Profetik dan prognosis Kepemimpinan di Indonesia

Maluku Utara77 Dilihat
Foto istimewah

Medianasional.id

Oleh: Muh Kasim Faisal, S.Pd, M. Pd,

ADVERTISEMENT

Akademisi Sekolah Tinggi Agama Islam Alkhairaat Labuha dan penggiat Literasi Komunitas Pemuda Peduli Pendidikan Halmahera Selatan

Seperti kita ketahui bersama bahwasanya Kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang membebaskan penghambaan manusia hanya kepada Allah swt. Artinya poin perbedaan adalah misi dunia dan misi akheratnya. Bicara masalah kepemimpinan profetik, tentu tidak bisa lepas dari sosok Nabi Muhammad SAW sebagai satu-satunya figure paling sempurna yang pernah diutus oleh Allah ke muka bumi ini yang bahkan digelar sebagai suri tauladan yang baik (uswatun hasanah). Kepemimpinan merupakan bidang ilmu yang kompleks dan variatif. Kepemimpinan mudah diidentifikasi tetapi sulit untuk didefinisikan secara baik. Beberapa ahli kepemimpinan secara seksama setuju bahwa Kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai proses mempengaruhi yang terjadi antara pemimpin dan bawahannya. Kepemimpinan telah dipelajari secara luas dalam berbagai konteks dan dasar teoritis.

Kepemimpinan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW disebut sebagai kepemimpinan profetik. Rasulullah SAW menjadi model ideal seorang pemimpin karena keteladanannya, kepemimpinannya didasarkan pada empat sifat dasar kepemimpinan profetik, yaitu: Sidiq (jujur), Amanah(bisa dipercaya), Tablig (menyampaikan yang benar) dan Fathonah (cerdas)diintegrasikan pada fungsi kepemimpinan dalam diri Rasulullah SAW yang dikembangkan pada masa moderen yang disebut dengan the four roles of Leadership yakni: Perintis (Pathfinding), Penyelaras (Aligning), Pemberdayaan (Empowering), Panutan (Modelling).

Dalam pandangan tertentu, kepemimpinan yang profetik memiliki unsur yang lazim yang digunakan seperti:

  1. Amir

Kata amīr merupakan bentuk isim fā’il dari akar kata amara yang berarti memerintahkan atau menguasai. Namun pada dasarnya kata amara memiliki lima makna pokok, yaitu antonim kata larangan, tumbuh atau berkembang, urusan, tanda, dan sesuatu yang menakjubkan. Hanya haja, bila merujuk ke al-Qur’an, kata amīr tidak pernah ditemukan di sana, yang ada hanya kata ulil amri yang mengarah kepada makna pemimpin, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang arti ulil amri tersebut. Ada yang menafsirkan dengan kepala Negara, pemerintah dan ulama. Bahkan orang-orang Syi’ah mengartikan ulil amri dengan imam-imam mereka yang ma‘sūm

  1. Imam

Secara terminologi imâm berarti “orang yang mengampu suatu jabatan pada urusan dunia dan agama.” Kata Imâm disetarakan kedudukannya atas kata khalîfah. Pada contohnya dalam hal kepemimpinan dalam shalat jamaah seorang Imâm harus diikuti oleh makmum, seperti predikat khalîfah, dari fungsinya timbul sebagai ganti kepemimpinan rasul untuk umat.

  1. Ra’i

Kata ar-Rā’in pada dasarnya berarti penggembala yang bertugas memelihara binatang, baik yang terkait dengan pemberian makanan maupun dengan perindungan dari bahaya. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kata tersebut juga dimaknai pemimpin, karena tugas pemimpin sebenarnya hampir sama dengan tugas penggembala yaitu memelihara, mengawasi dan melindungi orang-orang yang dipimpinnya. Hal ini berarti bahwa ketika kata pemimpin disebut dengan kata ar-Rā’in maka itu lebih dikonotasikan pada makna tugas dan tanggung jawab pemimpin tersebut.

  1. Khilafah

Ibn Khaldūn mengistilahkan ke-khalîfah-an adalah memberi perintah kepada rakyat atau anggota didasarkan pada petunjuk Agama mengenai perkara keduniawian ataupun keakhiratan, sebab dalam pandangan pembuat undang-undang atau peraturan, segala perkara keduniawian harus didasarkan dari kepentingan hidup keakhiratan.

Al Farabi, menyebutkan dan mendefinisikan bahwasanya kepemimpinan profetik merupakan sumber aktivitas, sumber peraturan, dan keselarasan hidup dalam masyarakat, oleh karena itu ia harus memiliki sifat-sifat tertentu seperti: tubuh sehat, pemberani, cerdas, kuat, pecinta keadilan dan ilmu pengetahuan, serta memiliki akal yang sehat yang sempurna yang dapat berkomunikasi dengan akal kesepuluh, pengatur bumi dan penyampai wahyu.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan Profetik adalah suatu ilmu dan seni karismatik dalam proses interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin dalam sebuah kelompok atau organisasi yang mana pemimpin mampu menjadi panutan, menginspirasi, mengubah persepsi, struktur situasi, pemikiran dan mampu mewujudkan harapan anggotanya sebagaimana kepemimpinan para Nabi dan Rasul.

