera mahkota lainnya) (de Casparis, 1956: 17; Hall, 1976: 69; Kulke, 1991 : 9). Biasanya raja muda ini sebelum menjadi raja yang berkuasa penuh diberi kedudukan sebagai raja disuatu daerah atau wilayah (Soemadio (ed), 1993: 410).

 

Selain nama Baginda Sri Haridewa yang tertulis dalam Prasasti Hujung Langit, terdapat juga para pejabat yang mengiringinya dalam penetapan sima tersebut, seperti Hulun (Seseorang Yang Melayani Raja/ Hulun Haji), pejabat tinggi yang hadir diantaranya Samgat Juru Pajak (Pejabat Pajak), Pamgat Juru Ruhanan (Pengawas Para Pejabat ), Pramukha Kabayan (Pemuka yang berkaitan dengan bangunan suci),Juru Redap (Pejabat Bagian Informasi), Juru Pajabat (Petugas Menyambut Raja ), juru samya ( Orang yang berkuasa pada derajat yang lebih rendah (desa?), wakil pejabat atau kepala), Juru Natalan (Bagian Penulisan / Juru Tulis), Juru Mabwaŋ ( Pejabat Menangangi tenaga Kerja), dan pejabat tingkat banwa yang hadir diantaranya adalaha Rama.

 

Dan saat ini, walau prasasti itu usianya telah berabad – abad lamanya, namun sebutan sebutan yang ada didalam prasasti tersebut masih tetap dipertahankan oleh masyarakat Sekala Brak, seperti sebutan  Pun masih dipertahankan oleh masyarakat di sekitar Prasasti Hujuŋ Laǹit (masyarakat adat sekala brak) sebagai panggilan kehormatan bagi anak laki laki tertua dari keturunan Raja / Sai Batin dalam wilayah Kerajaan Sekala Brak yang kini mengejawantah menjadi Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak. Selain itu juga Jabatan Juru seperti dalam prasasti masih dipertahankan pula oleh masyarakat sekala brak untuk orang-orang yang memiliki tugas khusus dalam adat, yang kini disebut Jaru (Jaghu), Tuha Jaru, Jaru Marga dan lainnya.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.