Bimtek Kabupaten Mukomuko Kebijakan yang Harus Dipertanggung Jawabkan?

Bengkulu, Sumatera95 Dilihat
Pelaksanaan Bimtek di Wisma LAN (Lembaga Apatur Negara) RI.

Mukomuko, redaksimedinas.com – Dana desa setelah diundang – undangkan, dalam pelaksanaan menjadi bola panas dan liar.
Maksud pemerintah pusat yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, sesungguhnya sangat mulia, dan berpihak pada rakyat di pedesaan. Sangat menyentuh pada tataran lapisan yang paling bawah yakni masyarakat pedesaan.

Masyarakat bawah dengan sentuhan dorongan dana desa sebesar Rp 1 milyar, yang dulu pedesaan itu karut marut manajemennya, tidak pernah dibuka Kantor desanya, bahkan kantor desa ada yang berkantor di rumah pribadi penduduk. Hal ini karena faktor pertumbuhan ekonomi di pedesaan seluruh hampir pelosok nusantara boleh dikata ekonomi sekarat (tidak tumbuh), numun ekonomi sekarang berbanding terbalik dengan sebelumnya.

 

Kantor desa hidup, seperti kantor perbankan, muda mudi ada yang sarjana desa, ada yang tamat SMU atau sederajat menghidupkan keramaian desa. Kepala desa rapi seperti kepala dinas. Variasi, tergantung pola hidup dan tingkat pendidikannya. Bukan tidak mampu mengerjakan program tersebut, tetapi ada ranah hukum yang akan menjerat siapa saja yang bermain-main dengan dana desa (korupsi) untuk menggembungkan isi “perutnya” sendiri atau kelompoknya, tanpa mempertimbangkan jeratan hukum yang akan menimpanya.

Disinilah kajian program bimbingan teknologi di program dana desa kabupaten Mukomuko tahun 2016 yang telah viral di media sosial. Itu yang disinyalir terjadi kong kalikong, manajemen tidak transparan, dana desa digunakan pada tempat yang tidak sesuai rencana. Kajian saya pribadi setelah mewawancarai desa tertentu dan analisa fakta di lapangan bersumber dari berita online Portal Mukomuko, bahwa program itu menilap dana hampir Rp 1,6 milyar. Dan setelah dikroscek beda faktanya, biaya tiket dimark up, biaya penginapan disulap. Contoh nginap di hotel di Bandung, faktanya tidur di wiswa, tentu harga dan fasilitas jauh berbeda kan. Waktunya kalau misal seminggu, tetapi faktanya hanya dua hari, ini juga menjadi pertanyaan publik. Mengapa pengelolanya dapat memutar balikan fakta. Ada apa sebenarnya dengan program ini? Siapa saja yang menjadi dalang jika nanti ditemukan fakta data benar ada deli selisih anggaran Rp 1,6 milyar dalam perkiraan. Yang jelas, tiap desa telah mengeluarkan dana di atas Rp 4.000.000,00 untuk kegiatan seperti itu, apakah masuk akal?

Rupanya dalam kajian saya di berita on line Portal Bengkulu, ada kecurigaan dugaan raibnya selisih dana Bimtek itu. Inilah sebuah kegiatan desa dapat menyeret para pengembang dana desa yang raib itu.
Dikaji dari ranah hukum, jika ada kelebihan dana Rp 1,6 milyar tidak dikembalikan, itu indikasi dan alat bukti cukup kuat, korupsi. Jika yang memungut itu pejabat, kepala Dinas, kepala Seksi, atau siapa saja pejabat di kabupaten Mukomuko tahun 2016 dengan modus tertentu, untuk bimtek tetapi berbeda dengan data sesunggunya, itu bukti petunjuk ada indikasi penyelewengan uang desa. Nah itulah kajian sedikit dari berita koran portal Bengkulu ini.

 

Jika ada data fakta – fakta kuat, alat bukti cukup, bisa saja dibedah secara hukum. Penyidik dalam hal ini dapat mengkaji, pengumpulan data dan penelitian data yang kongkrit, untuk mengpulkan data yang falid itulah kunci utama masuk pada ranah supremasi hukum. Hukum harus digerajan untuk mencari sebuah keaadilan, yang dirugikan adalah rakyat pedesaan di kabupaten Mukomuko. Kalau cukup dikembalikan dana kelebihan itu ya harus dikembalikan pada kas negara. Atau mungkinkah dibawa pada penyidikan tindak pidana korupsi?. (Purwasih)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.