Artidjo, Sebuah Pakta Integritas

Artikel86 Dilihat

Malam itu, 2 Juni, acara buka bersama di hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, istimewa. Ritual puasa itu sekaligus pelepasan Dr. Artidjo Alkostar yang pensiun setelah 19 tahun menjabat hakim di Mahkamah Agung. Penyelenggara acara adalah firma hukum Ari Yusuf Amir & Erwin M. Singajuru and Partners dan AIL Amir and Associates.

Perilaku kedua firma hukum ini terasa cukup aneh, mengingat Artidjo lebih dikenal sebagai hakim yang kurang bersahabat dengan kaum advokat. Tapi perayaan itu lebih personal daripada profesional karena kedekatan hubungan pribadi yang panjang antara para personel kedua firma dengan Artidjo.

Kebanyakan mereka adalah eks mahasiswa Artidjo di FH UII Yogyakarta, sekaligus anak-anak spiritual dan ideologisnya; orang-orang yang mendapat banyak inspirasi dari dosen Hukum Pidana itu. Terutama dalam soal integritas dan semangat keras untuk tak takluk pada kekuasaan yang menindas di masa mereka mahasiswa.

Buka bersama juga diisi tausiyah Prof. Mahfud MD, yang akhir-akhir ini mengaku gamang memberi ceramah semacam itu, berhubung kontroversi di seputar gaji di BPIP tempat ia menjadi salah satu penasihat.

Kapolri Tito Karnavian menuturkan cerita yang mengesankan. Ia menyejajarkan Artidjo di MA dengan Pak Hoegeng di Kepolisian dan Baharuddin Lopa di Kejaksaan. “Tokoh-tokoh seperti mereka hampir tak pernah ada lagi di instansi masing-masing,” katanya.

Sebagai perwira di Polres Jakarta Pusat di awal 2000an, Tito menangani tawuran pemuda kampung di Kali Pasir dan Kwitang. Ia kaget ketika seorang warga memberitahu bahwa di salah satu gang kecil di sana, tinggal seorang hakim agung, yang tiap hari naik bajaj.

Saya pernah ke rumah Artidjo yang dimaksud Jenderal Tito, saat ia baru beberapa hari menempati rumah itu. Di dalamnya belum ada meja-kursi tamu, jadi kami duduk menggeletak di lantai berlapis permadani murah.

Meski saya hapal gaya dan kesederhanaan hidup Bang Artidjo, kondisi rumahnya di gang kecil itu tetap mengejutkan. Setahu saya biaya kontrak rumah itu pun dari seorang mantan mahasiswanya.

Saya coba mengusik soal rumah itu, mengingat ia adalah hakim agung. “Apakah tidak ada rumah dinas?”

Jawab Artidjo: “Kabarnya disediakan rumah dinas. Tapi saya tidak mau meminta-minta kepada pejabat yang berwenang dalam urusan itu (dia menyebut nama). Kalau memang jatah rumah itu ada, berikan saja. Tidak perlu diminta.” Apa boleh buat, Artidjo masih seperti yang dulu.

Setelah beberapa tahun, ia akhirnya mendapat jatah apartemen di Kemayoran. Sedikit lebih mewah dibanding kontrakannya di gang Kwitang, yang ia huni sampai pensiun; dan ia tidak “menyimpan” rumah-rumah pribadi di tempat-tempat lain, sambil pura-pura miskin dengan tetap tinggal di apartemen tua pinjaman negara.

Sekian tahun kemudian ia berhenti berbajaj, dan naik mobil dengan supir pribadi. Sebuah mobil mini bikinan Korea yang sama sekali tidak agung. Apa mau dikata, ia memang tak pernah peduli dengan hal-hal luaran dan tempelan. Artidjo tak pernah sudi meletakkan prestise dan martabat dirinya pada barang-barang konsumsi yang tak bersubstansi.

Terlalu banyak sahabat, murid, bahkan musuhnya yang bisa bersaksi tentang keunikan Artidjo, yang bagi kami sebagai aktifis mahasiswa juniornya merupakan kompas moral, tempat kami menimba inspirasi dan energi perjuangan, terutama di saat situasi terasa kian suram.

Suatu malam saya dan teman-teman berkunjung ke rumahnya, di sebuah kompleks perumahan baru yang sederhana di daerah Godean. Sebelum masuk rumah, saya diseret ke suatu sudut oleh adik kandungnya, “Maulana.”

Ia berbisik-bisik; meminta saya memohon kepada kakaknya agar segera meluluskan dia dari Fakultas Hukum.

“Saya sudah terlalu lama kuliah, sudah sembilan tahun,” katanya dengan gundah. “Semua mata kuliah sudah lulus. Tinggal satu saja yang belum lulus, Hukum Pidana II. Tolonglah sampeyan bilang sama kakak saya…”

Saya “terganggu” dengan permintaan itu karena fakta-fakta di belakangnya. “Maulana” bukan hanya tinggal menumpang di rumah kakaknya, tapi juga seluruh biaya kuliah ditanggung oleh sang kakak.

