Jeminem Pantang Menyerah Menuntut Kekurangan Pembayaran Atas Pembebasan Lahan PLTU Cilacap

Cilacap739 Dilihat

Cilacap, medianasional.id – Hadirnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Kabupaten Cilacap diharapkan akan mendatangkan kesejahteraan, khususnya bagi penduduk desa sekitar. Namun ternyata cerita itu hanya pemanis dari bujuk rayu pemerintah untuk menggusur warga dari tanahnya. Bukannya mengatasi pengangguran dan kemiskinan, faktanya warga yang bekerja sebagai petani dan nelayan malah kehilangan pekerjaan di sana-sini karena ruang hidupnya digusur dan dirusak. Akibatnya perekonomian warga semakin tersungkur, perkerjaan pun kabur.

PLTU Cilacap dibangun di atas lahan yang berada di tiga desa yakni Desa Menganti, Slarang dan Karangkandri. Dari tiga desa tersebut, warga desa Karangkandri yang paling banyak bekerja di PLTU.

ADVERTISEMENT

PLTU Cilacap dikelola oleh PT Sumber Segara Primadaya. Perusahaan patungan antara PT Sumber Sakti Prima dengan anak perusahaan PLN, PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB). Komposisi kepemilikan sahamnya, 51 persen dimiliki oleh PT Sumber Sakti Prima dan 49 persen sisanya dimiliki PT PJB. Setelah berhasil membangun pembangkit listrik berkapasitas 2 x 300 MW pada 2006 di Desa Karangkandri, PT Sumber Segara Primadaya melakukan ekspansi dengan membangun dua PLTU baru di lokasi yang berdekatan. Kebutuhan lahan pembangkit ini mencapai 120 hektar, yang terdiri 67 hektar tanah yang diklaim milik TNI AD, 20 hektar milik Pemerintah Daerah, sisanya milik warga di tiga desa. Desa Karangkandri, Menganti dan Slarang, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Setahun kemudian, PLTU berkapasitas 1×1000 MW dan mulai diujicoba. Pengadaan mesin, pemasangan hingga pembangunan konstruksi kedua proyek tersebut dikerjakan perusahaan asal Tiongkok, China National Engineering Co.Ltd. Energi listrik yang dihasilkan oleh PLTU Cilacap utamanya bukan untuk menerangi perkampungan rakyat, melainkan untuk mensuplai listrik kawasan industri yang sedang dan akan dibangun di wilayah Selatan Jawa Tengah.

Lahan tempat dibangunnya PLTU merupakan tanah milik dengan bukti sertifikat maupun SPPT-PBB (Surat Perintah Pajak Terutang-Pajak Bumi dan Bangunan), tanah yang diklaim milik TNI-AD dan tanah pengairan yang berada di bantaran sungai, selatan pemukiman dusun Winong. Secara hukum, tanah perairan tersebut tanah negara yang dikelola oleh Balai Besar Wilayah Sungai Kabupaten Cilacap. Sebelum berdiri PLTU, tanah-tanah tersebut dimanfaatkan warga sebagai areal pertanian, penggembalaan ternak, tempat menebar jala bagi nelayan darat dan tambatan kapal.

embangunan konstruksi pertama PLTU dimulai di lahan yang diklaim sebagai lahan milik TNI AD. tentu saja negosiasi pembebasan lahannya pun gampang, karena lahannya jarang dimanfaatkan. Berbeda dengan warga yang memanfaatkan lahan itu untuk penghidupan mereka. Segera, setelah lahan milik TNI AD selesai dibebaskan, pembangunan pun dimulai. Pertama-tama dengan menimbun dan meratakan lahan.  Akibatnya, petani tidak dapat menanam di lahan tersebut.

Sosialisasi baru dilakukan setelah warga yang tanamannya tergusur mempertanyakan kepada pihak pemerintah daerah. Kemudian warga baru mengetahui bahwa pembebasan lahan masif tersebut untuk membangun PLTU. Dalam sosialisasinya narasi tentang penciptaan lapangan kerja bagi warga desa menjadi iming-iming sekaligus doktrin tentang kerja upahan.

Hal yang sama berulang pada 2006, pasca PLTU Karangkandri 1 diresmikan pembebasan lahan  untuk PLTU Karangkandri 2 dan 3 di mulai tanpa sosialisasi kepada warga. Parahnya, pihak PLTU mengelabuhi persetujuan warga dengan mengambil tandatangan warga ketika pengajuan pembangunan lapangan bola kepada pihak PLTU. Sehingga,  ketika pembebasan lahan berlangsung, pihak PLTU memiliki surat persetujuan yang seolah sudah disetujui warga dan seluruh lahan pertanian warga tergusur.

Bagi warga yang memiliki bukti kepemilikan lahan diberikan uang penggantian sebesar 1,6 juta per 14 m2. Sementara petani yang menggarap lahan TNI AD hanya mendapat uang tali asih sebesar 300 ribu per 0,175 hektar. Lebih parah di Dusun Kuwasen, Desa Karangkandri, lahan mereka ditimbun sebelum andanya kesepakatan ganti rugi. Menurut salah satu warga, besaran ganti rugi pembebasan lahan berbeda-beda, makin dekat dengan proses pembangunan PLTU, harganya makin tinggi.

