Menguak Tabir PILKADA

Tanwin Fataha Ketua Kajian dan Strategi (Kastrat) KAMMI Komisariat STKIP Kie Raha Ternate

Dalam satu prespektif, pilkada adalah rasionalisasi sederhana dari gaduh-sengkrautnya siklus perpolitikan negeri ini. Formalitas-legal proses menuju berkuasa pada pendahaganya. Dalam cara itu, setidaknya rakyat mayoritas beraktivitas pada tiga kondisi. Kronis namun eksis. Dijalani secara sadar, dengan motif per-masing-masing.

Pertama, rakyat terlibat pada bidang puncak gunung es nya saja dan seolah-olah aktif. Dimana, pre-emtif hingga korelasi kriminogennya adalah belantara buas. Ruang tarung kaum kapitalistik dengan kaki tangannya politisi demagog. Minoritas, yang ternilai pragmatis transaksional.

Kedua, rakyat dalam fiksi kedaulatannya justru tak sedikit yang beracuh nan jijik. Begitu mendengar kata politik, sesegera membuat isi perutnya ingin menyembur bak letusan freatik gunung api. Ini yang dinamakan buta politik oleh Berthold Brecht, buta terparah dalam kehidupan.

Ketiga, disisi lain, tak sedikit rakyat memilih melegalisasikan diri pada lembaran selulosa, demi bertsetuju menyerahkan titahnya selama 5 tahun sebagaimana pilcaleg kemarin. Pilih kucing dalam karung. Ada uang, ada suara.

Kertama, kedua dan ketiga sudah sedemikian tersistemik. Anda boleh berkelit, toh rakyat seolah ter-representasikan kedaulatannya melalui pilkada. Namun kembali lagi, secara gamblang aktivitasnya terjebak dalam tiga kondisi ini. Dalam persengkrautan siklus kuasa rakyat, yang pertama adalah lebih baik. Ketimbang kedua apalagi ketiga.

Pertama adalah terpaksa terlibat, kedua adalah tidak terlibat tapi dungu dan ketiga adalah terlibat dalam pembodohan. Demikianlah fakta itu terpapar adanya. Kita hanya memaksanya baik atau tidak. Sekali lagi, hanya memaksa.

Jikalau tak seru, itu bukanlah Pilkada. Selalu sengit dari waktu ke waktu. Tak urung waktu berjalan, tahapan Pilkada 2020 kini diambang pintu. Jauh sebelum penyelenggara bergiat, bakal calon sudah bergegas. Di dunia nyata, sapa-sapa warga-sosialisasi sudah dilakukan jauh berbulan-bulan yang lalu. Kondangan, halal bil halal, ramah tamah, hingga baliho-balihoan semakin kompetitif. Belum lagi di media sosial (medsos) judul-judul pemberitaan begitu menggemaskan. Komentar tokoh dan tokoh-tokoh-an adu taji. Semua bak cendawan di musim hujan.

Mengikut pula Facebook, para komentator mulai sindiran. Akun palsu-akun asli tak terhidarkan dari debat ala pakar pun caci maki. Yang paling mengerucut adalah slogan-slogan di baliho. Laten konflik bahkan tercium dari situ. Itulah realitas, lantas apa yang tersirat dari gejala tersebut? Yah, tentu itu adalah sebuah politik kemasan.

Tak bisa ditampik, jagad perpolitikan kita masih terkungkung dilevel slogan-politik kemasan. Tak heran adu argumentasi berpusar pada penyerangan secara pribadi calon ataupun juga saling nyinyiran. Padahal yang dibutuhkan hari ini adalah politik gagasan, yang dipijak dari nalar akademis. Bagaimana sedari berniat mencalon sudah ada ide dan penjabaran konkretnya- berbuat untuk daerah. Bukan sekadar gagasan abstrak, yang ketika ditanya terjawab hanya dengan apologi belaka.

Peran politisi dalam meredam bara Pilkada sungguh sentral. Menggeser tema adalah salah satu kunci. Meski stra-tak politik menghalalkan segala cara, namun apalah daya jika kedewasaan perpolitikan kita masih jadi bahan tertawaan. Stabilitas daerah jadi gadaian. Jujurlah pada keadaan, berapa banyak yang masih tak bertegur-sapa gegara perbedaan pilihan politik di Pilkada serentak lalu. Belum lagi dengan dimulainya gejolak Pilkada kali ini. Jaga jemari, filter ujaran, dan stop menghujat. Jangan berjuang mati-matian untuk sesuatu yang tak di bawah mati.

