Aneh! Muncul Maharaja dari Pasar Krui

Artikel, Lampung1023 Dilihat


Krui, redaksimedinas.com – Kemunculan sosok Maharaja dari Pasar Krui kabupaten Pesisir Barat menjadi keanehan tersendiri di kalangan masyarakat Krui Pesisir Barat dan juga Lampung Barat. Pasalnya baru-baru ini sang Maharaja mempublikasi kegiatannya pada laman Facebook pribadi, dalam keterangannya dengan jelas tertulis bahwa pemilik akun dengan nama Nuzuar Kaha Yahya ini menerangkan dirinya sebagai Raja dari Kerajaan yang bernama Kerajaan Kampung Dalam Lampung Krui di Kelurahan Pasar Krui.

Berdasarkan sertifikat yang diunggah pada akun tersebut terdapat keterangan bahwa Gelar Raja Maha Raja Mahkota II yang dipakainya itu adalah pemberian dari Raja Kutai Mulawarman dalam acara Sidang Agung D’Raja Nusantara pada tanggal 12 November 2017 di Kabupaten Wakatobi, Sulawei Selatan.


Fenomena ini memunculkan berbagai komentar dari masyarakat, banyak yang mempertanyakan kebenaran dari keberadaan kerajaan yang bagi sebagian besar masyarakat Pesisir barat tidak pernah muncul sebelumnya.

Samsul Rahman salah satu warga dari Kelurahan Pasar Krui, Kecamatan Pesisir Tengah  dalam keterangannya menyampaikan bahwa dirinya sangat merasa aneh. “Selama ini di Pasar Krui tidak ada kerajaan, kok bisa dia berkedudukan sebagai raja, sedangkan dia anak nomer dua dan ayahnya bukan pula anak laki-laki tertua dalam keluarga”, jelasnya.

Selain itu juga Johan Iskandar salah satu Tokoh Masyarakat dari Way Suluh Krui memberikan tanggapan mengenai kemunculan Maharaja baru ini, ia menjelaskan bahwa ia mengenal yang bersangkutan, akan tetapi selama ini ia tak tahu jika ternyata Nuzuar adalah seorang Raja dan di Pasar Krui terdapat sebuah Kerajaan, karena sepengetahuannya setiap ada kegiatan adat Sai Batin Marga se Kabupaten Pesisir Barat, dirinya tak pernah melihat yang bersangkutan ikut.

Hal diatas juga selaras dengan keterangan yang disampaikan oleh M. N. Chandra, Tokoh Adat dari Marga Pugung Malaya, “Setahu saya Pasar Krui ada empat kampung, dan sebagian besar mereka berasal dari Bengkulu, dan setahu saya yang mengaku Raja ini, bapaknya saja bukan (tidak bergelar –red) Radin, Batin apalagi Raja, jadi kalau tiba-tiba muncul ini aneh, dan kalaupun ada masih jauh dari silsilahnya, bukan dia, ini menurut tua-tua Pasar Krui”, tegasnya.

Perlu juga kita ketahui bersama menurut data dari surat kabar Lampung Post tahun 1997 bahwa di wilayah kabupaten Pesisir Barat saat ini hanya terdapat 16 marga adat yaitu Tenumbang, Gunung Kemala, Bandar Krui, Ngambur, Way Napal, Pugung Tampak , Ngaras, Laay, Bengkunat, Belimbing, Way Sindi, Pedada, Pulau Pisang, Pugung Penengahan, Pugung Malaya, dan Pasar Krui. Itulah Marga Adat yang ada dan masing-masing memiliki Kepala Marga yang menjadi pemimpin adat.

Di dalam buku Sejarah Masyarakat Adat Lampung Barat tulisan Ahmad Syafei, dijelaskan bahwa Marga Pasar Krui berdiri pada tahun 1860, pada saat itu pemerintah colonial menyatukan empat kampung  yaitu Pauh, Libahaji, Semangka dan Bengkulu menjadi sebuah Marga, dalam Marga ini berlaku adat Semenda. Awalnya sebutan untuk pemimpin marganya yaitu datuk, kemudian berubah menjadi pasirah. Di Marga inilah tempat ibukota 0ndrafdeeling dan tempat pelabuhan kapal dipindahkan dari Pulau Pisang.

Kerajaan Kampung Dalam Lampung Krui milik Nuzuar ini letaknya di Kelurahan Pasar Krui, sedangkan Istananya tidak diketemukan kecuali hanya rumah pribadi milik Sang Maharaja dengan nama Lamban Gedung yang tampak seperti rumah biasa, tak seperti layaknya bangunan Istana atau Keraton peninggalan masa lalu. Hal tersebut bagi Nazri Azi tokoh adat dari Ulu Krui, Ridwan Hakim tokoh pemuda dari Tenumbang dan juga Cacan Priadi tokoh pemuda dari Ngaras adalah seperti sebuah lelucon, raja tanpa tahta, tanpa rakyat dan tanpa istana.