Periode 2006 hingga 2009 adalah periode pembebasaan lahan secara massif kedua (setelah pembebasan lahan pada tahun 2003) untuk perluasan/ekspansi PLTU Cilacap. Kebanyakan petani terpaksa menjual tanahnya karena terkena dampak dari pembangunan PLTU 1. Lahan makin sulit ditanami karena air laut masuk ke sawah petani. Debu dari beroperasinya PLTU pun turut menghambat perkembangan tanaman. Hal tersebut membuat banyak petani yang mengalami gagal panen dan terpaksa menjual lahannya ke PLTU.

Sejak 2014, wilayah PLTU mulai dipagari dengan beton. Praktis para petani yang belum melepas tanahnya di areal PLTU sudah tidak dapat mengakses tanahnya. Tahun tersebut menjadi tahun terakhir panen atas tanaman apapun yang biasa ditanam petani. Sama sialnya dengan warga yang bekerja sebagai nelayan. Ketika proyek ekspansi PLTU dimulai, penghasilan mereka mulai menurun drastis. Wilayah tangkapan mereka menjadi terbatas karena diapit muara dan PLTU.

Keberadaan PLTU bukan saja menghilangkan pekerjaan warga sebelumnya, tetapi juga berdampak pada berkurangnya garis pantai lebih cepat. Abrasi ini mulai terasa hebat pada medio 2011-2014. Pihak perusahaan baru mulai membangun pemecah obak di dusun Winong pada  2019. Itu pun karena lahan yang telah mereka kuasai mulai terendam air laut, bukan karena rumah warga mulai terkena air laut. Beberapa warga menceritakan air laut nyaris masuk lewat pintu belakang rumah mereka. Ketakutan rumahnya akan tenggelam mendorong warga Winong menjual tanahnya ke PLTU dan pindah ke tempat lain.

Pada 2015, warga yang tak bisa menanam di areal pertanian yang kini dibangun PLTU atau nelayan yang mulai krisis tangkapan mulai mencari alternatif ekonomi. Yaitu dengan penambangan pasir di muara sungai Serayu. Kapal nelayan mendadak berubah menjadi kapal pengangkut pasir. Pasca pembebasan lahan dan dimulainya pembangunan PLTU ekonomi warga di desa-desa sekitar PLTU menyisakan penambangan pasir. Mayoritas warga bergantung pada pekerjaan menambang dan mengangkut pasir.

Alternatif lain selain bekerja di penambangan pasir secara diam-diam memanjat tembok pagar PLTU untuk memungut barang bekas seperti besi, seng, plastic dan lain-lain. Beberapa nelayan pun secara diam-diam memasang perangkap di pinggiran benteng laut untuk mendapatkan ikan. Mereka terpaksa melakukan pekerjaan tersebut untuk makan. Meskipun mereka dilarang untuk memasuki area PLTU dan tentu saja akan berhadapan dengan petugas keamanan PLTU. Apalagi status PLTU merupakan Objek Vital Nasional yang melarang masuk atau memanfaatkan hal yang berkaitan dengan aset PLTU tanpa izin.

Warga yang mendapatkan ganti rugi pembebasan lahan juga tak berarti bisa membeli lahan baru. Sebagian besar malah memilih bekerja menjadi di luar daerah. Karena kehidupan buruh tak bisa mencukupi kebutuhan, mereka pun menggunakan uang ganti rugi lahan untuk kebutuhan harian yang setiap harinya pasti berkurang dan akan habis.

Jeminem didampingi keluarga mendatangi kantor BPN Cilacap.

Selain mengeluhkan sulitnya masuk kerja di PLTU, warga pun merasa dirugikan pihak PLTU karena proses ganti rugi yang tidak sesuai dengan luas lahan sebenarnya. Seperti yang dialami Jeminem warga Dusun Winong, Desa Slarang, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap terkait tanah Hak Milik dengan nomor : 1888 Desa Slarang yang dibeli PT Sumber Segara Primadaya (S2P) PLTU Cilacap.

Dalam laporan tersebut, tanah dengan luas 3.882 meter persegi, diduga baru dibayar oleh PT S2P PLTU Cilacap seluas 3.235 meter persegi, sehingga masih ada seluas 647 meter persegi yang belum dibayar oleh PT S2P PLTU Cilacap.

Untuk mendapatkan haknya, Jeminem mendatangi Kantor Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional didampingi Pemimpin Redaksi (Pemred) medianasional.id Amsir Sapernong, SH sebagai perwakilan keluarga Jeminem pada Senin, (26/06/2023).

Dalam pertemuan tersebut Amsir menyampaikan, bahwa tanah milik Jeminem yang merupakan saudaranya itu yang telah dibeli oleh PT S2P PLTU Cilacap masih ada kekurangan luas yang belum dibayarkan. Mengacu pada sertifikat atas nama Jeminem luas tanah dengan nomor 1888 Desa Slarang itu 3.882 meter persegi, tapi baru dibayar seluas 3.235 meter persegi, sehingga masih ada 647 meter persegi yang belum dibayar.

Atas laporan tersebut, BPN akan memfasilitasi untuk dilakukan pertemuan dan mengundang pihak terkait seperti pihak PT S2P PLTU Cilacap, BBWS Serayu Opak, DPUPR Cilacap, dan Pemerintah Desa Slarang. Rencananya BPN akan menggelar pertemuan pada tanggal 04 Juli 2023 mendatang.

Jika dalam pertemuan tersebut natinya tidak menemui titik temu, maka pihak BPN akan melakukan crosschek lapangan dengan malakukan pengukuran ulang untuk mastikan luas tanah yang ada sesuai dengan sertifikat tersebut atau tidak.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.