Pengelolaan Aset dan Pendapatan Daerah Mulai Menguat, KPK Rakor Bersama Lintas Instansi di Malut

Foto istimewah

Medianasional.id

Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan pentingnya pengelolaan aset barang milik daerah (BMD) dan optimalisasi pendapatan sebagai upaya pencegahan korupsi. Demikian disampaikan saat rapat koordinasi (rakor) dengan pemerintah daerah (pemda) se-Maluku Utara (Malut) bersama Kanwil Kementerian ATR/BPN Malut, BPKP perwakilan Malut, KPP Pratama Ternate dan Tobelo secara daring pada hari Rabu, 19 Januari 2022.

ADVERTISEMENT

“Saya rasa ini langkah awal yang baik di 2022 untuk memaksimalkan pekerjaan terkait aset dan pajak. Mari kita tingkatkan sinergi bukan saja untuk meningkatkan skoring Monitoring Center for Prevention (MCP) tetapi juga fakta lapangannya,” ujar Kepala Satuan Tugas Koordinasi Supervisi (Korsup) wilayah V KPK Dian Patria.

Lebih lanjut Dian menyampaikan bahwa wilayah V Korsup KPK ini menurut laporan BPK merupakan zona merah semua dalam hal kemandirian fiskal. Selain itu, Dian juga menyampaikan informasi bahwa mulai tahun 2022, MCP akan dikelola bersama dengan Kementerian Dalam Negeri dan BPKP. Ia berharap dengan pengelolaan bersama ini membuka ruang untuk dilakukannya pendalaman MCP dan menyentuh permasalahan tematik lainnya seperti tambang, perikanan, atau perkebunan.

“Orang akan tanya kenapa KPK masuk ke sini? Ini dimana korupsinya? Ini kan pelanggaran sektor. Biasanya dibalik ketidakpatuhan sektor, sangat mungkin ada penyimpangan atau fraud dan korupsi. Biasanya hal-hal seperti ini kalau dibiarkan akan terlewatkan atau berulang,” jelas Dian.

Hadir Sekretaris Daerah Provinsi Malut Samsuddin Abdul Kadir menyampaikan terima kasih kepada KPK karena sudah mendorong pemda mengeluarkan Surat Kuasa Khusus (SKK) guna menyelamatkan kendaraan yang dikuasai pihak yang tidak berwenang. Ia juga menyampaikan saat ini pemda sedang berupaya mencari solusi kendala terkait beberapa tanah milik pemda yang diakui oleh masyarakat.

Sementara itu, Kepala BPKP perwakilan Malut Edy Suharto menyampaikan bahwa pihaknya siap bersinergi dan berkoordinasi dengan pemda dalam upaya peningkatan pendapatan asli daerah. Terkait nilai MCP Malut, Edy mengakui bahwa saat ini belum optimal, begitu juga untuk pengelolaan aset dan kemandirian keuangan daerah masih masuk dalam 8 provinsi zona merah.

“Tentunya kami dari BPKP siap bersinergi dan berkoordinasi dengan Bapenda dan Inspektorat pemda dalam mengawal dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Ada contoh juga terkait pengelolaan aset di Surabaya, untuk aset tetap tidak bergerak sudah ada titik-titik koordinatnya. Di Pontianak Kalbar, pohon pun diberikan label bernomor register,” ujar Edy.

Kemudian, Kepala KPP Pratama Ternate Herry Wirawan yang turut hadir melaporkan bahwa di Malut ada dua kantor yang mengadministrasikan pajak, yaitu KPP Pratama Ternate dan KPP Pratama Tobelo. Herry menjelaskan bahwa Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Malut saat ini ada sekitar 125. Dari 125 IUP, katanya, sekitar 100 wajib pajak Pertambangan ada di KPP Pratama Ternate dan sisanya di bawah Tobelo.

“Untuk pertambangan ini bergeraknya sangat cepat. Beberapa waktu lalu baru 11 yang beroperasi sekarang sudah ada 19 yang beroperasi di smelter IWIP Halteng dan lain-lain. Memang kita harus aktif berkoordinasi dengan para wajib pajak tersebut. Untuk pertambangan sebagian besar sudah dapat kami kelola dan tangani,” ujar Herry.

Untuk pajak sarang burung walet, sambung Herry, ada beberapa perusahaan di Kabupaten Kep Sula namun hasilnya belum seberapa. Kemudian untuk perikanan, dari 119 wajib pajak yang ada, kontribusinya masih sangat kecil. Salah satu penyebabnya, menurut Herry, pajak hasil tangkapan ikan dibayarkan atau dipungut di daerah tujuan, misalnya Bitung.

“Dari total penerimaan pajak kami per tahun Rp1,3 Triliun, kontribusi penerimaan pajak dari sektor perikanan saat ini hanya Rp1,3 Miliar. Kami juga mendeteksi beberapa sektor pajak lama yang sekarang mulai menggeliat kembali yaitu sektor hutan dan kayu. Perlu dilakukan riset lebih lanjut,” kata Herry.

Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Malut Abdul Azis turut hadir menyampaikan bahwasanya kondisi geografis Malut cukup sulit, sehingga memerlukan biaya yang lebih besar dari wilayah lain misalnya untuk menyebrang antar pulau. Terkait penataan legalisasi aset, sambung Azis, walaupun sudah bersertifikat fisik aset harus diberi tanda, diberi titik koordinat dan dikuasai.

Menutup kegiatan, Dian meminta pemda menindaklanjuti beberapa rekomendasi. Pertama, agar mempelajari dan menyusun Surat Keputusan (SK) Tim Aset untuk percepatan penyelamatan aset. Kedua, mempelajari dan membuat Pakta Integritas Aset.

“Ketiga, mengimplementasikan NPWP cabang sesuai instruksi Gubernur untuk tingkatkan Dana Bagi Hasil (DBH),” katanya.

Poin 4, kata Dian, terkait pertanyaan dari pemda Halmahera Tengah dan Halmahera Barat tentang pajak atas usaha mineral bukan logam dan batuan (MBLB) yang belum berizin tapi sudah beroperasi. Dian menyampaikan keduanya tidak saling beririsan.

“Hal ini sesuai dengan pendapat Ditjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu dan Ditjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri bahwa izin dan pajak itu rezimnya berbeda. Izin terkait legalitas sedangkan pajak terkait pemanfaatan. Jadi, simpulnya, ada atau tidaknya izin, pajak tetap harus ditagihkan,” tegas Dian.

Kelima, lanjut Dian, terkait sertifikasi. Dian meminta agar sekretaris daerah masing-masing pemda memastikan ketersediaan anggaran. Termasuk percepatan PSTL, menurutnya, jika diperlukan ada Perkada.

Keenam, sebut Dian, terkait optimalisasi pajak sektor pertambangan dan smelter seperti PBB, Pajak Alat Berat, Pajak Penerangan Jalan (PPJ) atau sekarang PJBT di smelter yang ada di beberapa Pemda.

“Saya rasa nilainya besar. Begitupun Pajak Air Permukaannya dan IMTA. Terakhir, rekonsiliasi data mohon dukungan KPP, untuk kepatuhan PBB dan pajak-pajak lainnya dari pelaku usaha khususnya sektor pertambangan dan smelter,” pinta Dian.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.