Dari Ngobrol Merdeka LeSTRA, Eko Tunas: Puisi Bung Toto Itu Puisi Cerdas!

Jawa Tengah, Kendal464 Dilihat

KENDAL- medianasional.id- Pada awalnya sebagaimana remaja lain, saya menulis puisi bertema cinta. Tapi lambat laun semua menjadi berubah. Ketika terlibat dalam kehidupan berbangsa, saya masuk dalam organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) dan menjadi jurnalis di koran Bintang Timur, tema-tema sosial mempengaruhi penciptaan puisi saya.

Itulah yang diungkap Toto Muryanto (83th), penyair kelahiran Gombong yang kini mukim di Jakarta dalam Ngobrol Merdeka Soal Sastra dan Politiknya Bung Toto Muryanto. Acara yang dihelat oleh Lembaga Sastra Rakyat (LeSTRA) di Warung Pojok Balai Kesenian Rakyat Kendal ini digelar untuk memperingati 12 tahun LeSTRA dan 77 tahun Indonesia Raya, Selasa (16/8/22) malam.

ADVERTISEMENT

Menurut Kelana, Divisi Pendidikan LeSTRA. Menurutnya, Toto Muryanto baik sebagai manusia maupun sebagai sastrawan memang unik. Pada pra tahun 1965, karya-karya puisinya banyak menghiasi lembar kebudayaan koran-koran kiri, baik nasional maupun daerah. Keterlibatannya di koran Bintang Timur yang berafiliasi di Partai Indonesia (Partai Indonesia) membuat namanya dicoret tebal-tebal dari ‘buku’ sastra Indonesia pasca Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965.

“Jadilah ia sebatang kara dalam Sastra Indonesia,” ungkap Kelana.

Namun demikian, semua itu tak menyurutkan gairahnya menulis. Hingga berumur 83 tahun, penyair yang selalu mengenakan topi bintang merah tersebut terus menulis. Bahkan pada tahun 2020 lalu terbit buku kumpulan puisinya yang berjudul ‘Baru 81’.

Menurut Toto, imbuh Kelana, judul tersebut adalah menunjuk usianya. Yang kedua adalah untuk mengenangkan sebuah bangunan bersejarah di Jl. Kramat no. 81 di mana dulu Njoto, intelektual dan budayawan rakyat, pernah berkantor.

Eko Tunas, budayawan Indonesia yang tinggal di Semarang mengatakan, puisi Bung Toto itu puisi cerdas! “Di saat penyair yang lain sibuk dengan diksi lebay dan terkesan moy indie, Toto Muryanto berhasil membebaskan pikirannya dari aturan bodoh sastra yang membelenggu,” ujarnya.

Kemudian Eko melanjutkan, kalau mau dicari bandingannya, ya Chairil Anwar. Toto dalam pengungkapan ekspresinya mirip dengan Chairil Anwar. Dan lebih dari itu, dalam karyanya, Toto berhasil membidik sisi lain yang tak banyak dibidik oleh penyair kanon dalam sastra Indonesia, lanjut Eko.

Sementara itu, Muslikin HN, sejarawan Kendal, banyak mengungkap Toto Muryanto dari sisi sejarah. Terutama pertikaian antara kelompok Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang mengusung idiologi Senin untuk seni dan kelompok Realisme Sosialis yang mengusung jargon seni untuk rakyat. Dalam hal ini karya-karya Toto masuk dalam kategori tersebut. Juga, dari puisinya, sebagai seorang manusia politik, Toto terlihat sangat ‘sukarnois’.

Lebih dari itu Jo Prastisiana, Dosen Filsafat UI, mempertanyakan; dengan ideologi karya seperti itu, di mana pertentangan antara seniman kiri dan kanan yang sudah tak nampak lagi, di manakah letak Toto Muryanto dan karyanya di era kekinian?

Ngobrol yang berlangsung hingga tengah malam lebih tersebut, juga dimeriahkan oleh pembacaan puisi oleh Kelana Siwi (LeSTRA), Gus Lukni Maulana (Ketua Lesbumi Jawa Tengah), Sofyan (Teater Semut Kendal) dan musikalisasi puisi oleh LeSTRA yang dibawakan Akar Jerami dan Devita. (*)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.