UU Yang Telah di Sahkan, Sulit Dibatalkan Walau Melalui Aksi Demonstrasi

Makassar129 Dilihat


Oleh : Dr. dr. Ampera Matippanna, M.H

Makassar, Medianasional.Id – Walaupun Negara Republik Indonesia menjamin hak warga negara dalam kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat, namun tidaklah berarti bahwa kebebasan tersebut tidak tanpa batas.

Pelaksanaan kebebasan tersebut haruslah disesuaikan dengan mekanisme dan cara-cara yang sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu sebagai sebuah kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain dan dalam rangka berpartisipasi mewujudkan tujuan pembangunan nasional.

Demonstrasi sebagai salah satu bentuk kebebasan menyatakan pendapat dimuka umum biasanya dilakukan oleh sekelompok orang atau gabungan dari berbagai ormas sebagai sebuah bentuk protes terhadap sebuah kebijakan yang dilakukan oleh penguasa yang dinilai merugikan kepentingan masyarakat luas, atau kebijakan yang berpihak pada kepentingan penguasa dan kroni-kroninya. Dengan demikian Demonstrasi lebih bertujuan dalam upayanya untuk melakukan pressure dalam mempengaruhi pengambilan keputusan atau pembatalan keputusan yang akan atau telah dibuat oleh penguasa.

Dalam hal sebuah Undang-Undang yang telah disahkan oleh DPR bersama Pemerintah yang menjadi tuntutan para pendemo untuk dibatalkan atau dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, maka setidaknya ada dua mekanisme yang mengaturnya yaitu mekanisme yang dilakukan oleh lembaga pembentuk UU yang berwenang yaitu DPR dan Presiden dan mekanisme yang dilakukan oleh lembaga kehakiman yaitu melalui Mahkamah Agung (MA) untuk pengujian peraturan dibawah UU dan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian sebuah UU yang bertentangan dengan UUD 1945 sebagai mana yang diatur dalam ketentuan Pasal 24 A ayat (1) dan pasal 25 C Ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 102 UU No 12 Tahun 2011 Tentang pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan.

Terhadap sebuah UU yang dilakukan Uji materi ( judicial review ) pada mahkamah konstitusi hanyalah terhadap substansi materi Dalam pasal-pasal yang dinilai oleh pemohon sebagai inkonstitusional untuk di ujikan terhadap UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Jika disetujui oleh MK maka pasal tersebut dinyatakan tidak berlaku atau tidak memiliki kekuatan mengikat , sedangkan secara keseluruhan UU tersebut tidak dapat dibatalkan oleh MK. Dalam hal tersebut MK hanya menguji substansi materi bukan proses lahirnya UU.

Adanya tuntutan massa demonstran untuk mendesak DPR dan presiden membatalkan atau mencabut UU tersebut adalah hal yang mustahil karena dalam ketentuan UU No 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa UU yang telah disahkan wajib diserahkan kepada Presiden dalam waktu 7 (!tujuh) hari untuk ditandangani oleh presiden dan di beri nomor untuk dibuatkan dalam Lembar Negara dan di Undangkan. Jika Presiden dalam jangka waktu 30 hari setelah ‘naskah UU tersebut diserahkan oleh DPR, dengan sendirinya akan menjadi UU dengan atau tidak ditanda tangani oleh Presiden.

Memang bukan perkara mudah untuk membatalkan sebuah peraturan yang telah di sahkan. Adanya tuntutan massa demonstran untuk menekan presiden dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ( Perpu) juga bukanlah hal yang tepat, karena dasar atau ketentuan lahirnya sebuah perpu mengacu pada adanya keadaan mendesak yaitu keadaan yang memaksa yang membutuhkan penyelesaian masalah hukum secara cepat sesuai ketentuan UU. Adanya kekosongan hukum yang terjadi karena ketiadaan UU yang mengatur sebuah permasalahan hukum atau hukum yang ada tidak cukup mamadai dalam menyelesaikan sebuah permasalahan hukum yang terjadi dalam masyarakat. Hal berikut yang mendasari lahirnya Perpu adalah kekosongan hukum tersebut tidak mungkin dibuatkan UU baru secara normatif karena akan memakan waktu dan proses yang lama sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-Undangan.

Berdasarkan atas uraian tersebut tentunya menjadi hal yang sulit bagi para demonstran untuk mewujudkan tuntutannya dalam membatalkan sebuah UU yang telah disahkan oleh DPR dan mengintervensi Presiden agar tidak menandatangani naskah sebuah UU yang telah di sahkan. Di sisi lain Pembentukan Perpu sebagai kewenangan konstitusional Presiden tidaklah tanpa syarat atau dasar yang kuat . Hak konstitusional pembentukan sebuah Perpu bukanlah bersifat subyektif dari seorang Presiden tetapi lebih pada penilaian obyektif terhadap kondisi situasional sebuah permasalahan hukum yang membutuhkan penyelsaian secara cepat.

Harapan satu-satunya adalah melalui mekanisme uji materi (Judicial Review ) terhadap pasal-pasal atau ayat-ayat yang terdapat dalam UU tersebut yang diangap merugikan kepentingan publik dan yang bertentangan dengan konstitusi untuk dinyatakan tidak berlaku atau tidak mempunyai keluatan mengikat tanpa membatalkan UU tersebut secara keseluruhan. (Nimbrod Rungga)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.