Menurut Cahyadi seorang pegawai Pemerintah Kabupaten Pesisir Barat yang sejak tahun 70-an tinggal di Pasar Krui, tidak pernah ada Kerajaan dan Maharaja di Pasar Krui. “Darimanakah ia dapatkan trah raja itu? Sedangkan masyakarat sekitarnya mengetahui bahwa ia tidak memiliki trah seorang Raja, ayahnya pun tidak pernah menobatkan dirinya sebagai Maharaja, dimanakah masyarakat bawahannya? Sedangkan tetangga rumahnya sendiri bukanlah orang-orang yang tunduk dalam kekuasaan kerajaannya, dan dimana letak Kerajaannya? Sedangkan wilayah rumah kediamannya itu masuk dalam wilayah adat Marga Pasar Krui dengan pimpinan adat marganya.

Marga Pasar Krui adalah salah satu dari marga-marga adat yang ada di Kabupaten Pesisir Barat, dan didalam sebuah sistem adat Kemargaan atau Kebandaran baik yang terdapat di daerah Ranau, Liwa, Krui, Tanggamus hingga Lampung Selatan, pemimpin adat bagi Marga/Bandar bergelar Suntan atau Pangeran, sedangkan dibawahnya terdapat pemimpin-pemimpin kecil setingkat kampung yang bergelar Raja Pengampungan / Raja Suku, akan tetapi perlu diketahui, bahwa makna gelar Raja Pengampungan tersebut bukanlah seperti makna Raja sebagai seorang pemimpin dalam sebuah Kerajaan, akan tetapi hanya sebuah gelar yang dipakai untuk seorang bawahan Suntan Marga yang memimpin wilayah suku / jungku. Didalam Adat Sai Batin dikenal wilayah-wilayah adat, seperti Marga, Suku/Jungku, Sumbai, Kebu, dan Lamban.

Anugerah Dari Maharaja Kutai Mulawarman

Dari sertifikat kerajaan yang unggah oleh Maharaja Kampung Dalam Lampung Krui di facebook, terdapat keterangan bahwa Gelar Raja Maharaja Mahkota II yang dipakai Nuzuar adalah pemberian dari Maharaja Kutai Mulawarman, padahal didalam masyarakat adat Lampung Sai Batin Maharaja Kutai itu tidak memiliki hak dan kedudukan. Kedudukan dan Gelar di dalam Adat Lampung Sai Batin hanya dapat di anugerahkan oleh seorang Sai Batin sebagai pimpinan adat yang syah turun temurun menurut trahnya di sebuah Kepaksian, Marga atau Kebandaran.

Fenomena penganugerahan gelar kerajaan oleh Maharaja Kutai Mulawarman ini ternyata pernah terjadi juga di Cirebon, seperti diberitakan lewat laman sindonews.com tahun 2016, seorang warga Cirebon mengaku dirinya sebagai Sri Baginda Raja yang telah diamanatkan oleh Maharaja Kutai Mulawarman untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia. Pria yang diamanatkan itu bergelar Raja Diraja Purwaka Caruban Nagari Kerajaan Cirebon, tetapi pihak Keraton Kanoman Cirebon yang diwakili Pangeran Raja Mochammad Patih Qodiran menegaskan tidak pernah mengakui yang bersangkutan sebagai Raja Diraja Pemersatu Kerajaan Nusantara, apalagi sampai mengaku mendapat gelar dari Raja Mulawarman, Senin (29/2/2016 ).

Demikianlah fenomena yang terjadi saat ini, adanya praktek pemberian gelar dan pengakuan tanpa memperhatikan adat istiadat dan tata titi yang berlaku di suatu wilayah, sungguh tidak bijak, bukannya melestarikan kebudayaan tapi justru mengganggu dan membuat kerancuan di dalam adat istiadat.

Tidak hanya itu, penulis juga pernah dikirimi oleh Maharaja Kutai Mulawarman sertifikat yang isinya tentang penganugerahan gelar Pangeran, tapi penulis tidak pernah berani memakainya, karena penulis sadar bahwa itu tidak sesuai dengan kaidah adat yang berlaku di dalam adat Sai Batin yang penulis anut. Bahwa gelar atau adok di dalam adat sai batin harus memiliki kedudukan, memiliki struktur adat yang melekat, dan memiliki nasab keturunan.

Nilai Dari Kebangsawanan

Nilai dan spirit kerajaan dan kesultanan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah hal yang penting untuk diutamakan, sebab di dalamnya ada nilai kekeluargaan dan kekerabatan yang menumbuhkan rasa persatuan. Meski telah berjalan zaman berganti zaman, berabad-abad lamanya zuriat raja dan sultan bersama masyarakatnya masih menjaga seluruh tradisi kerajaan hingga saat ini.

