“Dualisme dan Monisme, adalah Perang Perspektif”

Artikel333 Dilihat

Oleh: Baqi Maulana Rizqi

Kader HmI Bumiayu

Sekedar memastikan bahwa “kebenaran pasti akan tetap hidup”, kiranya itu yang alasan logis untuk mengulas beberapa fenomena yang terjadi disekeliling kita. Kasus yang marak terjadi dapat saja menimbulakn konflik-negatif, tentu jika tidak disikapi dengan bijak. Ukuran dalam menyikapi kasus, mari kita coba dengan berbagai pendekatan yang mampu mengarah dan berpijak pada realitas, sehingga nilai objektif bisa jadi simpulan untuk mengambil sikap. Dengan seperti ini dapat memperkecil konflik-konflik besar terjadi. Penulis masih ingat betul pesan dari K.H. Abah Sholahuddin, pasca silaturrahim dikediamannya di pondok pesantren Al Hikmah 2 Desa Benda, beliau berpesan “kecilkanlah masalah yang besar dan besarkanlah masalah yang kecil”, maksud yakni dalam menjumpai masalah kecil itu jangan sampai diremehkan, harus cepat diselesaikan. Dan jika menghadapi masalah besar, maka kecilkanlah, bahwa kita mampu untuk menyelesaikannya bukan malah larut dalam masalah tersebut.

Masih berkutat pada kasus yang kerap terjadi akhir-akhir ini, yakni tentang soal pembuangan bayi di wilayah desa benda. Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan dahulu, yakni: pertama, pembuangan bayi adalah satu perbuatan yang melanggar hukum bahkan norma-norma yang ada. Kedua, kejadian tersebut dikawasan desa yang agamis dikarenakan tertadapat beberapa pesantren terkemuka yaitu, pondok pesantren Al Hikmah 1, pondok pesantren Al Hikmah 2 serta pondok pesantren yang ada di wilayah sekitar, sehingga tidak heran jika desa Benda dijuluki desa/kota santri.

Kasus tersebut cukup menggegerkan terutama di media sosial Facebook, akun Facebook milik warga benda cukup menjadi perhatian, yakni, soal tulisan statusnya “Angger pelaku ne ngko ketemu jebule wong benda ya aja gumun, emange wong benda suci apa. Memang wong benda kuwe kota santri, akeh wong ngaji, akeh wong alim, akeh ustadz, akeh kyai, tapi wong benda sing doyan mendem ya ana, sing doyan narkoba ya ana, sing doyan selingkuh karo bojone uwong ya ana. dadi aja gumun nek misale ngko pelakune ketangkep jebule wong benda. Syukur2 tah dudu wong benda pelakune, dadi aja komentar gumun ya, dihh ning benda jare ana wong biadab nemen mbuang bayi anake dewek, TKP ne bae pas nang benda, tunggu polisi bekerja ya, syukur2 tah dudu wong benda, angger wong benda ya kuwe mau. Kiye nggo pengeling nyong dewek sebagai wong benda kudu njagani adab sebagai benda sing dikenal kota santri, #BiasakanPostingTanpaGambarKorban”, tandasnya dalam ststus Facebook yang dituliskan.

Cukup keras kiranya maksud yang hendak ingin disampaikan dari status tersebut, ini mengarah pada soal dualisme. Yaitu, terkait dua hal yang kontadiktif akan tetapi ada secara bersamaan. Dualisme bisa ditemui pada pebahasan ekonomi seperti yang dijelaskan dalam bukunya Alm. Prof. Dawam Rahardjo seorang cendikiawan muslim juga seklaigus ekonom Indonesia. Selain itu ada juga dualisme tentang alam pikiran yaitu, berkutat wilayah yang membahas filsafat. Ini bisa ditemui dalam buku “Misykat, Refleksi Tentang Islam, Westrnisasi & Liberliasasi” karya Dr. Hamid Fahmy Zarkasy, Direktur INSISTS.

