Kegelisahan Pemerhati Seni Dan Budaya Di Kota Malang

Jawa Timur121 Dilihat

Malang, redaksimedinas.com – Keputusan pemerintah yang menjadi kontroversi masyarakat, khususnya masyarakat seni dan budaya, terkait pajak hiburan yang terjadi di kota malang semakin gelisah. Selasa, (27/2/2018).

Acara yang di akomodir oleh Malang Musik Bersatu (MMB) di hadiri dari berbagai Komunitas seni, hiburan dan juga budaya ini bertempat di MMI Kota Malang di jl. Nusakambangan Kota Malang.

Ngobrol bareng tentang Peraturan Daerah Kota Malang No 2 Tahun 2015 tentang perubahan atas peraturan Daerah Kota Malang No 17 tahun 2010 tentang pajak daerah.

Di dalam pasal 22 ayat 2 yang menyebutkan bahwa, pengelolaan kesenian, musik, tari, dan atau busana.Hal ini sangat memberatkan pada komonitas seni dan budaya.Ini adalah bentuk bukti kalau pemerintah tidak mengerti dan tidak paham tentang seni dan budaya.

Semestinya, tradisi itu harus di lestarikan, bukan malah di ambil keuntungan sepihak dengan di tarik pajak. Sementara dari pihak pemerintah sendiri malah acuh, seakan akan ada pembiaran untuk tutup mata terkait seni dan budaya. Tutur salah satu pemerhati seni dan budaya di dalam acara tersebut.Keberatan pajak hiburan yang mencapai hingga 15% ini, semestinya ada klasifikasinya.

Komonitas komonitas yang semestinya di kembangkan dan sport oleh pemerintah, malah ini di jadikan lahan untuk Petrus Petrus pajak.

Petrus Petrus pajak datang dikala muncul sebuah Komonitas kecil yang lagi mengapresiasikan tentang hasil karyanya.

Semestinya pihak pemerintah mengklasifikasi seni budaya dan hiburan menjadi beberapa item. Salah satu contah seperti seni jaranan yang merupakan seni budaya daerah yang muncul dari kalangan masyarakat yang merupakan penerus budaya dari para leluhur.

Salah satu contoh lagi tentang bakat seni musik yang muncul dari kalangan anak anak muda yang semestinya pihak pemerintah mensport untuk bisa berkriasi, jangan malah di jadikan ajang untuk menjadikan ajang untuk Petrus Petrus pajak berkeliaran untuk memangsanya.

Dalam pandangan Dr.Ali Syariati dalam bukunya yang berjudul “Ideologi Kaum Intelektual” mengatakan, yang membentuk kebudayaan adalah hukum agama, hukum adat, hukum Negara dan kesenian.

Menurut nazir, salah satu seniman dan budayawan Kota Malang mengatakan “Hukum berfungsi untuk membatasi ke liaran manusia dan “kesenian” untuk memperhalus Budi, hati, jiwa dan pikiran. Jika “pemimpin” membuat kebijakan yang bisa melemahkan geliat dan gerak kesenian, maka sama saja “pemimpin” sedang menciptakan MONSTER di tengah kehidupan masyarakat”.

“Di tahun 70 and Malang menjadi barometer musik Jazz dengan geliat di Motori (boleh dikatakan) oleh mahasiswa, seni tradisi dan intelektualitas terbangun dengan membaurnya kalangan menengah dengan masyarakat yang terwadahi, dengan adanya ruang ruang untuk mengapresiasi kesiniaa. Seperti dengan adanya indrokilo, Pulosari, lapangan stadion luar, gedung Gajayana dan gedung gedung kecil milik sekolah.

Kondisi seperti ini akhirnya memunculkan dinamika yang besar dan sehat bagi kesenian di Kota Malang”.

“Sampai pada tahun 80 an dinamika itu menghasilkan Malang mendapat julukan sebagai Barometer Musik Rock Indonesia”.

“Julukan ini jelas muncul karena terbangunnya struktur strategi budaya yang tepat, yang dilakukan oleh pemerintah”.

“Keberadaan pimpinan saat itu, kini benar benar di rindukan oleh masyarakat Kota Malang. Sebab dalam rentang lebih dari 20 tahun ini, Kota Malang hanya di pimpin robot yang mengerti tentang bagaimana mempertahankan kekuasaan, yang sangat tidak memahami struktur pembentukan kebudayaan, sehingga Kota Malang kian menjadi panas”ungkapnya. (drwt)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.