Tradisi kebangsawan dari sebuah kerajaan bukanlah untuk kesombongan, tapi untuk menunjukkan kiprah dan peran seseorang. Ada nilai kesetiaan, bhakti dan ketulusan dalam setiap kedudukan seseorang didalam sebuah sistem kebangsawan, yang dibawah menjunjung yang diatas melindungi. Sehingga diberbagai penjuru tanah Lampung ini, banyak keturunan bangsawan yang terus mempertahankan tata titi dan menjaga kekokohan pilar-pilar adat saibatin dalam bentuk pemerintahan adat, membina masyarakatnya dalam setiap lintasan masa.

Ada Empat Sultan Sai Batin Kepaksian di Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak, enam belas Suntan Sai Batin Marga disepanjang Pesisir Barat, Tiga Suntan Marga di Ranau, satu Suntan Sai Batin Marga di Liwa, Tiga Belas Bandar dan lima Marga di tanah Semaka, tiga marga di Teluk yang masing-masing dipimpin seorang yang bergelar Pangeran, dan satu Bandar serta Lima Marga di Way Handak Lampung Selatan yang masing-masing dipimpin seorang yang bergelar Pangeran. Semuanya itu adalah Sai Batin yang memiliki kedudukan dan alat kebesarannya jelas, yang memegang adat nestiti semenjak dahulu kala menjadi tatanan adat di Kerajaan Sekala Brak. Kalau kita bicara adat, maka adat itu ada asal kebesarannya, yang oleh sebagian besar masyarakat adat Sai Batin diyakini bahwa asal Kebesaran Adat itu adalah dari Kerajaan yang ada di tanah asal usul nenek moyangnya.

Seiring perkembangan zaman, para bangsawan Sekala Brak dan masyarakatnya pindah untuk mencari penghidupan baru dengan mendirikan negeri baru, yang dalam istilah Lampung dikenal dengan “Ngebujakh Jak Sekala Brak Lain Miccakh”, artinya adalah menyebar untuk membesarkan adat bukan memisahkan diri, sehingga lambat laun ditempat baru itu berdirilah kebandaran dan marga-marga adat hingga saat ini.

Kebesaran adat Sai batin bukanlah hal yang tiba-tiba dibentuk oleh sekumpulan orang, kemudian bersepakat saling tunjuk, seorang menjadi Pangeran sedangkan yang lain menjadi anak buah, tapi seorang yang menjadi Sai Batin adalah seorang yang memang membawa kebesaran adat serta memiliki trah bangsawan didaerah asalnya.

Oleh karenanya seorang bangsawan sudah tentu berperan untuk mengemban amanah dalam membimbing masyarakatnya, serta berkiprah dan berkontribusi disetiap zaman yang dapat disaksikan dalam catatan sejarah, tersebut nama Sultan Ali Akbar dari Kepaksian Nyerupa yang bergerilya untuk kemerdekaan masyaraktnya, Sultan Pangeran Ringgau dari Kepaksian Pernong yang menyelesaikan permasalahan di rejang lebong, Pangeran Si Agul-Agul dari Way Sindi yang berperang di Krui untuk membela rakyatnya, Batin Mengunang dari Tanggamus dan Pangeran Singa Branta dari Way Handak yang berjuang gigih membela masyarakatnya, mereka semua itulah contoh bangsawan sekaligus pejuang. Bangsawan bukanlah seorang yang tiba-tiba muncul tanpa kejelasan asal kebesarannya, tanpa garis dan trah yang jelas, ayahnya siapa dan kakeknya siapa, serta apa kiprahnya ditengah masyarakat, pergantian zuriat yang tak jelas dan  hanya mengambil kebesaran dari sesuatu yang kecil, yang memang sudah kecil tidak lagi dapat dibagi-bagi, itulah yang disebut dalam istilah “kebalakan jak Pak Sauwang”.

Kebangsawanan adalah capital sosial agar menjadi pemersatu, dan berkiprah terbaik untuk NKRI.

(Novan Saliwa : Pemerhati Budaya Lampung)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

1 komentar

  1. Maaf mohon bantuannya saudaraku saya adalah asli keturunan dari demang rusli apakah anda pernah dengar nama tersebut demang rusli adalah demang yang berasal dari pesisir sumatera barat dan pernah ditugaskan di kresidenan bengkulu dan selanjutnya ia bertugas di krui dan di memiliki 9 istri dari sumatera barat hingga krui kata almarhum ibu saya ((cucu dari demang rusli) atau anak dari fatimah) bahwa almarhumah asnah ia wafat di pasar krui apakah posisinya didekat pasar apakah benar di daerah tersebut ada makam dan saya pernah juga mendengar orang tua menyebutkan bahwa nenek saya adalah keturunan demang rusli