Dari Masjid ke PILKADA

Adzan berkumandang jelang petang itu. Dua-tiga pria paruh baya berpeci putih berduyun-duyun ke Masjid dengan sajadah dipundaknya. Didalam, beberapa pemuda dengan rambut agak basah Nampak bersegera membentuk shaf. Yang muda-muda nampak mengalah, ada yang mundur ke shaf belakang, dan mempersilahkan yang lebih tua ke shaf paling terdepan.

Shaf terbentuk dua, dan ada sedikit keanehan. Tak seperti biasanya. Di bagian imam tak ada yang berani mengisi, segan. Padahal ada beberapa orang tua berpeci putih. Nampak lazim jika dijadikan imam. Orang tua-orang tua itu saling berisyarat, mempersilahkan masing-masing untuk jadi imam. Kejadian aneh itu tidak sedikit memakan waktu.

Hingga akhirnya, ada orang tua yang mendorong halus-perlahan seorang pemuda bercelana cingkrang untuk menjadi imam. Dahinya yang sedikit hitam nampak berkerut, seperti berat menerimanya. Namun sejenak itu iapun tersenyum. Dan dengan langkah pasti, akhirnya ia berdiri tegak didepan semua orang. Seingat saya, bacaan Surah Al-Baqarah begitu merdu ia lantunkan. Nampaknya orang tua itu tidak salah menyodorkan imam. Walaupun ada sebait ayat yang diingatkan oleh seorang jama’ah, sholat kali itu begitu tuma’ninah, luar biasa khidmatnya.

Hanya beberapa menit terjadi, sholat berjama’ah kali itu menyiratkan sebuah pelajaran tentang makna kepemimpinan. Bagaimana seorang pemimpin lahir dari hasil kompromi khidmat yang didasarkan atas pengakuan. Tak ada yang berlomba untuk menjadi pemimpin.malah yang ada saling merekomendasikan. Masing-masing orang tahu diri, kalau pemimpin itu membutuhkan landasan yang kuat, ilmu yang tinggi, kerendahan hati, serta bertanggungjawab dengan jujur.

Si Imam hadir tanpa menawarkan diri. Ia pasti sadar kalau menjadi seorang imam diantara jama’ah yang banyak adalah tanggungjawab besar. Justru orang yang mengetahui kemampuannya yang mendorongnya untuk memimpin. Tak ada yang keberatan terlebih berisik. Para jama’ah mengikut dibelakangnya dengan khidmat, patuh, walaupun ada yang memprotes kesalahan bacaanya dengan merdu nan sopan, ia pun jujur mengakui kekhilafan, dan meralat bacaanya.

Proses menjaring pemimpin dalam suatu wilayah atau negara adalah proses yang rumit. Dalam sistem apapun banyak menuai konflik. Pun demikian dalam sebuah sistem demokrasi sebagai sistem ideal yang paling banyak dianut di bumi ini, sebagaimana dalam sebuah sistem demokrasi di wilayah atau negara kita. Seorang pemimpin lahir dari sekelumit proses perpolitikan yang identik dengan vonis ‘carut marut’. Terkhusus di pilkada yang akan dilaksanakan hal itu seolah biasa saja terjadi.

Demi kekuasaan, segala cara jadi halal. Semua politisi pun jadi Machiavellian. Tak ada haram, licik dan sadis. Energi untuk memilih pemimpin sungguh sangat besar. Sebab hingga triliunan rupiah bisa ludes digunakan. Hasilnya pun luar biasa memiriskan dengan segudang kerusakan nilai-nilai sosial masyarakat. Pilkada serentak baru-baru ini nyata mencerminkan hal itu semua. Banyak interaksi sosial yang tercabut nilainya, hanya karena syahwat kekuasaan. Pun kekonyolan yang ego.

Kerontangannya makna politik seolah terjustifikasi di masyarakat yang awam dari sapaan pendidikan politik para politisi berikut partainya. Yah, sebab umumnya mereka datang dengan pernak-pernik simbolitasnya hanya saat jelang momen pemilihan. Seandainya saja proses melahirkan pemimpin seperti Pilkada sesederhana di masjid, sebagaimana kisah nyata diatas. Betapa indahnya kehidupan berbangsa dan bernegara akan terasa sejuk. Tidak sebablas Pilkada baru-baru ini, yang tersirat bak badai konflik dan fitnah.

Tiap-tiap orang pantas untuk memimpin sebagaimana halnya pondasi ‘equal’ dalam demokrasi. Namun kepantasannya sewajibnya lahir dari dorongan orang lain yang didasarkan atas pengakuan kualitas secara khidmat. Jauh beda dengan realitas kebanyakan di Pilkada kita. Pemimpin yang dihadirkan justru terkesan apatis dan membusungkan dada untuk menawarkan diri. Sebagaimana lazimnya kita lihat pada baliho-baliho.