Di dalam bukunya Dr. Hamis Fahmy Zarkasy, mengemukakan kasus soal pelacur yang di hadirkan pada acara talk-show pada stasiun TV Inggris tahun 90 yang membahas isu pelacur. Ada pernyataan pelacur yang cukup menarik kurang seperti ini “saya memang pelacur, dan saya melakukan ini karena memang saya janda. Saya ingin menjalani profesi ini untuk menghidupi tiga orang anak saya. Kalian boleh saja mencemooh, tapi siapa yang peduli jika anak-anak sya kelaparan, siapa! Siapa!” ia berteriak lantang, ”Supaya kalian semua tahu lanjutnya, saya memang pelacur tapi hati saya tetap suci”. Hadirin pun bersorak. Kasus ini berkaitan dengan soal dualis, menjadi pelacur dan mersa suci. Dua sifat yang kontradiktif, doktrin dualisme ini sudah lama berakar di dalam pemikiran barat, asal usul terdektanya adalah filsafat akal (philosophy of mind) yang digemari Descrates, Kant, Leibnis, Christian Wolf dan lain-lain.

Bahkan konon Barat mewarisinya dari kepercayaan Zoroaster (1000 SM) di Timur, dunia dianggap sebagai pergulatan abadi antara kebikan dan kejahatan. Thomas Hyde menemukan doktrin ini dalam sejarah agama Persia kuno (History religionis veterum persiarum, 1700). Doktrin Zoroaster diwarisi oleh Manicheisme dan diramu dengan duliasme Yunani. Tuhan akhirnya dianggap sebagai person dan juga materi. Bagi orang Mesir kuno Ra adalah tuhan matahari simbol kehidupan dan kebenaran, lawannya adalah Apophis lambang kegelapan dan kejahatan. Deva dalam agama Hindu adalah tuhan baik, musuhnya adalah Asura tuhan jahat. Dalam filsafat, Pythagoras adalah dualis, segala sesuatu diciptakan saling berlawanan: satu dan banyak, terbatas tak terbatas, berhenti-gerak, baik-buruk dan sebagainya.

Tapi apakah dualisme itu benar-benar realitas? Atau sekedar persepsi yang menyimpang? Sebab nilai-nilai Monistis (kesatuan) dalam realitas juga ada dan riel. Dalam kepercayaan kuno pun unsur monisme juga wujud, Marduk ternyata turunan dari Tiamat, Zeus dan Titan berasal dari moyang yang sama. Di zaman Renaissance dualisme Plato kembali menjadi pilihan, tapi pada abad ke 17 Descrates memodifikasinya. Baginya yang riil itu adalah akal sebagai substansi yang berpikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang menempati ruang (extended substance). Perang antara dualisme dan monisme, sejatinya adalah pencarian konsep ke-esa-an (tauhid). Fichte dan Hegel misalnya juga mencoba menyodorkan doktrin monisme, tapi bagaimana bentuk kesatuan kehendak jiwa dan raga tidak jelas. Nampaknya, karena arogansi akal yang tanpa wahyu maka monisme tersingkir dan dualisme berkibar. Jiwa dan raga dianggap dua entitas, seorang dualis melihat fakta secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga tidak saling terkait satu sama lain karena beda komposisi, akal bisa jadi jahat dan materi bersifat suci.

Padahal dari jiwalah kehendak berbuat jahar itu timbul, dalam islam kerja raga adalah suruhan jiwa (innama al a’mal bi al-niyyat). Karena itu ketulusan dan kebersihan jiwa membawa kesehatan raga. Nampaknya doktrin dualisme telah memenuhi pikiran manusia modern termasuk pelacur tersebut. Kekacauan berpikir inilah kemudian yang melahirkan istilah “pejabat yang santun, koruptor yang dermawan, ateis yang baik, pelacur yang moralis, atau yang lebih keras lagi pernyataan kota santri yang absurd”, serta pernyataan srampangan yang kerap muncul di alam pikiran dan kondisi riil kita.

Dari maksud yang hendak penulis sampaikan yaitu, mari perkuat lagi landasan dalam berpikir untuk menjalani keseharian kita, sehingga tidak sampai pada kekacauan berpikir serta terlau mudah mengambil kesimpulan. Soal kasus yang terjadi dibenda mari kita sikapi dengan akal sehat serta tetap berpikir jernih.

Editor : R.Tasya A

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.