Obyektifitas Liputan Di Era Milenial

Artikel54 Dilihat

 

Oleh : Muhamad Kundarto.SP.MP (Pengamat Media Sosial dan Akademisi)

 

Medianasional.id Liputan jadoel punya ‘pakem’ rumus 5W+1H, yaitu menulis berita berdasarkan kaidah baku peristiwa (dimana, kapan, siapa, apa, pesertanya dan bagaimana). Saat itu wartawan dituntut untuk meliput secara obyektif sesuai fakta di lapangan. Apabila ada pesan sponsor, ada liputan dengan kode khusus yang artinya berita iklan. Bagaimana di era milenial ini?

Saat ini hampir setiap orang yang punya HaPe punya peluang sama untuk menyebarkan berita. Namun karena tidak banyak yang punya basic wartawan, maka liputan public ini menjadi beraneka. Ada yang hanya foto tanpa keterangan. Ada foto dengan keterangan tidak lengkap. Ada foto malah diberi keterangan subyektif (kesan yang posting). Ada juga artikel singkat yang seperti berita, campur aduk dengan komentar subyektif. Walau tanpa tatanan liputan baku, namun ratusan berita muncul dari publik setiap hari. Bahkan tak jarang bercampur dengan berita palsu (hoax) yang sengaja dikirimkan oleh pihak tertentu dan tanpa sengaja ter-viral-kan oleh publik.

Berita spontanitas oleh publik tersebut menjadi sajian kita sehari-hari di media sosial, yang disadari atau tidak, bersaing ketat dengan media mainstrem (baku) yang biasanya muncul secara nasional dan daerah. Selain itu ada media lokal, yang dengan keberaniannya memanfaatkan website online, mengadakan liputan dan tayangan berita setiap hari. Jadi, bisa dibayangkan publik akan mendapatkan sajian berita yang amat sangat banyak. Mana yang akurat?..

Sesungguhnya liputan media di era milenial ini cenderung terkurangi nilai obyektifitasnya dan etika kroscek pada kedua belah pihak apabila terkait pertentangan opini. Media saat ini berpacu dengan kecepatan dari menit ke menit. Beda dengan berita jadoel dimana peristiwa hari ini ditayangkan esok pagi di media cetak. Saat ini, peristiwa pada jam ini akan ditayangkan pada jam ini pula, atau maksimal 1-2 jam setelah acara dimulai/dibuka. Saking cepatnya penayangan (upload), maka tidak sempat lagi untuk mencari berita yang super lengkap informasi dan kroscek opini. Maka, saat ini sudah biasa liputan itu hanya berisi sedikit informasi dan diklarifikasi sambil jalan. Bahkan banyak berita yang dengan sengaja disajikan beberapa lembar, mungkin untuk meningkatkan rating penge-klik-an oleh pembaca online.

Satu sisi, wartawan adalah manusia biasa yang butuh pekerjaan dan pendapatan. Sisi yang lain, bagaimana pendapatan itu juga memenuhi asas kepatutan dan kewajaran. Jangan sampai menjadi wartawan yang hanya kedok, aslinya suka memainkan berita untuk memeras atau menyerang pihak lawan. Setiap wartawan diharapkan masih mengedepankan nurani untuk mengungkap fakta, bukan kebohongan.

Sisi enaknya liputan di era milenial ini adalah para wartawan tidak perlu lagi memburu berita secara manual setiap waktu. Hanya sesekali terjun ke lapangan. Tapi waktu dominan bisa dengan ‘nongkrong’ di media sosial, sambil memantau ada info dan berita apa dari publik. Selanjutnya diperdalam informasinya pada narasumber yang tepat. Itu pun cukup menanyakan via inbox. Lalu jadilah berita online siap tayang. Namun hal begini harus diimbangi dengan model berita iklan agar ‘dapur tetap ngepul’.

editor: saerozim

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.