Potret Buram Hukum di Indonesia

Artikel354 Dilihat

Potret Buram Hukum di Indonesia

Oleh: Siti Zulaeka
(Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Peradaban )

Indonesia adalah negara hukum yang senantiasa mengutamakan hukum sebagai landasan dalam seluruh aktivitas negara dan masyarakat. Komitmen Indonesia sebagai negara hukum pun selalu dan hanya dinyatakan secara tertulis dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen.

Dimanapun juga, sebuah Negara menginginkan Negaranya memiliki penegak- penegak hukum dan hukum yang adil dan tegas dan bukan tebang pilih. Tidak ada sebuah sabotase, diskriminasi dan pengistimewaan dalam menangani setiap kasus hukum baik PIDANA maupun PERDATA.

Seperti istilah di atas, ‘Runcing Kebawah Tumpul Keatas’ itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi penegakkan hokum di Indonesia. Apakah kita semua merasakannya? Apakah kita bisa melihat kenyataanya? Saya yakin pasti seluruh masyarakat Indonesia juga melihat kenyataanya.

Kondisi Hukum di Indonesia saat ini lebih sering menuai kritik daripada pujian. Berbagai kritik diarahkan baik yang berkaitan dengan penegakkan hukum , kesadaran hukum , kualitas hukum, ketidakjelasan berbagai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungnya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan.

Kritik begitu sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia. Kebanyakan masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat dibeli, yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar.

Ada pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil.

Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka tetapi tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan . Hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat, telah berubah menjadi semacam mesin pembunuh karena didorong oleh perangkat hukum yang morat-marit.

Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum di peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini.

Hukum seringkali memilah dan mamilih. Kebenaran sudah terkalahkan dengan kekayaan. Pasalnya kasus yang sekarang sedang viral dalam media sosial baik pemberitaan, tayangan televisi seperti mata najwa, berita tulis online ialah seorang anak sekolah yang sedang ditimpa hukum tidak secara lazim, selain itu juga seorang kakek yang dikenakan pidana karena mencuri singkong di lahan orang lain.

Dua anak laik-laki yang masih duduk dibangku sekolah menengah atas sudah merasakan dinginnya jeruji penjara. Keadilan semakin diperjualbelikan. Lutfi anak laki-laki yang dikenakan pidana lantaran ikut andil dalam aksi demo yang dilakukan pada Bulan Desember dengan catatan yaitu ia berbuat anarkis, melempar batu serta tidak segera meninggalkan area setelah melayangnya pemberitahuan langsung oleh aparat kepolisian. Bukan hanya Lutfi yang menerima ketumpang tindihan dalam hukum, namun ZA masih anak pelajar juga yang dituduh melakukan pembunuhan berencana oleh aparat kopolisian, padahal ZA tengah melindungi dirinya dan temannya saat motornya diambil oleh begal. Masih banyak lagi kasus-kasus yang mengganjal.

Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik negara dapat bebas berkeliaran dengan bebasnya. Berbeda halnya dengan kasus-kasus yang hukum dengan tersangka dan terdakwa orang-orang yang memiliki kekuasan, jabatan dan nama. Proses hukum yang dijalankan begitu berbelit-belit dan terkesan menunda-nunda.

Seakan-akan masyarakat selalu disuguhkan sandiwara dari tokoh-tokoh Negara tersebut. Tidak ada keputusan yang begitu nyata. Contohnya saja kasus Gayus Tambunan, pegawai Ditjen Pajak Golongan III menjadi miliyader dadakan yang diperkirakan korupsi sebesar 28 miliar, tetapi hanya dikenai 6 tahun penjara, kasus Bank Century dan yang masih hangat saat ini Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akhil Mochtar ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan.

Penegakkan hukum di Indonesia sangat jauh dari kata adil. Bagaimana dengan mereka hanya memenjarakan yang  tidak beruang. Mereka takut dengan orang-orang  yang mempunyai uang banyak. Jika memnag seperti itu Indonesia bukan negara Hukum tapi negara Uang. Seharusnya pola pikir pemerintah menerapkan sistem Hukuman sesuai dengan apa yang telah dilakukan bukan melihat siapa yang melakukan.

Drama yang dipertontonkan kepada rakyat kecil semakin kejam, sehingga persaudaraan yang bangun juga akan semakin punah. Jika tidak memakai logika falaccy ketika seorang mencuri singkong satu buah sudah pasti bisa di selesaikan secara keluarga, namun dikarenakan adanya sebuah hukuman untuk pencuri singkong, sandal dsb akhirnya tetangga lapor kepada Polisi.

Hal demikian seharusnya tidak lagi menjadi problematika bangsa. Pasalnya Indonesia negara Hukum namun tertimpang pula dengan hukuman itu. Masih bingung mendefinisikan tentang keadilan.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.