Opini : Potret Pemilu 2019

Potret Pemilu 2019

Oleh : Siti Zulaeka
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Peradaban Bumiayu)

Pesta demokrasi yang digelar pada tanggal 17 April 2019 akan sampai pada titik hasil perolehan tanpa campur tangan orang lain. KPU adalah lembaga yang berwenang untuk mengawal pesta demokrasi tersebut disusul juga dengan BAWASLU. Setelah pesta demokrasi usai dilaksanakan dinamika terlihat semakin “menghangat”, pasalnya diskursus publik diramekan berbagai isu dengan atmosfir yang kurang elegan. Hal ini terjadi juga di masyarakat, polarisasi terbentuk diwarnai dengan ikatan primodial keagamaan atau identitas politik lainnya. Masyarakat saling mengklaim dirinya memilih yang ini dianggap paling benar, sementara memilih yang itu keliru dan dosa. Konteks perbedaan disini bukan lagi menjadi keberkahan demokrasi malah merupakan suatu ancaman bagi masyarakat.

Pola politik yang terjadi saat ini mengkhawatirkan karena rentan waktu merenggangkan relasi sosial antar warga negara. Pola tersebut menggerus rasa solidaritas dalam ikatan yang disebut berbeda-beda tetapi tetap satu. Jika melihat dari perbedaan itu adalah hal yang wajar dimiliki oleh sifat manusia. Tidak ada sebuah keharusan bahwa NU harus memilih paslon 01 demikian juga TNI harus memilih 02. Berdemokrasi adalah sesuai dengan hati nurani. Yang menjadi boomerang bagi warga negara terpecah belah adalah bahwa mereka kurang menerima adanya perbedaan padahal menurut clifford getz menyebut Indonesia merdeka adalah anggur tua dengan botol baru, gagasan masyarakat lama dalam negara baru, selain itu yudikatif menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara bangsa yang majemuk dan paripurna, bagaimana keberagamaan sosial, kultural, dan teritorial menyatu menjadi semangat kebangsaan Indonesia.

Pemilu 2019 menyisakkan sengketa antara setiap pendukung masing-masing. Hal ini menimbulkan pola-pola yang menyebabkan keruntuhan demokrasi. Saat ini perbedaan pandangan serta pilihan politik justru hal yang paling potensial dalam meretakkan bangsa. Jangka waktu 17 April sampai 22 Mei memiliki waktu yang kurun lama untuk menyelesaikan pesta demokrasi, namun semua tidak berjalan sesuai dengan semestinya. Hal-hal diluar dugaan muncul begitu saja. Anggota KPPS banyak yang meninggal akibat kelelahan. Kecurangan terjadi bukan hanya di satu TPS saja. Hal ini menghilangkan jejak kedamaian untuk Indonesia. Bahkan KPU sebagai lembaga yang sangat dipercayai oleh masyarakat untuk mengemban amanah di tahun 2019 tidak lagi menjadi pedoman bagi masyarakat.

Nampaknya kini sangat diperlukan sebuah ruang untuk kesadaran nurani menegaskan kembali semangat kolektif para pendahulu mengusung prinsip kemerdekaan, prinsip kebhinekaan, prinsip toleransi, prinsip tenggang rasa dan prinsip saling meghormati. Pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan bukan sembarang ceremoni biasa saja, dimana dalam hal ini Indonesia menentukan pemimpin untuk lima tahun kedepan. Namun hal seperti ini sering terjadi sesengitan antar manusia, bahkan mampu merobohkan rasa kebinekaan Indonesia. Munculnya kata “People Power” hingga mampu meruntuhkan demokrasi di Indonesia.

“Jangan sampai bangsa ini rusak hanya karena kepentingan pemilu yang hanya lima tahun sekali. Padahal kita hidup bersama-sama membangun Indonesi lebih dari lima tahun” kurang lebih begitu kalimat yang dilontarkan Mahfud MD. Polarisasi yang terjadi pada tahun 2019 ini menjadi sebuah pembelajaran untuk tahun 2024 agar kita mampu berkhidmat pada sunatullah kebanggsaan Indonesia untuk menemukan dan menyelami unsur pemersatu bangsa. Hikmah pemilu ini seharusnya menyadarkan kita untuk menilik arti dari Bhineka Tunggal Ika yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Dalam artian ketika kita terbentuk oleh kotak-kotak untuk memilih salah satu pasangan presiden, namun hasil akhir adalah keputusan terbanyak yang diinginkan oleh rakyat. Jika kepentingan pribadi diatasnamakan kepentingan rakyat.

Sederhananya untuk tahun 2024 agar setiap warga msyarakat menunaikan haknya sebagai masyarakat Indonesia. Tinggal memilih dari sekian calon dengan mengamati hal-hal yang bersangkutan dengan calon tersebut. Masalah menang dan kalah adalah hal yang lumrah dalam berkompetisi itu yang seharusnya disadari. Jika banyak yang menghalalkan segala cara kuasa Tuhan pasti tak pernah lupa. Jangan khawatir dengan ulah tangan manusia. Tuhan tak tidur. Mari bersama mendoakan untuk jasa KPPS yang telah dengan amanah menjalankan tugasnya dan mari bersatu kembali untuk Indonesia yang tidak
berjangka.
Salam Demokrasi……!!

Editor : Abu Bakar Sidik

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.