Kualitasnya tak terukur pasti dengan durasi debat argo kuda. Rakyat membayar mahal untuk mengenal samar calon pemimpinnya. Yang ada kemudian, tak jarang adalah pemimpin karbitan. Tak lahir dari pola merit sistem.yah, kader terbaik selalu kalah oleh modal terbaik. Lain lagi dengan prosesnya. Sporadik melabrak pranata sosial. Apapun disangkutpautkan dengan politik. Hukum dan jabatan pun jadi senjata. Bahkan unsur pemurni dari kalangan oknum cendekia dan oknum jurnalis pun ikutan tercemar. Tak sungkan untuk melegalisasikan politik. Parah.

Kompleksitas masalah Pilkada toh sudah melingkar layaknya ‘circle of devils’. Regulasi aturan yang belum terkodifikasi, meski tambal sulam perbaikannya, struktur penyelenggara yang miskin seperti tidak punya taring untuk menghadirkan Pilkada yang berkedamaian. Fungsi hukum sebagai perekayasa sosial tidak mampu menahan keberengisan masyarakat yang sporadis merayakan demokrasi langsung. Jumudnya, benteng-benteng keadilanpun runtuh diterjang kelicikan berpolitik.

Masyarakat pun tak jarang beringas. Kekalahan politik dianggap sebagai kekalahan segalanya. Kemenangan dianggap sebagai kesemena-menaan. Seolah semua dipertaruhkan untuk semua. Terwujudlah adagium dari Otto Van Bissmarck, yang berkata hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan dimenangkan. Dalam idealitas memilih pemimpin ala Masjid, ada banyak pola yang patut jadi cerminan untuk proses Pilkada kita. Setidaknya, poin utama yang perlu digaris bawahi adalah bagaimana kriteria pemimpin yang pantas, dan bagaimana melahirkannya.

Pemimpin, calon kepala daerah adalah manusia yang berkriteria sidiq, amanah, tabligh, fatonnah. Ia berdiri di depan sebagai suri tauladan (ing ngarsa asung tuladan), di tengah membangun semangat (ing madya mangun karsa), dan dari belakang menyemangati (tut wuri handayani). Ukuran idealitas tersebut mungkin terlalu wahid, namun kita tentu tak buta dengan masih adanya sosok yang mendekati kriteria tersebut. Setidaknya mendekati sedekat-dekatnya.

Dia bukan lahir dari uang, atau seenak-enaknya dari turunan. Selazimnya lahir dari perjuangan bukan persandiwaraan. Melahirkannya, dibutuhkan proses dengan pengakuan secara jujur-rasional akan kapasitas dan kapabilitas. Bukan dilahirkan dengan kemunafikan berlapis fulus hingga dibela sampai mampus oleh penjilatnya yang berakal bulus.

Melahirkan pemimpin, kepala daerah dalam kompleksitas hidup kekinian kenyataan rumit. Walau tak sesederhana di Masjid namun banyak yang kita bisa tiru dari itu. Bukan hal yang muluk jikalau itu kita adopsi nantinya secara kaffah untuk melahirkan pemimpin. Ini sebuah pemaknaan yang mesti kita konstruksi dalam paradigm sosial.

Jikalau rumit seutuhnya, setidaknnya kita wajib berbenah, menjadi bagian yang membawa virus perubahan. Semua tergantung kita, menafsirkan demokrasi ala Masjid dalam perhelatan Pilkada kita. Yang penting patut direnungkan untuk selalu diingat, bagaimana kriteria dan bagaimana melahirkan pemimpin. Poin perubahan ada di situ. Sederhananya, sebuah perubahan besar dimulai dari hal kecil, hari ini, dan untuk kita semua.

Hari ini, tak usah muluk-muluk dengan yang bersih dan visioner. Ada banyak wakil rakyat kita yang bahkan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) tidak dipahami. Terkecuali soal anggaran yang masuk ke kantung pribadi, kunjungan kerja (Baca : Jalan-jalan) yang bargaining/main proyek. Mereka paling lincah soal ini. Oleh sebab itu, kedepannya memilihlah dengan bijak. Menggunakan hak pilih dengan sebaik-baiknya. Yakinlah, masih ada kandidat yang benar-benar berangkat dari niat mulia. Pelajari rekam jejaknya, pahami moralitas pribadi dan moralitas kerjanya. Mari kita saling mengingatkan. Inilah momentumnya. Daerah kita akan maju dengan baik, bergantung pada pilihan kita.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.