Jejak Dakwah Islam Sunan Kalijaga dan Ketiga Pengikutnya di Semarang

Jejak Dakwah Islam Sunan Kalijaga dan Ketiga Pengikutnya di Semarang

 

“Mungkin tidak cukup mendetail informasi yang bisa diakses saat ingin menguak sejarah dakwah Islam Sunan Kalijaga di Semarang. Informasi dari sumber tertulis dan lisan setidaknya memberikan sedikit gambaran alur sejarah dakwah Islam Sunan Kalijaga sehingga dapat dipaparkan dalam bentuk tulisan sederhana”.

Dalam catatan sejarah, Sunan Kalijaga merupakan salah seorang wali yang sangat akrab dengan masyarakat Jawa, bahkan ditelinga generasi milenial sekalipun, sosoknya masih sangat populer. Dikenal sebagai pencipta tembang dolanan lir-ilir dan kesenian wayang kulit. Kedua kesenian pada saat itu digunakan Sunan Kalijaga sebagai media dakwah Islam.

Diantara berbagai kisah dari Sunan Kalijaga adalah ketika proses dakwah beliau ada kaitannya dengan masyarakat Semarang yakni saat proses pembangunan masjid agung Demak yang sedang dimulai. Dalam berbagai literatur sejarah menyebutkan bahwa pembangunan masjid Demak dilakukan pada 1479 masehi. Saat itu terjadi persoalan bahwa pembangunan masjid Demak yang hampir selesai akan tetapi masih kurang satu/1 dari empat/4 tiang soko masjid yang berukuran tinggi tujuh belas/17 meter.

Misi Dakwah Sunan Kalijaga saat Mencari Tiang Soko Masjid Demak

Untuk menyelesaikan persoalan dengan dialog panjang yakni Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga sepakat untuk mencari kekurangan satu/1 bakal tiang soko masjid agung Demak. Pencarian kali ini dilakukan oleh “kanjeng Sunan” julukan lain Sunan Kalijaga pada masyarakat Jawa.

Ditemani tiga/3 pengikutnya Syech Somadun, Nur Salim (Kun Razikin) dan Petik Penawangan, perjalanan dilakukan ke bagian timur kaki gunung merbabu. Perjalanan tersebut selain membawa misi untuk mencari kayu sebagai tiang soko masjid agung Demak, sekaligus juga melakukan misi dakwah Islam. Dalam perjalanan itu sesampainya di sebuah desa kecil di sebelah timur lereng gunung merbabu, langkah dari kanjeng Sunan dan pengikutnya pun terhenti.

Arah pembicaraan Kanjeng Sunan dan pengikutnya tertuju pada strategisnya daerah perhentian itu sebagai tempat berdakwah. Dilengkapi dengan adanya sumber mata air yang sangat melimpah. Rencana awal kanjeng Sunan akan mendirikan sebuah masjid berlokasi di dekat sendang yang memiliki tujuh cabang mata air disebut “kali klewon”. Kanjeng Sunan yang merakyat, berwibawa dan bersahaja berhasil berdialog dengan salah satu tokoh dan penguasa setempat yang bernama Demang Mangu Suropawiro/ Ikhsanul Ibrahim (Sunan Jati).

Tak lama, Demang Mangu Suropawiro tertarik untuk Masuk Islam. Proses musyawarah berkembang hingga Kanjeng minta izin pada Demang untuk mendirikan masjid. Sebelumnya didirikan dahulu Balai Panjang, yakni sebuah bangunan kecil berukuran panjang 5.25 meter dan lebar 2.25 meter. Balai Panjang digunakan untuk melakukan pembicaraan serius, berdiskusi dan bermusyawarah bersama tokoh masyarakat.

Bangunan Balai Panjang peninggalan Sunan Kalijaga di desa Jatirejo, Suruh, kabupaten Semarang. Konon di Balai Panjang ini dijadikan tempat musyawarah  pembangunan masjid Baiturrohim yang dilakukan, mulai awal sampai akhir.