Selain konsep kepemimpinan profetik yang dilihat dalam suatu konsepsi “Islam” penulis juga mencakup beberapa tipe kepemimpinan yang menjadi tolak ukur utama pada suatu sikap kepemimpinan. Di samping itu Max Weber juga mengatakan titik berat dari karismatik terletak bukan pada siapa pemimpin tersebut, tetapi bagaimana ia ditanggapi oleh mereka yang berada dibawah kekuasaannya. Di samping itu disebutkan juga bahwa karisma terkadang terletak pada persepsi-persepsi rakyat yang dipimpinnya. Jenis kepemimpinan ini didasari oleh kepercayaan yang telah mapan terhadap kesucian tradisi yang ada dan legitimasi atas status wewenang di bawah otoritas tradisional. Berdasarkan konsep Max Weber tentang otoritas karismatik, bahwa peletakan kesetiaan pada hal-hal yang suci, kepahlawanan, atau sifat-sifat individu yang patut dicontoh memiliki sifat yang jujur, cerdas dan sifat-sifat terpuji lainnya dapat dijadikan pisau analisis atau kompas dalam melihat kepemimpinan Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz.

Bagaimana dengan konsep kepemimpinan profetik dan perkembangannya di Indonesia…??

Berbagai krisis yang mendera silih berganti, menjadi bagian tak terpisahkan dalam perjalanan hidup bangsa Indonesia. Krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial, krisis budaya hingga krisis agama. Persoalan kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidakadilan, kekerasan hingga penyalahgunaan kekuasaan, seakan-akan tidak mau beranjak dalam kehidupan bangsa ini. Wajar apabila dalam berbagai hasil survey, Indonesia selalu saja menempati posisi terendah dalam hal kemajuan, dan posisi puncak dalam hal kemunduran.

Seseorang pemimpin masyarakat masa kini memerlukan dukungan dari warga masyarakat melalui prosedur-prosedur hukum yang telah ditetapkan dalam undang-undang, sehingga menjadi unsur terpenting untuk memimpin.Artinya legitimasi atau aksahnya sebuah kepemimpinan atau kekuasaan kalau sudah memenuhi unsur formal pemilihan, melalui mekanisme yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Dukungan umum itu menyebabkan, bahwa komponen kewibawaan menjadi komponen terpenting, kewibawaan itu menuntut popularitas yang diakumulasikan dengan kapasitas, keahlian, keterampilan untuk memecahkan pelbagai masalah yang dihadapi warga masyarakatnya dan juga karena ia memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita keyakinan – keyakinan yang dianut oleh masyarakatnya. Walaupun sejatinya kewibawaan berdasarkan popularitas merupakan titik sentral dalam menduduki kepemimpinan, tapi tidak ada salahnya bila seorang pemimpin masa kini juga mengedepankan dimensi spiritual yang dapat mengisi komponen kharisma.

Hingga kini dikenal dua pola kepemimpinan. Pertama, “kepemimpinan formal” yakni, kepemimpinan dari seorang pemimpin yang diangkat dalam suatu jabatan. Artinya ada legalitas organisasi yang biasanya diapresiasi dalam struktur hirarkis. Kedua, “kepemimpinan informal” yakni, kepemimpinan yang dilakukan bukan atas pengangkatan, tapi cenderung diakui dan ditaati oleh orang-orang yang dipimpinnya. Seperti kepemimpinan kiai.Keberagaman pola kepemimpinan ini terbagi lagi menjadi lima model tipe kepemimpinan. Pertama, pemimpin otokratis, yakni pemimpin yang memperlakukan organisasi yang dipimpinnya sebagai milik pribadi.hanya kemauannya saja yang harus dituruti. Ia beranggapan orang yang dipimpinnya hanya semata-mata sebagai alat. Pemimpin seperti ini sangat mengagungkan kekuasaan formalnya, karena itu ia sangat tertutup akan kritik dan masukan dari orang lain. Kebenaran hanya miliknya secara mutlak dan otonom. Kedua, pemimpin militeristis, yakni pemimpin organisasi militer, perang sipil juga bias bertipe militeristis, ialah gaya kepemimpinannya yang bersifat perintah yang harus ditaati dengan sikap disiplin, kaku dan suka menghardik. Ketiga, pemimpin otoritatif, yakni pemimpin yang menganggap bawahan dan orang yang dipimpinnya tidak pernah dewasa. Kepemimpinan seperti ini jarang sekali mengapresiasi daya kreatif, inisiatif dan inovatif bawahan. Keempat, pemimpin karismatis, yakni pemimpin yang memilki daya pikat yang begitu besar. Karenya ia memiliki pengikut yang banyak dan cenderung mau mengerjakan apa yang di perintahkannya. Kelima, demokratis, yakni pemimpin yang berusaha menyingkronkan antara kepentingan dan tujuan organisasi dan kepentingan orang yang dipimpinnya.

Dari rangkain proses menelusuri sosok kepemimpinan masa depan nampaknya ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan untuk melakukan reformulasi kepemimpinan strategis nasional. Pertama, mengapresiasi generasi muda untuk diikut sertakan dalam proses kepemimpinan di negari ini, hal ini diwujudkan dengan memberikan kesempatan kepada kaum muda untuk duduk di posisi strategis, baik itu dalam kepemerintahan atau swasta. Kedua, menyemai budaya nalar kritik terhadap pemimpin sebagai proses dinamika social dan politik yang sehat, dinamis, demokratis dan humanis. Ketiga, Manajemen kepemimpinan di dalam hati merupakan cerminan talenta kepemimpinan yang nyata dan konkrit dalam kehidupan masyarakat. Keempat, mengenal style dan tipelogi kepemimpinan di Indonesia untuk diperbaharui sesuai dengan etika dan kearifan nilai-nilai lokal (agama dan adat)

Sebagai penutup penulis mengutip salah satu pemikiran Islam yang mengatakan bahwa diantara tanda-tanda kehancuran sebuah negara, semakin besar dan beraneka ragamnya pajak yang dipungut dari rakyatnya (Ibnu Khaldun). Pemimpin adalah Seni (Gunawan Hamid).

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.