Saya terganggu karena saya bisa mengukur penghasilan Artidjo. Waktu itu ia direktur LBH Jogja. Sepeda motor bebek yang dipakainya sehari-hari pun milik pribadi, bukan kendaraan inventaris lembaga baru yang tak punya banyak dana itu. Artidjo juga dosen dengan gaji yang tidak besar — kesederhanaan hidup masih dimuliakan di UII, tampaknya sampai sekarang.

Ia memang membuka kantor advokat. Saya enggan ke sana; bangunan semi-permanen, agak di luar kota, dan barang paling mencolok di sana adalah timbunan koran. Tidak banyak klien yang mau menyerahkan kasusnya kepada seorang pembela para preman yang dibidik pasukan petrus.

Semua orang mafhum belaka ia tak disukai oleh aparat negara di semua instansi. Jadi memasrahkan kasus kepada Artidjo jauh lebih mungkin kalah ketimbang menang. Mereka yang meminta jasa advokatnya pun pasti kaum miskin — justeru karena miskin maka mereka datang ke kantor Artidjo.

Cukup lama saya mencoba memahami situasi yang disajikan “Maulana”: seorang dosen dan direktur LSM berpenghasilan kecil, seorang advokat yang sepi klien, yang menanggung biaya kuliah adiknya, dan si adik tak kunjung lulus semata-mata karena ia belum juga meluluskan ujian mata kuliah yang diajarnya.

Artinya: ia harus terus mengongkosi kuliah si adik. Beban itu dengan mudah bisa disingkirkannya karena keputusan untuk itu mutlak ada di tangannya. Dan ia tak melakukannya. Sebab ia berpegang teguh pada integritas akademis. Tidak setiap minggu saya disuguhi kisah seperti ini.

Bertahun-tahun setelah Artidjo menjabat hakim agung, saya yang kebetulan sedang ke Jogja mampir ke rumahnya; ia pun sedang pulang untuk mengajar.

Kembali saya terkejut melihat rumah yang nyaris tak berubah itu. Saya “protes” dan meledek kesederhanaan yang agak ekstrem itu. Artidjo hanya terkekeh-kekeh saja.

Masuk ke dalam, saya makin terkejut. Meja dan kursi tamunya masih yang itu-itu juga; identik dengan dua puluh tahun silam. Malah kini kursi goyang rotan favoritnya mulai bolong di beberapa bagian dudukannya.

Dan, astaghfirullah, suguhannya masih sama seperti saya pertama kali bertamu: kopi jahe — dengan gelas belang-belang tak seragam. Jika tamunya empat, maka mungkin tipe gelasnya pun empat macam.

Jadi, Artidjo memang tak peduli pada kursi. Ketidakpeduliannya pada kursi harfiah tecermin pada ketakacuhannya pada kursi simbolis alias jabatan.

Jelas ia tipe larger-than-life. Tanpa pernah mengatakannya, ia konstan menunjukkan sikap bahwa nilai dirinya tak tergantung jabatan. Integritas pribadi dan kekokohan spirit akademisnya melampaui jabatan formal apapun.

Memasuki usia 70, kini Artidjo pensiun. Ia tentu bisa lebih tekun merawat bonsai-bonsainya. Mungkin ia juga masih mengamalkan hobi lamanya: memelihara ayam pelung atau ayam kate, yang suka dibagikan kepada sahabat-sahabatnya, kadang dibawanya sendiri ke Jakarta.

Mereka yang pernah divonis berat olehnya di Mahkamah Agung boleh bersiap mengajukan Peninjauan Kembali, jika merasa punya bukti baru (novum).

Mereka yang mendambakan kebersihan dunia hukum kita yang bobrok mungkin meratapi kepensiunan Artidjo the Untouchable. Kapolri Tito menyukuri fakta bahwa Artidjo husnul khatimah, mengakhiri karir cemerlang dengan bersih.

Artidjo sendiri menanggapi semua itu dengan ringan: “Pengganti saya pasti lebih baik dibanding saya. Kita harus terus optimistis terhadap bangsa besar ini.”

Terima kasih untuk pengabdian dan teladan Bang Artidjo yang mengesankan. Sebagian kesan itu direkam dalam buku terbitan Mahkamah Agung sebagai apresiasi terhadap tahun-tahun kerja kerasnya di lembaga yang sangat membutuhkan simbol kejujuran itu.

Sampai bertahun-tahun mendatang, semoga saya tak lupa pada monumen kejujuran yang telah dipancangnya dengan keteguhan dan konsistensi yang langka.

Suatu kehormatan bagi saya mengenal sebuah pakta integritas bernama Artidjo Alkostar.

Oleh : Hamid Basyaib

Editor : Dian F

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.