Pada kesimpulannya terjadi kesepakatan antara Kanjeng Sunan dan tokoh masyarakat yakni mengenalkan Islam pada masyarakat sebagai ajaran yang benar dan mendirikan bangunan masjid sebagai pusat dakwah, tempat sholat, mengaji, dan mengalkan ilmu-ilmu Islam kepada masyarakat sekitar.

Kesepakatan awal bahwa pembangunan masjid secara sembunyi-sembunyi akan dilakukan bertempat di dekat “kali Klewon” mata air sendang pancuran pitu yang terletak agak ke timur dari balai panjang tempat mereka berkumpul. Sumber mata air sendang rencana akan digunakan untuk berwudhu. Rencana pembangunan masjid secara sembunyi-sembunyi yang dimusyawarahkan sampai menjelang pagi tersebut tanpa disengaja terdengar oleh salah satu orang asing yang konon sedang menanam jagung dan saat ditanya apa yang sedang dilakukan, orang tersebut malah gugup dan pergi menghindar.

Ajaibnya dan saking gugupnya saat ditanya orang yang menebar biji jagung itu menjawab pada Kanjeng Sunan kalau dirinya sedang menebar biji janggleng. Konon setelah didoakan oleh Kanjeng Sunan, seketika biji yang disebar tersebut tumbuh tidak menjadi pohon jagung, akan tetapi malah pohon jati, lantas karena ada peristiwa gruneng-gruneng untuk mendirikan masjid maka di tempat ini dinamakan Gruneng.

Tatkala dikhawatirkan informasi bocor dan membuat kegaduhan di masyarakat, Kanjeng Sunan memindah rencana pembangunan masjid yakni ke sebelah utara dari balai panjang. Bertempat di dukuh Kauman, Jatirejo, Suruh. Perbedaannya, tempat tersebut memiliki jarak yang cukup jauh dengan sumber mata air. Menurut penuturan yang beredar, sumber mata air yang digunakan berasal dari sendang wali. Tempat itu konon masih misterius keberadaannya, ditandai adanya “watu gedhe leter” yang diatasnya terdapat jejak kaki orang sedang duduk tasyahud dalam shalat.

Proses Pendirian Masjid “Baiturrahim” sebagai Pusat Kegiatan Dakwah

Seperti yang direncanakan sejak awal, misi pembangunan masjid diniatkan sebagai pusat kegiatan dakwah. Kondisi masyarakat saat itu masih banyak yang belum memeluk ajaran Islam. Masjid yang awalnya bernama masjid agung jati dan dirubah menjadi masjid Baiturrahim memakai balai panjang sebagai tempat merancang saat melakukan pembangunan masjid. Semua aktivitas pembangunan mulai dari menyiapkan bahan, mengolah kayu dan merancang bentuk bertempat di balai panjang. Kanjeng Sunan dan Demang Mangu Suropawiro (Sunan Jati) bertugas mengawasi, mengarahkan dan menyampaikan ide-idenya.

Masjid Baiturrahim yang terletak di Kauman, desa Jatirejo, Suruh, Kabupaten Semarang. Konsep bangunan ini seperti masjid Agung Demak yakni atap berundak tiga. Konon bersama Balai Panjang, masjid Baiturrahim adalah peninggalan Sunan Kalijaga saat menyebarkan ajaran Islam di Jatirejo

Masjid Baiturrahim, jika diamati sampai sebelum dipugar, bercirikhas sama seperti bagunan masjid Agung Demak. Memiliki atap berundak tiga tingkatan yang sering diartikan dengan istilah iman, islam, ikhsan. Sketsa dan model bangunan masjid berbentuk sama dengan masjid agung Demak. Untuk urusan berwudhu diambilkan dari sendang wali yang berada di barat masjid yang berjarak cukup jauh dan masih misterius itu.

