Politik Identitas dan Generasi Blasteran Pada Kepentingan Politik

Maluku Utara155 Dilihat
Ketua Forum Komunikasi Pemuda (FKP),
Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, Muhammad Risman

Setiap menjelang momentum kepentingan diantaranya, pemilukada telah menjadi kebiasaan elite politik ras, golongan untuk menjadi target dalam penghitungan jumlah basis kemenangan. Penguatan identitas politik dan representase politik secara otomatis muncul sebagai dampak dibukanya kran partisipasi politik, yang dimulai sejak era reformasi hingga sekarang.

Secara teoritis politik identitas menurut Lukmantoro, adalah politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari politik perbedaan. Politik Identitas merupakan tindakan politis dengan upaya-upaya penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni penentuan nasib sendiri atas dasar keprimordialan.

Sedangkan Cressida Heyes, mendefinisikan politik identitas sebagai sebuah penandaan aktivitas politis (Cressida Heyes, 2007). Dalam pengertian yang lebih luas politik identitas berkepentingan dengan pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi (keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas.

Jika dicermati Politik identitas sebenarnya merupakan nama lain dari biopolitik yang berbicara tentang satu kelompok yang diidentikkan oleh karakteristik biologis atau tujuan-tujuan biologisnya dari suatu titik pandang. Sebagai contoh adalah politik ras dan politik gender. (Hellner, 1994:4).

Namun dalam perjalanan berikutnya, politik identitas justru dibajak dan direngkuh oleh kelompok mayoritas untuk memapankan dominasi kekuasaan. Penggunaan politik identitas untuk meraih kekuasaan, yang justru semakin mengeraskan perbedaan dan mendorong pertikaian itu, bukan berarti tidak menuai kritik tajam. Politik identitas seakan-akan meneguhkan adanya keutuhan yang bersifat esensialistik tentang keberadaan kelompok sosial tertentu berdasarkan identifikasi primordialitas.

Agnes Heller mendefinisikan politik identitas, sebagai sebuah konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya pada perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama (Abdilah S, 2002: 16). Di dalam setiap komunitas, walaupun mereka berideologi dan memiliki tujuan bersama, tidak bisa dipungkiri bahwa di dalamnya terdapat berbagai macam individu yang memiliki kepribadian dan identitas masing-masing.

Politik identitas dalam masa kekinian, tidak dapat menjadi tolak ukur kekuatan basis politik. Sebab, akan berlawanan dengan perkawinan antar identitas yang berbeda. Misalkan, garis keturunan Ayah (suka A) dan garis keturunan Ibu (suku B) dengan demikian, identitas tidak akan mampu untuk merebut kemenangan politik. Karena perbedaan garis keturunan itu, kemudian melahirkan generasi blasteran dengan pilihan yang tidak menentu.

Pada umumnya, generasi blasteran memiliki karakteristik yang sangat tinggi untuk menjaga kebersamaan, tidak mudah dipengaruhi pada kepentingan kelompok tertentu dan mereka paham akan keberagaman.

Namun, Pemilukada di beberapa daerah yang sudah berlalu, banyak potret yang menunjukkan dimana politik identitas cenderung dipaksakan. Akibatnya peranannya sangat kuat, bahkan terkristalisasi sedemikian rupa sehingga memberikan tekanan psikologis kepada masyarakat pemilih. Proses politik semacam itu disadari atau tidak akan menggerus dmokratisasi di Indonesia.

Melihat fenomena tersebut, maka tidak dapat dipungkiri lagi. Hal lain yang juga perlu dicermati adalah masalah mikro politik yaitu relasi-relasi penguasaan dalam praktek kehidupan sehari-harinya mengaku sebagai rezim kebenaran yang dikelola secara terstruktur dan diikut sertakan dengan membangkitkan emosi masyarakat sehingga terjadi marjinalisasi sampai munculnya label “the other”, seperti; perbedaan gender, perbedaaan etnis, dll.

Bahkan penerapan politik identitas, menjadi raw model bagi beberapa daerah yang akan melaksanakan Pemilukada 2020, menggunakan politik identitas sebagai pondasi utama bagi setiap kontestan yang ingin memenangkan pertarungan politik formal dan informal. Mendominasinya politik identitas dalam ruang publik yang sehari-hari sekarang terjadi dengan gelombang yang begitu besar di media sosial bukan hal yang patut dirayakan, karena sepertinya media sosial juga turut andil terjadinya segresi sosial secara horizontal yang makin melebar.

Pemilukada serentak 2020 dapat menjadi gambaran kita. Namun sudah banyak diperhadapkan dengan politik yang tidak sehat! Dugaan-dugaan bahkan menjadi kekhawatiran penegak hukum terkait peranan politik identitas terjadi hampir semua daerah.

Semoga pemilukada serentak pada tanggal 9 desember 2020 nanti, yang melaksanakan Pemilukada serentak sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 Provinsi (Gubernur), 37 Kota (Walikota) dan 224 Kabupaten (Bupati),dapat berjalan lancar secara demokratis yang baik dan melahirkan pemimpin sesuai harapan rakyat.

Buton, Oktober 2020.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.