Hingga akhirnya pembangunan masjid Baiturrahim hampir selesai. Menurut cerita yang beredat, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Ampel mengutus orang untuk mengabarkan kepada kanjeng Sunan bahwa kayu yang sedang dicari akan segera digunakan sebagai tiang soko masjid agung Demak. Bersamaan bahwa Kanjeng Sunan pun juga mengutus pengikutnya untuk mengabarkan kepada para wali lain di Demak untuk lebih bersabar karena kanjeng Sunan sedang melakukan dakwah dan membangun masjid di Jatirejo.

Bertemulah mereka yang diutus para wali dari Demak dan kanjeng Sunan di sebuah tempat yang tak jauh dari desa jatirejo. Setelah bertegur sapa, bertanya dan menyampaikan maksud untuk mencari Kanjeng Sunan, maka diberitahulah keberadaan kanjeng Sunan. Lantas utusan para wali dari Demak langsung bersikap terburu-buru ingin segera bertemu dengan kanjeng Sunan. Dalam bahasa Jawa sikap yang diistilahkan dengan perasaan “Kesusu Pengen Weruh” ini, maka tempat pertemuan tersebut dinamai dengan wilayah Suruh.

Pasca bertemu dengan kanjeng Sunan, maka disampaikanlah maksud dan pesan dari para wali yang hampir menyelesaikan pembangunan masjid agung Demak. Bahwa kayu dimaksud yang sedang dicari kanjeng Sunan akan segera digunakan. Maka dengan segera kanjeng Sunan mengumpulkan tatal kayu jati yang lain untuk dibawa ke Demak.

Pasca Masjid Baiturrahim Berdiri dan Agama Islam Berkembang

Banyak perubahan yang terjadi pasca Kanjeng Sunan kembali ke Demak. Wilayah tersebut menjadi ramai. Sebelum melakukan aktivitas perjalanan ke Demak, kanjeng Sunan berwasiat untuk menamakan wilayah tersebut Jatirejo. Hal ini berdasar pada suburnya pohon jati di daerah ini khususnya dimanfaatkan untuk membangun masjid yang menjadikan wilayah ini rejo (ramai).

Wasiat lain Kanjeng Sunan bahwa demang Ikhsanul Ibrahim diperintahkan untuk melanjutkan memimpin wilayah Jatirejo dengan gelar Sunan Jati. Sedangkan ketiga pengikutnya diperintahkan untuk mengajarkan dan mengembangkan ajaran Islam di wilayah tersebut.

Syech Somadun diberi gelar kyai Jati karena dianggap memiliki ilmu agama yang cukup oleh kanjeng Sunan. Petik Penawangan diperintahkan Kanjeng Sunan untuk mengumandangkan adzan setiap kali tiba waktu sholat. Sedangkan Nur Salim diberi gelar Kun Razikin.

Kali Klewon yang rencana awal didekatnya akan dibangun masjid Baiturrahim oleh Sunan Kalijaga.

Diantara peninggalan Kanjeng Sunan yang lain adalah jam bencet, tong besar untuk wudhu, tongkat khotbah yang terbuat dari galeh (bagian inti) kayu jati, makam petik penawangan dan kali klewon. Penginggalan sejarah ini masih dapat dilihat saat berkunjung ke desa jatirejo, kecamatan Suruh, kabupaten Semarang.

Masjid Baiturrahim meninggalkan jejak sejarah dakwah Islam yang dilakukan oleh Sunan kalijaga jauh 5 abad silam. Tentunya terdapat pesan, pembelajaran dan hikmah yang bias diambil dalam proses dakwah Islam yang sedang berlangsung. Wallahu a’lam bis shawaf.

Penulis: Hasan Maftuh
(Pemerhati Sejarah Lokal di Semarang)

Posting Terkait

ADVERTISEMENT
Konten berikut adalah iklan platform MGID, medianasional.id tidak terkait dengan isi konten.

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.